“Aduh … masa gue harus pake kacamata hitam ke sekolah?” keluh Stella di paginya esok hari. Ya, matanya semenjak semalaman belum berubah menjadi hitam kembali. Lagipula, dari semua warna yang ada kenapa harus merah? Jatuhnya Stella malah terlihat seperti Luhan kalau pemuda itu berubah menjadi vampir.
Oh, dan ide kacamata hitam ini bukan ide Stella, melainkan dari teman-teman The Halves nya di sekolah.
Putar balik di mana gadis tersebut baru saja selesai mandi…
---
“Mampus deh, mampus beneran gue,” si hawa sedari tadi tidak juga berhenti merutuki dirinya sendiri hingga sekarang. “Coba telepon Naya kali, ya?” dan jemarinya mulai membuka kontak sahabat The Halves nya itu.
“Nay … angkat dong …”
“Nomor yang Anda tuju—”
“Tck,” Stella menjauhkan benda persegi panjang tersebut dari telinganya, lalu mencari kontak yang lain. Apa gue coba tanya Harsa? Ah, tapi itu anak jadi penyihir aja nggak becus. Atau Jevan aja, ya?
Jevahan Darsandirga atau Jevan, seorang Animal Halves yang lumayan keren. Jevan yang juga sohib Harsa dan Stella, adalah seorang werewolf. Tetapi manusia setengah serigala ini tiap hari di sekolah kerjaannya hanya ngegombalin cewek plus kelakuannya yang lebay, dan jangan pernah memuji bocah ini karena sekalinya dipuji kamu akan menyesal.
“Halo beb, tumben telepon? Biasanya kalo chat aja cuma diread doang.” Yah, akhirnya Stella mencoba menghubungi Jevan.
“Shut up, Jev. Bukan waktunya gombal, gue serius.”
“Mau diseriusin, nih—”
Tut. Tolong ingatkan Stella untuk nggak pernah menelepon Jevan lagi. Namun sekarang masalahnya, dirinya terlalu sungkan untuk menelepon kakak kelasnya, takut mengganggu waktu mereka. Walau—yah, pastinya Luhan nggak keberatan, karena anak tersebut sangat hiperaktif, bisa heboh dan nggak selesai-selesai kalau Stella sampai menelepon pemuda itu. Sekarang pilihannya hanya antara Dirga dan Yudan.
Tapi kalau Yudan, pemuda itu terlalu judes dan biasanya hanya bersikap bodo amat. Keputusannya telah bulat, gadis ini akan menghubungi Dirga saja.
“Halo, kenapa La? Tumben telepon malem-malem.” Ujarnya dari sana.
Stella menghela napasnya pelan, “… Kak Dirga keberatan nggak, gue telepon jam segini?” tanyanya sopan.
“Lagi belajar Biologi buat besok, sih, tapi cuma tinggal ngulang aja, kok. Ada masalah apa?” Stella bungkam sejenak, bingung harus memulai kejadian tidak masuk akal ini darimana.
Di sisi lain Dirga berdeham pelan, “gue tebak masalah The Halves. Bener?”
Skakmat, semoga kakak tingkatnya itu tidak menertawainya seperti saat dirinya menertawakan wujud kelinci Dirga. “… Iya. Jadi tadi ‘kan gue …”
Cukup 5 menit ia telah menyelesaikan ceritanya panjang lebar kepada pemuda ini.
“Se-serius mata lo jadi merah?” tanyanya dari seberang sana setelah diam untuk beberapa detik. “Ya kali gue bohong, kak. Sekarang gue harus gimana? Mana besok masih ada rapat, lagi.” Stella mendengus.
“Masa elo yang jelas-jelas Animal Halves kakatua berubah jadi vampir tiba-tiba? Nggak masuk akal banget, yang ada lo diketawain Luhan doang kalo gitu.”
“Aduh, amit-amit gue jadi setengah vampir! Jus tomat aja gue nggak suka.” Kemudian hening menyelimuti obrolan mereka sebelum akhirnya Dirga angkat bicara,