Empat tempat yang berbeda, empat momen berbeda, empat kejadian penting yang berbeda. Tiap-tiap individu memiliki saat-saat berkesan sendiri, bahkan di saat yang lain juga sedang mengalami “kesan” yang lain. Kesan tidak selalu hal yang besar, hal kecil sederhana pun akan berkesan jika menyentuh hati. Aku akan menceritakan salah satu contoh, di mana momen berkesan terjadi di waktu yang sama, di tempat yang berbeda.
“Minum? Tadi di pikap, teh sisa dua.”
Asep menoleh. Euis berjalan mendekat dengan dua kaleng minuman di tangan, mengulurkannya satu. Lelaki berluaran kemeja kotak-kotak itu menerimanya.
“Thanks.” kata Asep seraya membuka kaleng.
Euis duduk di sebelah Asep yang berbaring berbantal tangan, di atas aspal. Mereka ada di lapangan sepatu roda GOR Saparua, tadi Euis melihat GPS. Satu-dua pasang warga juga ada di sana, duduk di kursi penonton yang berjajar tingkat. Lapangan ini berbentuk oval dengan tembok beton yang membatasi di pinggir. Pohon-pohon besar rindang tumbuh di tepi, menciptakan siluet besar di permukaan yang muncul-menghilang karena datangnya cahaya yang berubah-ubah. Keduanya berada di tengah lintasan yang sepi dan remang. Asep menatap langit malam, sesekali menyeruput minuman dari kaleng.
“Tanganmu masih sakit atuh, Sep?” tanya Euis pelan, melirik tangan kanan Asep yang diperban. Ia teringat kejadian pahit tadi sore, dan masih merasa bersalah.
Asep memandang lengannya, “Malah nggak kerasa apa-apa, tuh. Lagian luka begini mah biasa buat cowok atuh, Is! Kamu alay, ah!”
Euis menatap wajah Asep yang nyengir. Padahal jelas-jelas tadi lukanya mengeluarkan banyak darah sampai membuat yang melihat ngeri. Asep meneguk minumannya. Sadar masih ditatap, Asep menghentikan minumnya.
“Nggak percaya atuh, Is? Mau kupukul-pukul, ya, lukanya. Biar kamu percaya kalau nggak kerasa.” Lelaki itu bersiap memukul lengan kanannya dengan tangan kiri.
“Eh, nggak usah, euy!” Euis berkata cepat sebelum Asep benar-benar melakukannya. “Jangan aneh-aneh, ah!”
Asep tertawa, kembali membenamkan lengan kiri di bawah kepalanya sebagai bantal. Diam lagi. Asep memandang langit, Euis tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan lelaki suka ricuh itu. Dia tidak menampakkan ekspresi apapun, kaku. Euis memeluk lutut, menatap permukaan aspal. Kejadian tadi pasti membuat Asep teringat Cempaka di atas sana. Euis makin merasa amat bersalah. Masih luka diri, masih luka hati.
“Maap. Gara-gara aku, kamu jadi ingat Cempaka.”
Euis berkata lirih, menunduk. Tak ada respon dari lelaki di sebelahnya, padahal dia pasti mendengar kalimat Euis. Ia masih diam memandang ke atas.
“Ternyata langitnya lagi nggak ada bintang, ya?” kata Asep polos.
“Ih, Asep! Aku serius!” Euis memukul kaki Asep kesal.
Asep mengaduh. “Dih, orang aku juga serius! Nggak ada bintang, tuh!”
“Ya, tapi, kan, aku lagi ngomong, atuh!” Euis jadi kesal.
“Kan, cuma ngomong! Kalau pertanyaan, mah, baru ada jawaban!” Asep membela diri.
“Tapi seenggaknya teh dengerin!”
“Memangnya siapa yang nggak dengerin? Satu lapangan mah juga denger!”
Euis menahan lidahnya untuk membantah lagi, memang Asep pasti dengar, sih. Lagipula siapa suruh dia berbicara hal yang tidak nyambung? Euis menghela napas. Padahal dia tidak ingin bertengkar dengan Asep sekarang, hanya ingin minta maaf. Euis menekuri aspal lagi, bingung hendak berkata apa.
“Dimaapin, nggak, euy?” tanya Euis.
“Perasaan nggak ada yang salah, tuh.” Asep menjawab santai.
“Ih, Asep! Jawab iya gitu, kek!” Euis makin sebal rasanya.
“Yaudah, iya, ah! Sewot amat!”
Aduh, kenapa ujung-ujungnya selalu bertengkar, sih? Euis merutuki dirinya dalam hati. Sekarang permintaan maafnya terkesan memaksa jadinya. Euis menghela nafas lagi. Dia dan Asep sepertinya memang susah bicara baik-baik. Hening menyelimuti udara lagi. Keramaian Bandung Light Festival terdengar samar. Dua insan larut dalam diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Nina cerita, ya.” kata Asep pelan, masih memandang langit tanpa bintang.
Euis menoleh, “Jangan marah ke dia.”
“Kata Deden, nggak boleh suudzon, atuh.”
“Ini namanya antisipasi!”