The Half Blood

Faty Fathiya
Chapter #11

Masa Lalu Asep

Aku duduk dengan Euis di jok depan, aku memilih di dekat jendela. Ia masih diam sejak kami berangkat lagi, mungkin ia bertanya-tanya tentang sikap Asep barusan yang mencengangkan. Ia pasti pertama kali melihat Asep yang seperti itu, dia tidak satu sekolah denganku dan Asep ketika SMP. Aku tahu Euis pasti memikirkannya, tapi enggan bertanya. Mungkin sungkan atau bagaimana, entahlah. Asep, izinkan aku bercerita masa lalumu pada Euis.

“Asep teh sejak SMP memang suka cari masalah, ribut, tukang bikin onar. Satu-dua mah, sama sekarang. Tapi, ketika SMP lebih nggak bener. Dia salah satu anggota geng X di sekolah, geng anak nakal. Suka bolos, kebut-kebut motor di jalan, jahilin guru. Aku saja tidak bisa mencegahnya waktu itu, soalnya masih belum terlalu dekat.”

Euis tampak diam menunduk tidak memandangku. Tapi aku yakin dia mendengarkan.

“Nah, waktu kelas VIII, dia suka sama cewek. Namanya Cempaka. Cempaka ini teh jarang masuk sekolah tahun sebelumnya karena sakit, entah sakit apa. Pokoknya harus dirawat di rumah sakit gitu, atuh. Bolak-balik ke kota. Asep dekat dengan Cempaka, satu-satunya gadis yang tidak pernah dia jahili atau dia bikin gara-gara. Malah, Asep seperti pelindung baginya. Kalau Cempaka sedang tidak masuk, Asep pasti ke rumahnya membawakan buku catatan untuk disalin dan tugas sekolah yang harus dikerjakan. Yah, meskipun orang tua Cempaka tidak terlalu suka Asep, beliau tahu Asep pernah ikut kebut-kebutan motor di jalan bersama gengnya. Padahal sejak dekat dengan Cempaka, Asep jarang kumpul sama mereka. Aku lihat sendiri, ketika anak gengnya bolos, Asep tidak. Dia menemani Cempaka di kelas.”

Euis kali ini memandangku. Aku menarik napas berat, mulai masuk ke bagian terpahit.

“Aku tidak tahu bahwa geng Asep main-main sampai ke kota, malah pernah adu pukul dengan sekolah sana. Aku tidak tahu apa Asep pernah ikut main pukul atau tidak, tapi kurasa dia pernah. Hari itu, aku ingat sekali kejadiannya, Asep mengajak Cempaka ke Goa Bata Cukul. Dia tidak tahu bahwa hari itu juga, salah satu sekolah kota yang tidak terima kekalahan adu pukul ingin membalas dendam. Kawan-kawan gengnya memutuskan untuk tidak keluar rumah, menghindari pertikaian. Tetapi mereka tidak ada yang memberitahu Asep yang tengah membonceng Cempaka ke tempat goa, atuh. Dan tidak beruntung sekali, murid sekolah kota itu melihatnya lewat.”

Kulirik dari pantulan di kaca mobil, wajah Euis tampak menyimak dengan serius. Mungkin cerita nyata ini terasa menegangkan baginya.

“Asep turun lebih dulu dari motor, mau mengecek jalur menuju goa. Karena di sana kalau habis hujan, jalannya mah berlumpur. Susah dilewati. Apalagi Cempaka yang masih belum sembuh total. Jadilah, Cempaka menunggu di motor. Saat itu, entah dapat ide dari mana, anak kota menyergap Cempaka. Mereka berpikir gadis itu pasti berharga bagi Asep dan bakal membuat dia melakukan apa saja demi menyelamatkannya. Mereka pikir akan mudah membujuk Asep untuk bersujud, tapi nyatanya tidak. Ketika Asep melihat Cempaka dibekap, amarahnya seketika sulut.”

Aku diam sebentar, memori pahit itu seakan terputar kembali di anganku. Ketika terjadi insiden mengerikan tersebut, aku ada di sana. Kebetulan tengah bersepeda pagi. Lokasi goa memang dekat dari rumahku. Aku menelan ludah susah payah. Euis tampak menggigit bibir.

“Asep mengamuk mendengar jeritan lirih Cempaka. Gadis itu teh memang sangat penakut, Asep tahu itu. Membayangkan anak-anak kota kasar mencengkramnya, menyeretnya, menakut-nakutinya, membuat Asep membabi buta. Meski kejadian sebenarnya tidak seperti yang ia bayangkan. Sendirian, Asep melawan mereka bertujuh. Menghabisi mereka tanpa ampun. Aku yang ada di sana sampai terduduk lemas melihat pemandangan berdarah itu. Aku memang mendengar rumor bahwa geng X pernah adu jotos dengan sekolah lain, tapi aku tidak pernah melihatnya sendiri. Apalagi Asep, yang selalu ceria dan buat kelas ricuh. Dia seperti kerasukan, memukul sana sini. Meski ia kena pukul pun, tampaknya tidak menyakitinya sama sekali. Mengerikan.

“Cempaka yang melihat itu hanya diam, terisak. Ia juga tidak menyangka Asep bakal membabi buta mereka semua. Melihat Asep yang ia tahu menjadi menyeramkan seperti itu membuat dadanya sesak. Asmanya kambuh, kata Asep. Melihat kondisi Cempaka yang buruk, Asep panik membantunya berdiri. Aku ikut mendudukkan Cempaka di motor Asep. Asep bilang, puskesmas tidak bisa berbuat banyak. Cempaka dilarikan ke rumah sakit oleh pihak puskesmas, ditemani Asep yang penuh luka dan lebam di sekujur tubuhnya.

“Cempaka harus opname. Selain penyakitnya yang kambuh, ia juga mengalami trauma. Orang tua Cempaka teh memarahi Asep habis-habisan di rumah sakit. Asep hanya diam, ia merasa tuduhan orang tua Cempaka ada benarnya atuh. Cempaka bertambah parah karena dia. Andai dia tidak mengajaknya pagi itu, andai dia tidak ikut tawuran dengan gengnya ke kota, andai dia tidak meninggalkan Cempaka yang sakit sendirian di motor, andai dia bisa datang lebih cepat … “

Tenggorokanku tercekat. Euis setia diam menungguku melanjutkan.

“Setelah kejadian pahit itu, Asep tidak masuk sekolah. Selain penyembuhan luka-lebamnya, ia masih merasa sangat bersalah pada Cempaka. Ia berpikir pasti semua orang akan menyalahkannya, tidak ada dunia yang bersedia menerimanya lagi. Pihak sekolah men-skorsing anak geng X yang lain, kesalahan mereka adu pukul ke kota itu sangat melebihi batas. Pun Asep. Tapi Asep tetap tidak masuk sekolah melebihi batas skorsingnya, sampai ujian kenaikan kelas. Dia memang masuk kelas untuk ujian, tapi seperti mayat hidup. Tidak seceria dulu, tidak serusuh dulu. Cempaka, dia juga tidak masuk sejak kejadian itu sampai kenaikan kelas.

“Tahun ajaran baru, Asep kembali masuk sekolah seperti biasa. Tapi dia masih bisu atuh. Luka-lukanya mah sudah sembuh. Anak gengnya yang meminta maaf dan menghiburnya tidak ia gubris. Sampai suatu sore, aku menemukan motornya terparkir di tepi jalan menuju Goa Bata Cukul. Aku melihatnya duduk di atas batu besar, menatap langit dengan sedih. Entah bagaimana, dia akhirnya mengeluarkan semua yang dia pendam sendirian selama ini. Menangis di depanku. Seorang Asep, menangis, membuatku tak bisa berkata apa-apa. Kejadian itu ternyata memukulnya lebih dari yang orang-orang kira. Keluarga Cempaka pindah ke kota. Tidak ada kabar apapun dari gadis itu, sampai suatu hari sebuah surat tiba. Surat permintaan maaf dari keluarga Cempaka yang sudah menuduh Asep sembarangan, dan—surat dari Cempaka.”

Euis sepertinya semakin gemas mendapatiku berhenti sejenak. Aku tersenyum kecil melihat wajahnya yang penasaran.

“Isinya apa, Na?” tanyanya akhirnya setelah lama tidak buka mulut.

“Isi lengkapnya Asep tidak memberitauku, intinya dia meminta maaf dan bilang bahwa dia bahagia bisa dekat dengan Asep. Bahagia bisa jalan-jalan ke goa kala itu, yang merupakan keinginannya juga. Cempaka juga bilang bahwa Asep tidak boleh berubah karena dia menetap di kota, sepertinya Cempaka mendengar isu-isu tentang Asep dari kawan-kawan. Dia menyuruh Asep menjadi ‘Asep’ yang biasanya. Cempaka tidak mau menjadi sebab Asep menderita, karena fakta itu akan menyakitinya juga di kota. Sejak datangnya surat itu, Asep perlahan kembali ceria dan perusuh. Tapi dia tidak pernah menyentuh gengnya lagi. Bayang-bayang Cempaka yang dibekap menghantuinya, dia bisa kembali mengamuk persis seperti saat itu. selama SMA ini syukurlah belum pernah. Mungkin, kejadianmu tadi mengingatkannya tentang Cempaka lagi. Jadi dia mengamuk. Untung saja sempat ditahan lebih awal oleh Gading, anak kota yang kena pukul dia saja kudengar sampai kritis di rumah sakit.”

Aku diam, memandang notes marun di pangkuan lama. Kisah pahit Asep pernah kubuat ide salah satu cerpenku, makanya aku sangat ingat. Euis terenyuh mendengarnya, ikut terdiam.

“Lalu kabar Cempaka sekarang teh bagaimana?” tanyanya pelan.

“Dia sudah meninggal.” jawabku pelan.

“Apa?”

“Ternyata surat yang dia tulis untuk Asep itu hal terakhir yang dia lakukan sebelum napasnya berhenti.”

Euis bungkam demi mendengarnya. “Pasti Asep sangat sedih.”

“Iya, kabar itu mah menamparnya sangat keras, tapi dia berusaha memenuhi janjinya dengan tetap masuk ke sekolah dan ceria seperti biasa. Tertawa-tawa di kelas, tapi kulihat di matanya teh ada luka. Aku awalnya tidak terlalu suka dia menyembunyikan penderitaannya di balik tawanya itu, tapi biarlah. Setidaknya kuharap dia bisa melupakan kejadian pahit masa lalunya dan mulai bisa tertawa dengan tulus. Sejak insiden itulah, aku jadi lebih dekat dengan Asep dari pada sebelumnya.”

Kami terdiam lama setelah aku menyelesaikan akhir kisah masa lalu Asep. Euis menoleh ke belakang, ke arah kaca yang menembus bagian belakang pikap tempat Aa dan yang lain duduk beratapkan langit. Asep kulihat masih lesu, tapi lebih baik dari sebelumnya. Tangan kanannya sudah diperban. Rambut yang sedikit jabrik itu berdiri bergerak-gerak dihempas angin yang menyela. Kuharap angin bisa mengikis bayang-bayang masa lalu Asep dari kepalanya. Setidaknya untuk saat ini. Aku tidak bisa melihat wajah Euis, tapi sepertinya dia sangat khawatir tentang kondisi Asep.

“Ah, kuberi tau, ya, Is. Kamu teh sedikit mirip dengan Cempaka.” ungkapku.

Lihat selengkapnya