Besok hari ulang tahunku.
Sebenarnya aku tidak pernah menganggap spesial sebuah hari ulang tahun. Menurutku, seharusnya menjadi hari di mana kita berpikir ulang, apa yang telah kita lakukan di tahun sebelumnya. Pilah yang baik untuk ditingkatkan, buang yang buruk untuk diperbaiki. Seperti pepatah “hari ini lebih baik dari kemarin”, tahun ini seharusnya lebih baik dari tahun kemarin. Ulang tahun lebih seakan hari introspeksi diri bagiku. Haha.
Tapi mungkin tidak bagi yang lain. Seperti saat ini saja, Euis, Asep, Deden, dan Aa tengah duduk di ruang tamu, asyik berdiskusi rencana esok hari. Bukan, bukan surprise, karena aku juga ikut duduk di sini. Besok Aa akan mengajak kami ke Bandung Kota, akan ada Bandung Light Festival di sana, bertepatan pada hari ulang tahunku.
Bandung Light Festival adalah adalah salah satu festival terbesar di Bandung yang selalu diadakan setiap tahun, untuk merayakan hari jadi Kota Bandung. Biasanya banyak turis dan wisatawan dari berbagai kota yang sengaja datang untuk melihat keindahan malam itu. Perayaannya dimeriahkan oleh kendaraan-kedaraan yang dihias lelampuan. Seperti judulnya “light” yang artinya cahaya, truk-truk dan mobil dihias indah dan ramai sesuai tema yang diberikan dengan lampu-lampu berbagai macam. Biasanya kendaraan hias tersebut berbaris per daerah, berjalan pelan di jalan besar diiringi jubelan manusia. Aku belum pernah melihatnya langsung, tapi dari cerita teman-teman yang pernah lihat, sepertinya sangat menakjubkan. Kami warga desa memang jarang ke sana karena jarak yang jauh, meski festival itu cukup terkenal.
“Bagaimana teh kalau nanti Aa pinjamkan mobil ke Duta Farm, biar bisa naik semua. Asep nggak perlu naik motor. Lumayan jauh mah ini. Pusat kota, loh.” kata Aa. “Mobil pikap, tahu nggak?”
“Oiya, aku tahu, Kang! Pakai itu aja, seru!” Asep berseru, mengacungkan jempol.
Euis memandang ke arahnya, mengerutkan alis. “Memangnya cukup atuh? Kang Agan, Nina, aku, kamu, Deden. Kita berempat, loh.”
“Dih, kamu nggak tahu pikap, Is? Parah mah kamu!” Asep mencibir.
“Mobil yang biasanya buat antar barang itu teh, Is. Kayak truk mini gitu.” jelas Aa.
Euis mengangguk. “Aku ikut Kang Agan aja, terserah. Pikap, iya. Motor, iya.”
“Kalau Euis mah, pokoknya ada Kang Agan aja. Naik odong-odong juga bakal mau dia atuh.” Asep mulai menggoda.
“Sep, bisa nggak, libur sebentar ribut sama Neng Euis?” Deden berkata, menjawil bahunya. Gadis berambut panjang itu tampak manyun dengan wajah merah.
Dari arah pintu depan, tampak Regit baru saja datang. Di bahunya tersampir tas berisi seragam silat kesayangannya. Melihat keramaian di ruang tamu, alisnya mengkerut. Aa menoleh,
“Regit, ikut ke Bandung Light Festival, ya. Besok ulang tahun Teh Nina, bareng-bareng berangkat pakai mobil pikap punya kantor Aa. Mau, kan? Sama Aa juga.” tanya Aa dengan senyum.
Aku memperhatikan wajah Regit yang kuduga bakal menolak. Gadis berambut di bawah bahu itu melirik kawan-kawanku yang tengah menatapnya juga, menunggu jawaban. Belum sempat Regit menjawab, Abah masuk melewati pintu, sedikit terkejut melihat ruang tamu yang penuh.
“Besok Abah sama kawan-kawan karyawan KPBS Pangalengan ikut barisan, Gan. Maunya mah Regit ikut rombongan Abah tadi, tapi lebih baik bareng kamu aja. Rombongannya isi bapak-bapak semua atuh!” Abah menepuk bahu Regit.
“Tapi, Bah—“ Regit hendak protes, tapi urung.
“Nanti ketemu Abah di sana, Git.” Abah berlalu ke kamar.
Regit tampak manyun. Aa menaik-turunkan alis, mengacungkan jempol ke arahnya. Gadis di pintu itu menghela napas, “Iya, deh.”
“Ah, ini Neng Regit yang pintar silat itu, ya? Pimpin barisan pendekar Pangalengan di Balai? Elan teh sering cerita. Eneng hebat banget katanya.” Deden berkata tulus.
“Eh, makasih, Kang.” Regit tergagap, terkejut bakal dipuji seperti itu. “Aku—ke kamar dulu, ya, Kang, Teh … ”
“Elan siapa, Den?” tanyaku setelah Regit menutup pintu kamar. Seingatku di sekolah tidak ada yang namanya Elan.
Deden menoleh, “Anak tetangga, Neng. Katanya waktu pemilihan ketua teh, dia dikalahin sama perempuan, namanya Regit. Padahal Elan jagoan kampung atuh. Yasudah, Elan cuma jadi wakil.”
“Oh, iya aku tahu. Waktu tampil posisinya di sebelah Regit, ya. Aku sempat lihat sekilas.” ujarku paham.
Deden mengangguk.
“Oke, berarti sepakat, ya. Besok sore kumpul di sini, biar nggak terlalu malam sampai di kota.” Aa menutup diskusi.
Asep, Deden, dan Euis pamit pulang.
***
Esok harinya, aku terkejut melihat siapa yang datang bersama Asep dan Deden. Seorang lelaki berkemeja navy dengan motor besar. Ia melambai ke arahku, tersenyum.
“Halo.” sapanya.
“Hai.” jawabku singkat.
“Selamat ulang tahun, ya.” katanya lagi.
“Iya, makasih.”
Aa keluar dari jok depan setelah menyalakan mesin. Melihat sudah ada yang datang, ia menghampiri. Aa menatap wajah baru di belakang Asep.
“Kang, aku ajak temen kelas, pindahan dari Jakarta. Biar tahu Bandung Kota juga atuh. Nggak apa-apa, Kang?” Asep menjelaskan.
Aa mengangguk santai, “Nggak masalah. Temennya Nina juga?”
“Iya, Kang. Saya Gading, teman sekelas Nina. Dulu pernah antar Nina sama ibunya pulang dari Soreang itu, Kang.” Gading turun dari motor besarnya, menjabat tangan Aa.