Puluhan orang berikat kepala berkumpul di beberapa titik. Memasang blokade yang hampir menutupi jalan sepenuhnya. Teriakan mereka terdengar jelas dari kejauhan. Banyaknya orang yang berlarian menjauh menggambarkan kengerian yang para pendemo itu pancarkan ke sekitar.
Pandangan Clara berpindah ke arah lain seiring ia merasakan kakinya melangkah mundur. Gerakannya terhenti tepat di saat punggungnya bertabrakan dengan dinding sebuah rumah tua. Ia menoleh, mendapati sosok yang terlihat seperti ayahnya tengah sibuk memasang sebuah kertas besar bertuliskan ‘Milik Pribumi’.
Ini di mana? Ada apa? Kenapa ayahnya terlihat sangat aneh dan berbeda? Clara terus bertanya-tanya, tetapi tidak satu pun dari pertanyaannya yang terjawab. Dadanya sungguh terasa berat dan sesak oleh kesedihan yang tidak ia ketahui asalnya. Apa benar ingatan ini miliknya? Mengapa ia merasa tidak ada hubungannya dengan semua ini?
Dengan seluruh kemampuannya, Clara berusaha untuk meraih ayahnya yang kini melangkah memasuki bangunan lusuh di depan mereka dengan tergesa-gesa. Pria itu bahkan menutup pintu tanpa memastikan bahwa Clara benar-benar telah berada di dalam. Sang gadis terkesiap. Ia baru saja hendak protes saat tiba-tiba terdengar suara gaduh dari luar. Diiringi suara kaca pecah dan teriakan yang terdengar seperti luapan kemarahan puluhan orang.
Kedua mata Clara membelalak saat ia melihat kilat cahaya oranye menyeruak dari salah satu sudut ruangan.
“Ayah! Api!”
Terlambat. Dalam waktu singkat lidah api melahap semua benda yang menghalangi jalannya. Termasuk pintu dan jendela yang telah ditutupi oleh batang-batang kayu. Napas Clara menderu. Seketika tenggorokannya terasa perih seolah-olah ia telah memasukkan bara api itu ke dalam mulutnya sendiri. Seluruh tubuhnya memanas, tetapi ia sama sekali tidak bisa mengusap kulitnya sendiri karena otot-ototnya sama sekali tidak bisa digerakkan. Ia hanya berdiri membeku menyaksikan ayahnya berlari menerobos pusaran api.
“Tidak!”
Sang gadis bangkit dari tidurnya secepat kilat. Membuat pandangannya buram dan berputar, tepat setelah ia memaksakan diri untuk membuka mata. Tangannya mencengkeram erat selimut tebal yang sedari tadi membelit tubuhnya. Clara mengerjap, menyadari bahwa ia masih berada di dalam kamarnya yang aman dan nyaman.
“Hah … apa lagi tadi itu?” keluhnya sambil memegang dada. Merasakan detak jantungnya masih berdebar dengan sangat keras. Sekilas ia mendelik ke arah samping. “Apa itu ulah salah satu dari kalian?”
Mendadak angin dingin berembus. Menggoyangkan gorden yang menutupi jendela besar di samping ranjang Clara. Kain tebal berwarna biru langit itu seperti menarikan sebuah tarian lembut guna menenangkan hati sang gadis. Namun, Clara justru mendengkus.
“Sudah kubilang, jangan ganggu aku saat tidur! Aku akan lakukan apa yang kalian mau di siang hari saja. Titik!” protesnya. Sambil berbicara, gadis remaja itu mengedarkan pandangannya ke segala arah, bersikap seakan-akan ia tengah melakukan presentasi di depan kelas. Bedanya, kali ini ia tidak sedang bersama teman-temannya. Hanya furnitur kamarnya yang menyaksikan aksinya, bersama sekelebat bayangan buram hitam dan putih yang hampir tidak bergerak. Berusaha menyerupai sinar bulan yang menyusup masuk melalui celah-celah gorden.
Sering sekali Clara menghadapi hari-hari seperti ini. Hari di mana ia tidak bisa menghabiskan malam dengan tenang. Ia akan terbangun beberapa kali oleh berbagai mimpi buruk yang entah sengaja atau tidak dimasukkan ke dalam pikirannya.
Clara menghela napas berat sambil menjambak sebagian rambutnya yang sudah tumbuh panjang hingga melewati bahu. “Lagi-lagi aku tidak ingat seperti apa mimpiku barusan,” keluhnya. Ia menggelengkan kepalanya pelan. “Setidaknya, kali ini aku bisa langsung bergerak dengan normal.”
Di tengah monolognya, mendadak Clara mengarahkan kedua matanya ke arah samping, merasakan aura tidak menyenangkan yang sedari tadi mengarah kepadanya dari sudut ruangan. Gadis itu hampir saja tersedak ludahnya sendiri saat mendapati udara di sekitarnya seolah-olah memadat, membentuk bayangan hitam yang tampak jauh lebih pekat dibandingkan yang lainnya.