Semarang, 17 Agustus 1996
Pukul 6:00 pagi, udara masih dingin. Aku sudah keluar rumah, berangkat sekolah lebih awal. Ada upacara 17 Agustus dan aku menjadi petugas pembawa bendera kali ini. Suasana kampungku masih sepi. Jalan-jalan sempit yang hanya bisa dilewati sepeda motor sudah sejak seminggu yang lalu dipenuhi bendera plastik merah putih. Inilah kampungku. Rumah-rumahnya tipikal rumah kampung yang sederhana, bagian rumahnya masih ada yang menggunakan kayu dan seng, dicat putih seadanya. Pagarnya kebanyakan dari bambu. Dan pagi ini bendera merah putih sudah berkibar di setiap depan rumah, walau hanya menggunakan tiang bambu dan diikat dengan tali seadanya.
Rumahku mungkin yang paling representatif dibanding yang lain. Bapakku seorang dosen Arsitektur, ibuku dosen Teknik Kimia. Tidak seperti dosen-dosen lain yang sering ngobyek di luar, mereka terlalu akademisi, pengabdian mereka hanya untuk ilmu pengetahuan. Mereka sama-sama mengambil S2 di ITB, dan di sana pulalah mereka bertemu. Jadi wajar jika hidup kami bisa dibilang sederhana. Apalagi kami 6 bersaudara dan aku anak paling bungsu.
Sampai di tikungan gang yang menuju jalan aspal, aku melewati Gento yang sedang mencuci sepeda motor di depan rumahnya. Setiap pagi dia memang rajin mencuci RX King pretelannya dengan hanya memakai celana pendek.
“To!” biasa, aku selalu menyapa duluan sambil melempar senyum.
“Tan! Tumben Pagi?”
“Ya, upacara,” kataku singkat tanpa memperlambat jalanku.
Sempat kulihat tatonya sudah bertambah. Terakhir hanya ada gambar naga di tangan kanannya. Kini ada tambahan gambar macan dan ada gambar perempuan telanjang di tangan kirinya. Gento seumuran denganku. Dia teman main kelereng waktu kecil. Yang aku tahu sekarang pekerjaannya penjaga keamanan di terminal.
Baru sampai di jalan aspal sebuah mobil hijet tiba-tiba berhenti di depanku. Tiga orang keluar dari mobil itu. Aku sempat menghindar agar tidak bertabrakan dengan mereka. Mereka orang kampungku. Dan yang di tengah itu Samin, tetangga depan rumahku, dibopong, baju dan celananya robek, basah terkena darah, ada beberapa luka di tubuhnya. Dia dimasukkan ke salah satu rumah tetangga. Orang-orang mulai berbondong masuk ke rumah itu. Kulihat Gento sudah ada di situ, ribut mengacung-acungkan jarinya sambil masih memegang sikat sepeda motornya. Bagiku ini pemandangan biasa. Kampungku adalah salah satu tempat komunitas gali terbesar di Semarang. Aku berjalan agak berjingkat untuk menghindari darah yang berceceran di jalan.
Aku sudah melangkah di jalan aspal. Sebuah Jalan di pinggir Kali Banjir Kanal. Konon di jaman VOC kapal dagang bisa berlabuh sampai sungai ini. Aku berjalan menyusuri pinggir kali, 5 menit lagi menuju jalan protokol kemudian tinggal naik bis kota. Seorang anak berseragam SMP muncul dari salah satu gang dan berjalan di sebelahku. Rudi, adiknya Gento. Kadang kita memang sering jalan bersama ke jalan protokol.
“Upacara Rud?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Ya mas, baca Undang Undang Dasar.”
“Ribut sama Lor Rel lagi ya?” aku menanyakan kejadian barusan.
“Biasa lah,” matanya tetap menatap lurus ke depan, enggan bicara masalah itu.
Sebenarnya sudah peristiwa lama sekali pertikaian kampungku, Kidul Rel (Selatan Rel) dengan kampung Lor Rel (Utara Rel). Kebetulan dua komunitas gali ini dipisahkan dengan rel kereta api. Dan perang antar gali ini sudah memakan banyak korban sampai akhirnya ada peristiwa Petrus (penembak misterius) di tahun 1979. Tentu saja aku belum lahir waktu itu. Bapakku yang menceritakan semuanya. Sejak saat itu keadaan jadi reda. Sampai pada generasi sekarang ini, bibit-bibit pertikaian mulai muncul. Tetapi melihat Rudi di sebelahku, mungkin generasi berikutnya tidak seburuk yang aku bayangkan. Matanya masih tetap lurus ke depan. Seperti aku menatap Kali Banjir Kanal yang telah menguning memantulkan sinar pagi.
Semarang, Agustus 1996
Aku sudah berdiri dengan kuda-kuda terpasang. Kami sudah saling berhadapan. Di bawah terik matahari, di pelataran parkir Balai Kota, belasan anak berseragam SMA saling berhadap-hadapan. Tangan-tangan sudah terkepal, ada yang sedikit digerak-gerakkan. Hari ini adalah hari perhitungan anak-anak kelas 3 dengan anak-anak kelas 2.
Aku berdiri disini untuk solidaritas anak-anak kelas 3. Masalahnya sepele, kadang kalau dirunut juga tidak ketahuan juntrungannya. Tetapi bagiku ini lebih pada masalah perlawanan terhadap fenomena borjuisme di sekolahku. Santos adalah leader anak-anak kelas 2. Anak seorang pemilik perusahaan makanan terbesar di Jawa Tengah dan anggota DPRD. Santos dan kawan-kawannya bagiku adalah gambaran kaum borjuis. Setelah angkatanku, sekolah memberikan kesempatan untuk murid-murid yang masuk lewat jalan belakang sebagai sarana penggalangan dana untuk pembanguan gedung baru. Satu hal yang membuatku bersemangat adalah karena aku belum pernah terlibat baku hantam yang sesungguhnya. Di ekstrakurikuler Karate semua cuma latihan, di sini tempat ujian sebenarnya.
Sekejap situasi jadi kacau. Orang-orang sudah saling bertumbukan. Bunyi kepalan mendarat di kepala dan orang menahan erangan sudah bermunculan. Aku berada di tengah-tengah mereka. Belum ada yang memukulku. Kuda-kudaku masih kokoh di tanah. Kulirik sebelahku, temanku Wicak sedang memukuli anak kelas 2 yang sudah terkapar dan menutupi kepalanya. Tapi belum ada yang memukulku juga. Kepalanku semakin kueratkan berharap ada yang memukulku duluan. Tiba-tiba terdengar suara sirine, satu mobil polisi muncul dari gerbang Balai Kota. Dan baru kusadari orang-orang sudah lari berhamburan. Ada yang melompat pagar depan, ada yang lari ke belakang gedung Balai Kota.
Aku berlari sendirian setelah melompat pagar samping. Harusnya aku langsung kabur begitu dengar sirine walau belum sempat memukul siapapun. Dan memang betapa bodohnya aku, sekarang yang ada di depanku adalah sebuah gang buntu. Aku berbalik ke belakang, tak mungkin balik keluar gang ini karena suara sirine semakin dekat dan tidak hanya satu, mungkin dua atau tiga. Di sampingku tembok setinggi 2,5 m dengan kawat berduri di atasnya. Tidak ada jalan lain lagi, aku harus melewatinya. Entah ada kekuatan dari mana, sekali lompat aku sudah menggapai bagian atas tembok. Kadang dalam keadaan terdesak kekuatan ekstra selalu muncul. Aku sempat berpikir kalau hal ini tak akan bisa kulakukan dalam situasi normal. Sekarang tinggal melewati kawat berduri. Tapi sial, bagian tasku ada yang menyangkut di jeruji kawat. Aku kehilangan keseimbangan, jatuh ke balik pagar.
Pergelangan kakiku terasa sakit, walau sudah kusiapkan gaya yang pas untuk mendarat. Baru beberapa saat aku memegangi kakiku, terdengar suara-suara perempuan menjerit. Ya ampun, aku baru sadar kalau aku sekarang berada di halaman sekolah perawat. Ya, muridnya perempuan semua, memakai seragam putih-putih, dan mereka sekarang sedang memandangiku, seperti melihat alien mendarat di bumi.
“Dasar cowok, selalu merasa sok jagoan. Apa sih untungnya tawuran!” dengan suara lantang salah satu dari mereka sudah ada di depanku. Kupikir matanya melotot, tapi ternyata pandangannya tetap dingin. Aku tidak bisa berkata apa-apa, karena aku masih meringis menahan sakit. Lagi pula aku tidak setuju dengan kata-kata tawuran.
Aku merasa ada yang terasa perih di bagian lenganku. Ada darah mengalir di situ, mungkin terkena jeruji kawat waktu aku jatuh. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Perempuan-perempuan tadi sudah pergi. Kini masalahnya bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan senormal mungkin.
Belum sempat terpikir, tiba-tiba perempuan tadi mendatangiku dengan membawa kotak P3K. Dia tarik lenganku, membersihkan lukanya dengan kapas dan meneteskan cairan betadine. Aku sempat melihat wajahnya, pandangannya tetap serius sambil membelitkan perban. Alis matanya tebal dan rambutnya yang panjang menutup sebagian pipinya. Dia mulai mengangkat-angkat lenganku, mengencangkan perban, sepertinya aku ini sepeda rusak. Kudengar teman-temannya sudah memanggilnya dari jauh.
“Kalau keluar lewat pintu belakang, habis kantin terus belok kiri, di depan masih banyak polisi,” katanya sambil memasukkan kembali peralatan P3K.
Aku melihat kantin di belakangku. Inilah yang aku harapkan, masalahku sudah teratasi sekarang. Dan dia sudah menghilang. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih.
Semarang, September 1997
Langit Bulan September gelap tertutup mendung. Aku meluncur dengan Vespa bututku. Vespa turun temurun dari kakakku nomer 1 sampai nomer 5, hingga sekarang sampai ke tanganku. Di belakangku seorang perempuan bernama Peni. Dulu dia anak sekolah perawat yang pernah bikin aku sewot. Dan waktu itu tidak sulit buatku mencari siapa namanya dan di mana tinggalnya. Begitu juga ketika aku mengajaknya jadian. Malam ini tepat 1 tahun kami pacaran. Aku harap hujan tidak turun.
Peni sudah 3 bulan bekerja di RSUP. Kadang aku malu kalau pas dompetku kering, dia yang keluar uang. Aku baru saja diterima di Teknik Sipil Undip. Seminggu yang lalu ospek baru selesai. Aku penasaran karena malam ini dia ingin menunjukkan tempat istimewa. Kupikir dia mau mengajakku ke Pantai Tanah Mas. Tapi waktu aku mau ke arah sana, Peni memintaku untuk belok ke kiri. Yang aku tahu di situ cuma ada tanah kosong untuk real estate dan bangunan hotel yang belum selesai karena krismon.
Kini di depanku berdiri kokoh bayangan struktur sebuah hotel. Kolom-kolomnya yang telanjang tampak hitam menghuncam langit. Aku memasuki jalan gelap tak beraspal. Aku sempat ragu, tapi Peni memintaku jalan terus. Hingga kulihat orang-orang nongkrong di depan. Jelas ada empat orang sedang main kartu, karena hanya tempat itu yang ada penerangan lampu pijarnya, sekelilingnya tampak gelap. Orang-orang itu menoleh ke arahku waktu aku matikan vespa. Peni turun dan menghampiri mereka, bicara dengan salah satu dari mereka. Rasanya aku kenal dengan orang yang diajak bicara Peni. Ya, itu Kebo kakaknya Peni. Biasa aku panggil mas kalau aku lagi ngapel ke rumah Peni, Mas Kebo.
Kakak-kakak Peni adalah pentolan gali Lor Rel. Peni anak paling bungsu dan satu-satunya perempuan. Aku sudah terbiasa dengan situasi di sekeliling mereka. Malah mereka banyak memberi kebebasan buatku. Aku biasa pulang jam 2 pagi dari rumah Peni. Kurasa mereka lebih senang adiknya pacaran sama orang terpelajar dari pada sama orang macam mereka. Ya, karena Peni juga tidak seperti mereka.
“Siapa tuh botak?” Kudengar dari jauh suara salah satu dari mereka. Sialan, kalau nggak habis ospek, kupanjangin nih rambut. Seorang yang berambut gondrong kriting mendatangiku dengan mata merah kebanyakan minum.
“Mau lihat pantai ya!” katanya serak.
“Ya,” jawabku sekenanya.
Terdengar suara seng berderik. Kebo membuka sebuah gerbang seng, Peni di sebelahnya melambaikan tangan ke arahku. Kunyalakan vespa meninggalkan si gondrong kriting.
Gerbang seng itu adalah jalan masuk ke area hotel dan kupikir mereka disewa untuk menjaga proyek ini. Kebo memegang stang vespaku ketika aku sampai di depannya. Buru-buru kumatikan mesin. Ia memandangi vespaku lama seolah sedang mencari tulisan K-e-b-o di situ. Tentu saja tidak akan ada, yang ada cuma tulisan V-e-s-p-a. Kemudian dia memandangiku lama.
“Jaga Peni baik-baik,” katanya sambil memegang kepalaku. “Kalau kamu sampai menyakiti hatinya, kucungkil matamu,” matanya tajam menatapku, mulutnya bau minuman.
Aku hanya bisa menatapnya waktu dia meninggalkanku sambil cengar-cengir. Kulihat Peni sedang bicara dengan seorang lagi yang sedikit perlente memakai anting. Wajah mereka saling berdekatan. Orang itu mencoba memegang tangan Peni. Peni berusaha melepaskannya dengan halus. Karena orang itu tidak melepaskannya juga, Peni mendorongnya.
“Ayo jalan,” Peni melompat ke jok belakang.
“siapa sih dia,” tanyaku sambil menyalakan mesin.
“Udah nggak usah dipikirin.”
Orang itu sudah berjalan agak jauh, kemudian berbalik.
“Peni I’am still love you!” teriaknya dengan bahasa Inggris sekenanya.
“Siapa sih?” tanyaku penasaran.