Jakarta, 17 Agustus 1999
Angka penunjuk lantai mulai turun. Aku sendirian di sebuah lift. Jam makan siang begini biasanya lift penuh. Tanggal 17 Agustus di kalender warnanya merah tapi kantorku tetap masuk. Kantor milik orang asing. Mereka menukar libur 17 Agustus dengan hari Sabtu yang biasanya karyawan masuk setengah hari. Serasa kita masih dijajah orang asing. Hari ini hari terakhirku bekerja di sini setelah mengambil gaji terakhir. Masih 5 lantai lagi, HPku berdering, ternyata dari Binclong.
“Masih di kantor,” jawabku.
Binclong teman kuliahku dulu di Politeknik ITS. Namanya Bintoro Hardianto, semua kakak-kakaknya memakai nama Hardianto. Dipanggil Binclong karena jidatnya kinclong. Tetapi tidak hanya jidatnya yang kinclong, mobilnya juga kinclong, kalau nggak bawa BMW ya bawa Merci ke kampus. Bapaknya orang Surabaya yang bisnisnya sukses di Jakarta. Hubunganku dengan Binclong adalah hubungan simbiosis mutualisma. Aku sering mengerjakan tugas-tugas kampusnya. Saat ujian Binclong selalu ada di sebelahku. Aku adalah orang miskin yang bisa merasakan sedikit kehidupan mewah walau cuma sekedar duduk di mercinya waktu berangkat dan pulang kuliah. Pertama kali makan pizza, ke kafe juga sama Binclong.
Aku lulus D3 tahun 1997 lalu cari kerja di Jakarta. Binclong lulus 2 tahun kemudian. Mudah buat Binclong untuk dapat klien dari kolega-kolega bapaknya di Jakarta. Dia menawariku kerjaan freelance. Kebetulan aku sudah tidak betah di kantor, terutama karena kantor ini tidak punya toleransi sama sekali terhadap perokok.
“Iya bisa, bisa!” jawabku ketika lusa dia mengajakku ketemu klien. Kemudian dia memintaku untuk berpakaian sedikit necis.
“Kapan mau dapat cewek kalau tongkrongan kaya bajingan terus,” katanya.
“Jancuk koen…” lalu kumatikan HP.
Sampai di lantai dasar sudah tak sabar aku untuk menyalakan rokokku.
“Pak, rokoknya pak!” kudengar suara satpam penjaga lantai dasar.
Mulutku tetap mengepul sampai aku keluar gedung.
Jakarta, 19 Agustus 1999
Seumur hidupku baru dua kali aku pakai dasi, waktu wisuda dan saat ini. Aku berdiri di depan wastafel di toilet kantor Bank Dagang Jakarta. Membasahi mukaku dan terutama rambutku agar tidak berantakan karena ukurannya sudah panjang untuk takaran orang rapih. Bosku di kantor lama paling sebel melihat rambutku.
“Jangan seenaknya sendiri, ini bukan perusahanmu!” begitu dia kalau sedang ngomel. Ya, dan ini bukan negaramu. Waktu aku masih 5 bulan dalam kandungan, ibuku pernah dipukul di bagian perutnya oleh bosnya yang orang asing karena emosi. Emosi karena hutangnya di bank sudah menumpuk atau entah karena apa. Mungkin karena mereka menganggap orang pribumi itu sampah. Ibuku tidak mau mengadu ke polisi. Dia memilih resign hari itu juga. Mungkin karena itu, aku selalu membenci mereka.
Binclong sedang bicara masalah term and condition dengan orang Bank di ruang meeting. Giliranku bicara masalah teknis sudah selesai tadi. Kunyalakan rokokku, lumayan barang dua tiga hisap. Kukeluarkan asapnya pelan. Kepulan putih itu mulai menghilang dari pandanganku, tetapi materinya tidak akan pernah hilang. Mereka melebur bersama gas-gas lain di toilet ini. Dan juga di paru-paruku.
Bila waktu adalah rangkaian titik, inilah saat yang menjadi titik paling menentukan dalam hidupku. Saat dimana tangan sang waktu menarik pelatuk dan menghuncamkan sebuah projektil ke otakku. Saat aku keluar toilet. Saat aku berpapasan dengan seorang perempuan. Seperti ada sebuah genta memukul kepalaku dan membangunkanku dari mimpi panjang bertahun-tahun. Sekilas kulihat bibirnya merah, semerah bajunya. Rambutnya tebal tergulung ke atas. Waktu seperti melambat. Dia tampak terkejut begitu melihatku. Tapi yang paling menusuk mataku adalah tangannya. Tangannya merah menyala dari ujung jari sampai lengan bajunya. Kulit tangannya bersinar seperti bara ketika terkena angin. Dia mempercepat langkahnya. Aku menoleh ke arahnya memastikan aku tidak salah lihat. Tapi aku tidak salah lihat. Dia masuk ke toilet wanita. Satu dua langkah aku masih berpikir untuk berbalik arah, akhirnya aku balik lagi ke toilet pria. Dari sudut sempit aku masih bisa melihat pintu toilet wanita. Aku mencoba untuk tidak berkedip, seperti seorang sniper menemukan titik sasarannya, aku tunggu dia keluar. Tapi sudah hampir 7 menit dia tidak keluar sampai ada karyawati bank masuk ke toilet. Akhirnya aku putuskan untuk berdiri di depan toilet wanita, berlagak sedang menunggu seseorang. Karyawati tadi keluar. Belum jauh aku panggil dia.
“Mbak, emm… di dalam masih ada orang? Saya sedang menunggu teman, saya pikir dia masih di dalam.”
“Nggak ada siapa-siapa kok di dalam,” katanya.
Lama kupandangi pintu toilet, perempuan itu masih ada di otakku. Ini kelihatannya gila tetapi sesuatu benar-benar harus aku buktikan. Aku masuk toilet itu. Ada empat sekat di situ. Perlahan aku jongkok. Semua sekat itu kosong. Tetapi ada pendaran cahaya sangat terang di sekat paling pojok. Aku menoleh ke pintu keluar, takut ada yang masuk, tetapi aku sudah terlanjur ada di sini. Aku melangkah ke sekat paling pojok. Perlahan kubuka pintunya. Aku tidak melihat kloset disitu karena di depannya ada sebuah cahaya putih yang menyilaukan sebesar pintu melayang di atas lantai. Aku sempat mundur ke belakang sampai tiba-tiba ada wanita berseragam kantor masuk.
“Hei, bisa baca nggak sih ini toilet wanita!”
Aku segera keluar dari situ. Wanita bawel itu masih melotot waktu aku melewatinya, kulihat memang mulutnya agak lebar juga. Sebelum keluar sempat kulirik dia masuk ke sekat paling pojok. Bolak-balik aku menoleh ke arah toilet itu, takut sesuatu terjadi pada wanita bawel tadi, sampai akhirnya kulihat dia keluar dalam keadaan utuh dan Binclong menepuk pundakku,“Dari mana saja sih kamu, meeting udah selesai, kamu nggak balik-balik?”
Perempuan dengan tangan menyala itu masih ada di otakku.
“Kamu kenapa Dep… Sakit?”
Jakarta, 20 Agustus 1999
Entah sudah berapa lama aku duduk di depan mejaku, memandangi kursor yang berkedip-kedip di laptop. Kerjaan dari Binclong belum tersentuh. Kejadian di kantor bank saat itu masih menggelayuti pikiranku. Aku ingat Bajul teman kecilku waktu aku berumur 5 tahun. Dia bilang tanganku merah menyala dari ujung jari sampai pangkal lengan. Menyala seperti bara katanya. Aku hanya tertawa-tawa karena aku tidak melihat hal yang aneh dengan tanganku dan waktu itu yang kupikirkan cuma bermain dengannya.
Pertama kali aku bertemu Bajul di gudang belakang rumahku. Wajahnya lucu, mata, mulut dan telinganya lebar. Kalau tersenyum giginya kelihatan besar-besar. Rambutnya jarang, telapak kakinya panjang dan berbulu. Bajunya tidak pernah ganti, selalu memakai kaos oblong dan celana kolor putih. Waktu itu dia menunjukkan padaku sebidang benda bercahaya berbentuk segi empat di sudut belakang gudang. Benda itu sebesar pintu. Bentuknya sama seperti yang kulihat di toilet kantor bank waktu itu. Bedanya yang di gudangku ada ukiran kayu di kelilingnya. Bajul bilang itu sebuah pintu. Kalau pulang ke rumahnya, dia lewat pintu itu. Kemudian Bajul mengajakku masuk ke dalamnya. Pertama masuk pintu itu, aku langsung merasa betah. Di dalamnya terhampar padang rumput luas. Bisa jadi tempat bermain yang sangat luas buatku. Rumputnya kuning setinggi lututku, lebat dan tebal, enak untuk ditiduri. Ada pemandangan dua buah bukit di ujung sana, di depan langit kekuningan. Sebuah jalan setapak berkelok menuju lembah di antara dua bukit itu. Bajul bilang rumahnya ada di balik bukit. Dia tinggal mengikuti jalan setapak saja untuk sampai ke sana. Hingga saat itu aku selalu bermain dengan Bajul di situ. Dia senang bermain denganku karena aku selalu membawa mainanku. Tak pernah terpikirkan lagi kata-kata Bajul tentang tanganku sampai kejadian di kantor bank itu.
Jakarta, 27 Agustus 1999
Aku dan Binclong masih berada di lobby kantor Bank Dagang Jakarta. Mereka tiba-tiba membatalkan janji kami untuk presentasi, waktunya akan diatur ulang nanti. Buatku tidak jadi masalah, malah aku bisa dapat tambahan waktu untuk memeriksa ulang srcipt programmingku. Yang terlihat ganjil buatku adalah suasana kantor ini. Penjagaan pagi ini begitu ketat, bahkan cenderung berlebihan. Tasku sempat dibongkar satpam ketika mau masuk. Kulihat beberapa polisi mondar-mandir di gedung ini. Pegawai yang bekerja pun tidak sebanyak waktu itu. Binclong sempat bicara dengan satpam, katanya bank baru saja dibobol orang, tetapi tidak ada indikasi adanya penyusupan, bahkan kamera tidak menangkap bukti apapun. Tetapi tidak seperti Binclong, aku tidak ambil pusing dengan cerita itu. Yang kupikirkan adalah bagaimana aku bisa masuk ke toilet itu lagi. Tetapi dengan kondisi sekarang ini, tampaknya hal itu tidak mungkin aku lakukan.
Surabaya, Oktober 1999
Aku berdiri di depan sebuah rumah. Lingkungan sekitarnya sudah jauh berubah, tetapi rumah itu masih tetap seperti dulu walau kini tampak reot. Inilah tempat tinggalku waktu kecil. Aku datang ke sini karena Binclong dapat projek di Surabaya. Hari ini aku selesai setting server di sebuah instansi pemerintah daerah. Dari tempat itu ke sini cuma 15 menit naik taxi. Rumah ini dibeli bapakku waktu aku belum lahir. Dia seorang insinyur sipil yang bekerja di Dinas Pekerjaan Umum. Ibuku cerita, bapakku pernah akan dikirim ke Amerika untuk mengambil S2. Tetapi 2 bulan sebelum berangkat, kecelakaan merengut nyawanya. Sebuah truk menghantam mobilnya. Jenasahnya dimasukkan dalam peti dan tidak boleh dibuka. Waktu itu umurku 1 tahun. Sampai sekarang aku cuma bisa mengenal wajah bapakku dari foto-foto yang warnanya sudah buram. Ibuku menikah lagi waktu aku berumur 5 tahun. Bapak tiriku hanya pegawai biasa. Gajinya lebih rendah dari gaji ibuku yang lulusan S1. Dia sering memarahiku, sepertinya dia tidak menyukaiku, mungkin karena dia kira aku sering main keluar rumah. Sebenarnya aku cuma main di gudang dengan Bajul, hanya saja dia tidak melihatku karena aku berada di balik pintu cahaya. Aku pikir dia tidak bisa melihat pintu itu. Pernah dari padang rumput tempatku bermain, kulihat sosoknya tampak di pintu itu, kebingungan mencari-cariku di gudang, tapi tetap saja dia tidak bisa melihatku. Setelah ibuku melahirkan, aku jadi makin dekat dengan Bajul dan bapak tiriku semakin sering memarahiku. Pernah aku cerita tentang Bajul kepadanya tetapi dia malah menganggapku anak aneh atau mengidap gangguan jiwa. Sampai pernah dia menyatakan niatnya untuk membawaku ke rumah sakit jiwa. Tapi tak lama kemudian dia terkena PHK. Ibuku sudah tidak bekerja lagi karena sedang hamil dan harus mengurus dua anaknya yang masih kecil. Akhirnya rumah ini dijual dan kami mengontrak rumah kecil di tempat lain.
Seperti kembali ke masa lalu, masih bisa kulihat aku ada di belakang ibuku yang sedang menyiram tanaman di antara hembusan angin sore seperti ini. Memperhatikan tangannya yang telaten merawat tanaman di pot-pot tembikar. Cuma aku dan ibuku di rumah ini waktu itu. Kini yang tersisa hanya sebidang tanah kering di depan rumah. Kubuang putung rokokku, aku melompat pagar besi setinggi 1 meter yang sudah karatan. Tampaknya rumah ini sudah lama kosong. Cat di dinding-dindingnya sudah mengelupas. Ubin traso terasnya jadi berwarna coklat karena debu yang mengerak. Tidak sulit bagiku untuk masuk. Rumah ini adalah sarangku waktu kecil. Seperti tikus, aku tahu lubang-lubang mana yang harus kumasuki walau semua pintu dan jendela terkunci. Tujuanku adalah gudang belakang.
Bau pengap menusuk hidung waktu aku masuk gudang. Aku hanya bisa melihat remang, mungkin karena belum terbiasa berada di tempat gelap. Kubuka pintu gudang lebar. Banyak tumpukan kardus dan lembaran papan di situ. Bagian bawah kardus-kardus itu sudah banyak yang hancur. Lantainya basah, mungkin karena atapnya bocor. Aku berusaha untuk melihat sudut belakang gudang di antara tumpukan kardus setinggi kepalaku. Kusingkirkan beberapa kardus yang di atas. Seharusnya pintu itu sudah kulihat atau minimal cahayanya. Aku singkirkan semua kardus yang ada di sudut itu, tetapi tidak ada apa-apa di situ, hanya sudut tembok berlumut dan dua ekor kelabang keluar dari retakannya. Mungkin aku salah mengingat letak pintu itu atau posisinya yang bergeser. Aku singkirkan semua kardus dan papan-papan itu keluar gudang. Kemejaku sudah basah dengan peluh, warnanya sudah bercampur dengan segala kotoran yang ada di gudang. Gudang itu sudah kosong. Kosong, tidak ada apa-apa. Tidak ada pintu cahaya. Tidak ada Bajul.
Langit mulai redup. Aku sudah keluar rumah dengan setumpuk pertanyaan di kepalaku. Aku pandangi rumah itu. Aku ingat kata-kata yang sering diucapkan bapak tiriku. Tidak, tidak mungkin aku sudah gila. Bajul dan pintu cahaya itu adalah bagian dari rumah ini. Bagian dari masa laluku. Aku tidak mungkin gila. Jari tanganku gemetar dan aku ingin menyalakan rokokku. Tiba-tiba aku merasa ada orang di belakangku, aku segera berbalik ke belakang. Seorang nenek ada di situ. Wajahnya keriput, rambutnya putih digelung. Tubuhnya pendek memakai kebaya putih kumal. Mata, mulut dan telinganya lebar. Telapak kakinya panjang berbulu.
“Lungo koen soko kene! (pergi kamu dari sini!),” suaranya kecil dan serak. Biji matanya ada di sudut atas memandangku tajam.
“Goro-goro koen, kabeh podo dipateni (gara-gara kamu, semua pada dibunuhin).”
Kulihat matanya seperti marah, seperti sedih.
“Goro-goro koen anakku matek… (gara-gara kamu anakku mati…) Oalah Bajul… Bajul… Bajul anakku wis mateeeeeeeek!” suaranya mulai melengking tinggi serentak dengan bunyi klakson.
Bunyi klakson itu terdengar lagi. Aku berbalik ke belakang. Sebuah mobil sedan masih membunyikan klaksonnya di depanku.
“Jancuk!” aku menyingkir dari jalan.
Mobil itu melewatiku, di dalamnya seorang wanita memakai kaca mata hitam. Jancuk! Mentang-mentang punya mobil. Kalau beli mobil pribadi, beli juga jalan pribadi, jangan pakai jalan umum!
Aku menoleh ke kanan ke kiri. Nenek-nenek tadi sudah tidak ada. Jancuk!
Surabaya - Malang
Aku ada di sebuah bis menuju Malang. Aku sudah telpon Binclong akan telat sehari balik ke Jakarta. Setelah kejadian tadi sore, aku benar-benar harus ketemu Desi. Aku tidak sendiri melihat Bajul, Desi juga melihatnya. Dulu pernah kuajak dia ke situ sebelum rumah itu dibeli orang. Dia hanya bisa melihat Bajul tetapi tidak bisa melihat pintu itu. Mungkin karena itu Bajul tidak suka dengan Desi. Bagiku Desi adalah bukti hidup bahwa yang kulihat dan kualami benar-benar ada. Bahwa kata-kata bapak tiriku tidak benar. Seperti sekarang ini, aku benar-benar harus ketemu dia cuma untuk meyakinkan pada diriku sendiri bahwa aku tidak gila.
Kulihat jam tanganku pukul 20.10. Satu jam lagi aku sampai di Malang. Sudah hampir 2 tahun aku tidak bertemu Desi. Terakhir dia datang di acara wisudaku. Dia kuliah di Psikologi. Kedua orang tuanya di Surabaya. Di Malang dia kos. Desi teman sekelasku waktu SMP, sekaligus tetanggaku saat aku tinggal di rumah kontrakan dengan bapak tiriku. Karena sering ketemu, kami jadi sahabat waktu itu. Desi sangat mengerti kondisi keluargaku. Dia meminta bapaknya untuk mengambilku sebagai anak asuh. Waktu itu ibuku menolak. Tetapi karena tuntutan ekonomi dan untuk memenuhi kebutuhan ketiga adikku akhirnya aku tinggal bersama keluarga Desi. Aku lega waktu itu, karena aku sudah muak tinggal bersama bapak tiriku. Dia sudah mulai main tangan. Kadang cincin di jarinya itu yang bikin sakit, cincin kawin dengan ibuku. Tapi apapun yang dilakukannya, aku tidak pernah menangis buat dia. Terakhir dia mulai memanggilku “you”.
“You sebagai anak tiri…!”
“You musti pakai otak…!”
“You bisa nggak bertingkah seperti orang normal...!”
“You…You…You…!”
Desi adalah dewi penyelamatku dari cengkraman orang yang tidak menginginkanku. Dia adalah anak tunggal dari keluarga yang kecukupan. Bapaknya punya bisnis di bidang IT. Sebelah rumahnya dijadikan tempat untuk lembaga pendidikan komputer. Waktu SMA aku sudah jadi staf pengajar di lembaga pendidikan itu. Kadang-kadang aku dilibatkan jika ada pekerjaan programming. Waktu kuliah aku memilih untuk mengambil D3, agar tidak terlalu lama merepotkan mereka, bisa cepat cari kerja dan pergi ke Jakarta.
Malang
“Depa…! Kamu kok gemukan sih sekarang,” wajah yang selalu kukenal. Ceria dan suaranya terdengar sampai kemana-mana.
“Ayo, masuk… masuk! Nyasar nggak tadi?” Desi memakai kaos you can see dan celana jean pendek. Dia berjalan ke arah tangga.
“Iya nyasar, salah belok di gang pertama,” Jawabku.
Kupikir masuk ke ruang tamu dulu. Tapi Desi sudah menaiki tangga. Penghuni kos tampaknya sudah pada molor atau belum pulang dari begadang. Maklum ini sudah hampir jam 12 malam.
“Masuk Dep…!” Desi masuk salah satu kamar di lantai 2. Kamar berukuran 3x3.
“Sori berantakan, lagi suntuk urusan kuliah nih, nggak sempet beres-beres,” katanya sambil memungut BH dan celana dalam yang tergeletak di atas kasur.
Aku duduk di kursi dekat pintu. Kulihat foto jaman SMP masih dipajang di atas meja kecil. Aku, Desi dan si Kukrik anjingnya. Aku ingat Desi pernah seminggu nggak masuk sekolah gara-gara Kukrik mati terlindas truk. Sebenarnya ingin sekali aku ngobrol tentang masa lalu, tetapi hal yang mengganjal di kepalaku tak bisa kutahan.
“Tadi siang aku mampir ke rumahku yang dulu,” kataku membuka pembicaraan.
“Rumah yang di Ngagel?” tanyanya sambil membereskan baju-baju di keranjang pakaian kotor.
“Iya.”
“Siapa yang tinggal di situ sekarang?”
“Nggak ada, sudah lama nggak ditempatin.”
“Kamu masih ingat Bajul?” Inilah kata-kata awal yang dari tadi ingin kulontarkan.
“Bajul yang di gudang belakang?” Desi mulai memandangku walau masih berdiri di dekat keranjang pakaian kotor.
“Iya, aku sempat ke gudang belakang juga. Tapi nggak ketemu Bajul,” aku tidak menyinggung tentang pintu cahaya karena aku tahu dia tidak pernah bisa melihatnya.
“Di depan aku sempat ketemu nenek-nenek, katanya dia ibunya Bajul. Dia bilang Bajul sudah mati… terus dia bilang banyak yang pada dibunuhin…” kata-kataku hanya sampai di situ karena Desi sudah duduk di atas kasur di depanku.
“Dari mana kamu tahu dia ibunya Bajul?” tanyanya kali ini dengan muka serius.
“Ya dia yang bilang sendiri… terus telapak kakinya panjang, banyak bulunya.”
Desi memandangku lama, wajahnya terlihat sedang berusaha memikirkan sesuatu. Kemudian dia beranjak ke meja komputernya, membereskan kertas dan buku-buku yang berantakan di situ.
“Ngapain sih kamu balik ke sana lagi. Kadang nggak enak juga bisa lihat hal-hal seperti itu.”
Aku pikir Desi sudah nggak mood lagi membicarakan masalah itu. Lagi pula dia bilang lagi suntuk dengan urusan kuliah.
“Gimana kuliah?” tanyaku mengganti subjek pembicaraan.
“Lagi pusing ngurusin skripsi nih. Baru pendahuluan tapi udah bete. Dosen pembimbingku resek. Dosen tua, maunya macem-macem. Masak dia sampek bilang aku kuliah cuman modal tampang doang, itu kan nggak profesional namanya. Kalau nggak karena bokap mending aku nggak kuliah,” katanya sambil membetulkan tali you can see-nya.
“Ah biasa itu, dosen tua memang kayak gitu, nggak usah diambil hati,” kataku sembari mengeluarkan rokok. “Dulu malah aku pernah dibilang taek sama dosenku,” aku mencoba memulai ceritaku.
“Trus kamu nggak marah?”
“Ya ngapain marah. Kubilang aja sama dia, bapak ini salah, saya bukan taek, tapi saya ini mencreeet!”
Spontan Desi ngakak sampai aku khawatir seluruh kosan pada bangun.
“Kamu ini gila ya!” Desi melompat ke atas kasur.
“Bagi rokoknya dong Dep, aku lagi kehabisan nih.”
Aku baru tahu kalau sekarang Desi merokok. Aku berikan rokokku sekalian koreknya. Melihat Desi mengepulkan asap membuatku tersadar bahwa dunia begitu cepat berubah. Desi, lingkungan di sekitar rumahku dulu, lenyapnya Bajul dan pintu cahaya. Entah apa lagi yang akan terjadi esok.
“Eh Dep, kamu ada temen nggak?” Tanyanya tiba-tiba, mukanya sudah tidak suntuk lagi.
“Emm… ada lah, emang kenapa?”
“Temen om-om yang kaya gitu loh,” katanya antara tersenyum dan mengeluarkan asap rokok.
Aku mengernyitkan dahi, mencoba menangkap arah pembicaraannya.
“Udah lama aku pengen punya home theater nih… Tenang aja, ntar kamu dapat komisi satu malem deh…”
Alun-alun Malang
Malam di alun-alun Malang udara dingin begitu terasa. Desi sempat menawariku jaketnya tapi aku tolak. Risih rasanya pakai jaket cewek. Desi memakai jaket tetapi celananya tetap jean pendek ketat. Berkali-kali orang-orang yang lewat melirik ke arah Desi. Tetapi yang dipedulikan Desi cuma jagung bakar rasa coklat di tangannya. Dari kosan ke alun-alun cuma 10 menit naik motor Desi. Motor yang jarang dipakai, kulihat kilometernya baru 2 digit. Desi bilang kemana-mana dia selalu memakai mobil jemputan, terserah siapa yang mau jemput. Motor yang dibelikan bapaknya cuma nangkring di garasi.
Kupandangi Desi berkali-kali. Dia cuma senyum-senyum sambil menyelesaikan bagian akhir jagung bakarnya. Tidak ada orang yang tidak berubah, semua orang berhak menjadi apa yang dia mau. Tetapi tetap saja aku merasa yang ada di depanku adalah Desi. Desi sebagai objek, yang di mataku tetap Desi. Perubahan-perubahan yang terjadi hanyalah bagian dari perubahan data yang ada di dunia ini. X=1, bisa juga x=2, atau x=3. Data bisa apa saja, terserah pada yang berkuasa memasukkan data. Desi di otakku seperti sebuah variabel dan aku tidak peduli dengan data di dalamnya.
“Tanganmu masih sering pegal?” tanyanya tiba-tiba.
“Masih,” kataku sembari sibuk menggerogoti jagung bakarku.
“Kamu masih bisa narik benda?”