The Haunting Hill House

Mizan Publishing
Chapter #2

Bagian Satu - 2

Eleanor Vance berusia tiga puluh dua tahun ke­tika datang ke Hill House. Setelah sang ibu mening­­gal dunia, tak ada orang lain di dunia ini yang le­bih dia benci ketimbang kakak perempuannya. Eleanor­ juga tidak menyukai suami kakaknya dan keme­na­ kannya­ yang berusia lima tahun, dan dia tidak p­unya­ teman. Semua ini gara-gara dia menghabiskan se­belas tahun hidupnya untuk merawat sang ibu yang invalid. Dan waktu yang tersia-sia itu hanya menyisa­kan­nya­ kepiawaian sebagai perawat sekaligus ketidak­mampu­ an untuk memandang sinar matahari yang terik tanpa­ berkedip­. Eleanor tidak ingat pernah merasa benar­-benar bahagia sepanjang usia dewasanya; tahun-tahun yang dihabiskannya bersama sang ibu didedikasikan­­ nya di sekitar rasa bersalah dan cercaan, kelelahan konstan,­ dan keputusasaan tiada akhir. Meskipun pada dasar­nya­ bukan seorang yang pendiam dan pemalu,­ Eleanor menghabiskan waktu sekian lama itu seorang­ diri, tanpa seorang pun untuk dicintai, sampai­-sampai­ sulit baginya untuk berbicara, bahkan dengan­ santai,­ kepada orang lain tanpa perasaan minder dan ketidakmampuan yang canggung untuk menemu­kan­ kata-kata. Namanya muncul di daftar Dr. Mon­tague karena suatu hari, ketika usianya dua belas dan kakaknya­ delapan belas, dan ayah mereka baru mening­gal­ tidak sampai satu bulan sebelumnya, hujan batu turun di rumah mereka, tanpa peringatan, indikasi­ tujuan atau alasan apa pun. Batu jatuh dari langit­-langit, bergulir­ keras ke dinding, memecahkan jendela, dan berkeletak­-keletuk menjengkelkan di atap. Batu­-batu terus turun sebentar-sebentar selama tiga hari. Sepanjang­ waktu itu, Eleanor dan kakaknya merasa­ lebih gelisah melihat tetangga dan pelancong yang ber­kumpul setiap hari di luar pintu depan rumah mereka alih-alih oleh batu-batu tadi. Keadaan itu diper­parah­ oleh tuduhan histeris ibu mereka yang membabi­ buta, bahwa semua ini ulah tukang fitnah kejam di blok tempat tinggal mereka yang mendendam padanya­ sejak dia datang. Setelah tiga hari, Eleanor dan kakaknya diungsikan ke rumah seorang teman, dan hujan batu pun berhenti, tidak pernah terjadi lagi. Eleanor dan kakak serta ibunya kembali tinggal di rumah­ tersebut, dan perseteruan dengan seluruh tetang­­ga di lingkungan mereka tidak pernah berakhir. Kisah itu sudah terlupakan kecuali oleh orang-orang yang ditanyai Dr. Montague; dan tentu saja telah dilupakan­ oleh Eleanor serta kakaknya, yang masing-masing­ meng­ang­gap yang lain ber­tanggung jawab atas fenomena itu.

 Sepanjang titik terendah kehidupannya, sejak dia dapat mengingat, Eleanor menantikan sesuatu seperti Hill House. Sambil merawat sang ibu, mengangkat wanita­ paruh baya pemarah itu dari kursi ke tempat tidurnya,­ tanpa henti membawakan nampan kecil ber­ isi sup dan bubur oat, menguatkan diri untuk mem­bilas cucian kotor, Eleanor berpegang teguh pada ke­yakinan bahwa kelak sesuatu akan terjadi. Dia telah menerima­ undangan ke Hill House melalui surat balasan, mes­ kipun saudara iparnya bersikeras terlebih dulu meng­ hu­bungi sejumlah orang untuk memastikan bahwa doktor ini tidak bermaksud mengenalkan Eleanor pada ritual-ritual liar yang ada hubungannya dengan hal-hal yang kakak Eleanor anggap tidak pantas diketahui wanita muda yang belum menikah. Barangkali, bisik kakak Eleanor dalam privasi kamar tidur suami-istri tersebut,­ barangkali Dr. Montague—itu pun kalau­ benar namanya—barangkali Dr. Montague ini meman­ faatkan perempuan-perempuan untuk semacam, yah, eksperimen. Kau tahulah, eksperimen macam apa. Sang kakak memusingkan diri pada eksperimen-eksperimen yang didengarnya dilakukan oleh para doktor. Elea­nor tidak memiliki pemikiran semacam itu. Atau, ka­laupun­ memilikinya, dia tidak merasa takut. Eleanor, singkat­­ nya, bersedia pergi ke mana saja.

***

Theodora—itu nama paling panjang yang pernah di­ gunakan­nya­. Biasanya, dia menyebut dirinya “Theo”, seperti­ yang dia bubuhkan pada sketsa-sketsanya, papan penanda­ di pintu apartemennya, jendela tokonya, daftar nomor teleponnya, kertas surat pucatnya, dan pada bagian dasar foto cantiknya yang dipajang di rak perapian­. Namanya selalu hanya Theodora—dan Theo­ dora sungguh bertolak belakang dengan Eleanor. Bagi Theodora, rasa kewajiban dan hati nurani adalah sifat yang sepatutnya dimiliki seorang Pandu Putri. Dunia Theodora­ terdiri atas kesenangan dan warna-warna pastel. Dia muncul dalam daftar Dr. Montague karena entah bagaimana—pergi ke laboratorium sambil ter­ tawa-tawa, meruapkan wangi parfum bebungaan— Theodora­ mampu menebak secara tepat delapan belas dari dua puluh kartu, lima belas dari dua puluh kartu, sembilan­ belas dari dua puluh kartu, yang dipegang oleh seorang asisten yang berada di luar jangkauan pende­ngaran­ maupun penglihatannya. Theodora geli se­kaligus senang akan bakat barunya yang luar biasa itu. Namanya tampak menonjol dalam catatan labora­torium,­ dan pada gilirannya menarik perhatian Dr. Montague­. Dia terhibur oleh surat pertama Dr. Monta­gue­ dan membalasnya hanya karena penasaran (mungkin­ indra keenamnya yang baru ditemukan itulah, yang membuat­ Theodora mampu menebak kartu yang diacung­kan­ di luar penglihatannya, telah membawa­nya­ ke Hill House), namun dia sepenuhnya bermaksud­ untuk menolak undangan tersebut. Akan tetapi, be­gitu surat konfirmasi dari Dr. Montague tiba—barang­kali­ karena dorongan indra keenamnya yang kuat dan mendesak tadi—Theodora tergerak secara membabi­-buta dan menggebu-gebu untuk ber­teng­kar sengit dengan teman seapartemennya. Kedua­ belah pihak melontarkan hal-hal yang hanya bisa dihapus­ oleh waktu. Theodora sendiri dengan sengaja dan tanpa perasaan menghancurkan patung diri kecil nan cantik yang diukir temannya, sementara sang teman de­ngan kejam mencabik-cabik buku karya Alfred de Musset yang merupakan hadiah ulang tahun­ dari Theodora,­ habis-habisan menghancurkan halaman­ yang memuat tulisan tangan Theodora yang penuh kasih sekaligus ledekan. Tindakan-tindakan ini tentu saja tak terlupakan, dan sebelum mereka bisa me­ nertawa­kan kekonyolan mereka bersama-sama begitu­ waktu mengizinkan,­ Theodora menulis surat malam itu juga, menerima­ undangan Dr. Montague, dan angkat kaki dalam kebisuan yang dingin keesokan harinya.

***

 Luke Sanderson seorang pembohong. Dia juga pencuri. Bibinya, pemilik Hill House, suka berkata bahwa ke­ menak­annya­ itu memiliki pendidikan terbaik, pakaian­ terbaik, selera terbaik, namun teman-teman ter­buruk­ dari setiap orang yang pernah dikenalnya; Mrs. Sander­­ son akan segera menyambar kesempatan pertama yang datang untuk menyingkirkan Luke selama beberapa minggu. Pengacara keluarga berhasil meyakinkan Dr. Montague bahwa rumah itu tidak bisa disewakan untuk tujuan sang doktor tanpa kehadiran anggota keluarga selama masa tinggalnya. Barangkali pada pertemuan pertama mereka, doktor melihat semacam kekuatan di dalam diri Luke, insting menyelamatkan diri yang mirip kucing, dan itu membuatnya nyaris segelisah Mrs. San­ derson dengan kehadiran Luke di rumah tersebut. Pada akhirnya, Luke senang, bibinya bersyukur, dan Mr. Montague lebih daripada sekadar puas. Mrs. Sander­ son­ berkata kepada pengacara keluarga bahwa biar bagai­mana­pun,­ tidak ada barang berharga di rumah itu yang bisa dicuri Luke. Perangkat perak antik di sana­ memang mahal, begitu katanya kepada sang pengacara,­ tapi kesulitan yang menyertainya tak dapat diatasi­ oleh Luke: butuh tenaga untuk mencuri dan menjual­nya­. Mrs. Sanderson berlaku tidak adil pada Luke. Luke sama sekali bukan tipe orang yang akan melari­kan­ perak warisan, atau arloji Dr. Montague, atau gelang Theodora; hal tidak jujur yang pernah di­ lakukannya­ paling-paling hanya mengutil uang kecil dari bibinya, atau curang saat bermain kartu. Dia juga suka menjual jam tangan dan kotak rokok yang diha­­ diahkan­ kepadanya, dengan penuh kasih sayang dan tersipu­-sipu, oleh teman-teman bibinya. Suatu hari nanti, Luke akan mewarisi Hill House, tapi tidak per­nah terpikir olehnya untuk tinggal di dalamnya.[]

Lihat selengkapnya