Selama hidup, Clara memang tidak pernah menganggap bahwa dirinya sama seperti kebanyakan orang. Dengan kemampuan untuk merasakan banyak sosok yang bukan manusia, sang gadis menerima takdirnya yang mungkin harus hidup menanggung beban dari kemampuannya itu. Tidak pernah satu kali pun ia mempermasalahkan semuanya.
Namun, akhir-akhir ini ada yang berbeda. Rasa takut mulai menggerogoti dirinya dari dalam setelah ia menyadari bahwa terkadang ada saat-saat di mana ia tidak bisa sepenuhnya mengendalikan diri.
“Bayangkan saja! Aku tiba-tiba meneriakkan kata ‘bakar’ begitu saja! Sebelumnya aku sudah pernah kerasukan dan rasanya tidak semengerikan itu,” keluh Clara sambil memainkan pensil di jarinya. “Sudah beberapa hari berlalu sejak pertama kali aku mengalaminya, tetapi tubuhku masih bergetar ketakutan setiap kali mengingatnya. Rasanya seperti … seseorang atau sesosok makhluk tengah mencoba memenuhi tubuhku dengan kebencian yang selama ini dia pelihara.”
Gadis yang berada di samping Clara lantas mengangguk pelan. Terlihat jelas bahwa ia tengah menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa takutnya. “Aneh. Padahal kamu sudah menghabiskan belasan tahun hidupmu bersama makhluk halus dan semuanya baik-baik saja sampai sekarang. Sebenarnya, apa yang berubah?”
“Aku juga bingung, Tan. Padahal tanpa semua gangguan itu, aku sudah cukup menderita setiap malamnya.” Clara merengek pelan sambil bertopang dagu. Tanpa sengaja mengarahkan pandangannya ke arah sekumpulan siswa di dekat pintu masuk kelas. Kerut di keningnya terbentuk cukup dalam setelah ia mendapati bahwa bukan hanya manusia yang tengah berkumpul di sana. “Mereka sedang apa?”
Tania mengikuti arah pandang Clara. “Biasa, lah. Di minggu ujian seperti ini, pasti selalu ada anak yang mengaku punya kertas berisi doa mujarab yang diturunkan dari nenek moyangnya. Mereka pasti sedang meminta salinannya,” jawabnya santai. “Kenapa? Apa kamu mau juga?”
“Tidak mau.” Clara bergidik ngeri. “Kemungkinan besar tidak ada hal baik yang akan terjadi jika kita percaya pada hal seperti itu.”
“Memangnya kenapa? Bukannya semua doa itu sama?”
“Aku tidak begitu mengerti, tapi yang pasti …,” Clara menggantung ucapannya untuk menarik napas dalam, “ada terlalu banyak makhluk jahil yang mengelilingi kertas itu. Aku yakin mereka tidak punya niat baik.” Salah satu tangan gadis itu bergerak memutar. Menunjuk beberapa titik di sekitar teman-teman sekelasnya yang masih berkumpul.
Ekspresi tenang yang susah payah Tania pertahankan seketika berubah. Kedua matanya terlihat melebar di balik kaca mata berbingkai merah yang menghias wajahnya. “Apa sebaiknya kita beritahu mereka?”
“Tidak perlu,” jawab Clara sambil menggelengkan kepala dengan tegas. Namun, suaranya terdengar pelan, seolah-olah ia sendiri meragukan keputusannya. “Jauh di dalam hati, mereka pasti tahu bahwa semua itu tidak ada gunanya. Tapi mereka tetap membutuhkan sesuatu untuk meningkatkan kepercayaan diri. Jadi, biarkan saja.”
Wajah Tania justru semakin memucat. “Bu-bukankah kamu bilang para makhluk itu tidak punya niat baik? Gimana kalau teman-teman kita celaka karena mereka?”