“Boleh, ya, Yah? Kumohon,” rengek Clara sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Sebisa mungkin ia memperlihatkan tatapan memelas, yang ia tahu akan selalu mampu menyentuh relung hati Randy. Terakhir kali Clara bersikap seperti ini, ia berhasil membuat sang ayah membelikannya ponsel keluaran terbaru. Gadis itu yakin sekali bahwa kali ini pun tidak akan berbeda.
Sayangnya, Randy yang tengah menikmati secangkir kopi sambil berdiri dan bersandar ke meja dapur justru membanting gelas di tangannya dengan keras. Gelas berbahan keramik mahal itu tidak pecah, tetapi suara benturannya dengan permukaan meja cukup untuk membuat Clara tersentak.
“Kamu tahu kenapa Ayah tidak pernah mau kamu bepergian jauh,” ujar Randy dengan tegas. Pria itu berdiri tegak sambil bersedekap dada. Tidak terlihat sedikit pun kehangatan dalam tatapan datarnya kepada Clara. “Kalau perpisahan kelulusan SMA nanti, mungkin Ayah akan pikirkan. Tapi kalau liburan biasa … bukankah itu tidak terlalu penting?”
“Mungkin ini liburan terakhir yang bisa kunikmati sebelum kelas 12, Ayah.” Clara terisak, meskipun tidak ada satu tetes air mata pun yang keluar dari sudut matanya. Bibirnya yang kini mengerucut membuat ucapannya sedikit sulit untuk dipahami. “Izinkan aku pergi. Aku janji akan jaga diri.”
“Bagaimana Ayah bisa percaya? Bi Sumi bilang hari ini pun kamu pulang terlambat setengah jam.”
“Aku hanya bermain sebentar di lapangan sebelah!”
“Sampai sepatumu penuh lumpur dan rambutmu berantakan?”
Clara terkesiap. Ia tidak percaya bahwa asisten rumah tangga kesayangannya telah mengadukan dirinya kepada sang ayah dengan sangat detail. “Oh, i-itu … aku sempat membantu anak kecil untuk mengambil boneka kesayangannya yang terjatuh.”
“Lebih tepatnya, hantu anak kecil,” tambah sang gadis dalam hati. Ia ingin sekali mengatakan hal ini kepada Randy, tetapi ia tahu bahwa sang ayah tidak akan menganggapnya serius, seperti biasanya.
Tidak ada yang tahu kemampuan Clara untuk melihat dan berkomunikasi dengan makhluk halus selain sahabatnya, Tania, dan juga mendiang nenek dari pihak ayahnya. Sementara Randy selalu saja berpikir bahwa Clara hanyalah seorang anak yang mempunyai daya imajinasi tinggi, sehingga seringkali tertukar antara kenyataan dan khayalan. Clara sendiri tidak pernah benar-benar mencoba untuk mengubah pandangan ayahnya, khawatir kalau-kalau Randy justru akan semakin protektif kepadanya.
Saat ini saja Clara mulai merasa putus asa. Wajah pria dewasa di hadapannya terus saja mengeras, seakan-akan tidak pernah ada kelembutan yang bertengger di sana.
Jelas sekali ia akan kalah dari perdebatan ini, tetapi Clara tidak punya pilihan lain selain terus membujuk Randy.
“Jangan diam saja, Ayah,” pinta Clara, kali ini sambil menggenggam kedua tangan sang ayah yang ia tarik dengan sedikit memaksa. “Maaf kalau selama ini aku sering melanggar janji, tapi aku sungguh tidak pernah melakukan sesuatu di luar batas.”