Sejak kejadian terakhir yang Harsha alami, Harsha bersikap sedikit lebih berhati – hati dari pada biasanya ketika mendengar pikiran orang lain. Pikiran manusia mungkin adalah hal terumit yang pernah Harsha temui. Kemampuan yang Harsha miliki memang membawa banyak hal positif bagi Harsha namun di sisi lain mendengar isi pikiran dan hati orang lain membuat Harsha tidak bisa percaya dengan siapapun.
Keadaan Harsha makin memburuk. Insomnianya semakin memburuk dan nafsu makannya pun semakin memburuk. Kemampuannya itu semakin lama semakin besar jangkauannya dan membuat Harsha mengurung diri di kamarnya. Ibunya yang khawatir dengan keadaan putrinya itu membawa Harsha dengan paksa ke psikiater.
Farraz Taraka. Dokter psikiater yang menangani kasus Harsha, berusia 27 tahun dan tampan. Namun hal itu tidak membuat Harsha tertarik dan membuka dirinya pada sesi konselingnya. Farraz begitu tertarik dengan kasus yang menimpa Harsha dan melihat kondisinya begitu buruk. Antara percaya dan tidak percaya, Farraz pun menerima kasus Harsha dan berusaha untuk menolong Harsha.
“Kamu tidak ingin bercerita apapun ?” tanya Farraz pada Harsha di sesi konselingnya.
“Tidak. Tidak ada yang perlu aku ceritakan. . .”
“Aku penasaran apakah dia benar – benar bisa mendengar pikiran orang lain? Apa yang didengarnya hingga dia tidak bisa tidur dan kehilangan nafsu makannya ?”
Harsha mendengar isi pikiran dokternya itu dan menarik napas panjang sebelum membuka mulutnya untuk bicara, “Aku penasaran apakah dia benar – benar bisa membaca pikiran orang lain? Apa yang didengarnya hingga dia tidak bisa tidur dan kehilangan nafsu makannya?”
Farraz tersentak dan terkejut mendengar ucapan Harsha yang sama persis dengan apa yang ada dalam pikirannya, “Jadi kamu benar – benar bisa mendengar pikiran orang lain?”
“Saat ibunya datang dan menceritakan hal ini, kukira ibu Harsha hanya bercanda dan percaya bahwa putrinya bisa mendengar pikiran orang lain. Tapi ini. . . dia benar – benar bisa membaca pikiran orang lain. Kemampuan yang menguntungkan. . .”
“Aku mengatakan ini agar dokter tidak menganggap ibuku berbohong padamu dan juga kemampuan ini tidak hanya menguntungkan tapi juga merugikan. . .”
“Kamu membaca pikiranku lagi?”
“Mau tidak mau aku mendengar pikiran orang lain bahkan seluruh isi kepala orang - orang di tempat ini pun aku tahu.”
“Jika kamu memanfaatkannya dengan baik, kamu pasti bisa menggunakan kemampuanmu ini untuk kepentinganmu dan kepentingan orang banyak.”
“Dokter tidak tahu apa saja yang aku dengar setiap harinya. . . bukan hanya hal baik yang aku dengar. . keluhan orang – orang setiap hari. Amarah mereka yang terpendam. Pandangan kotor pria yang melihat tubuh wanita. Niat jahat tersembunyi antara rekan kerja dan bahkan sesama anggota keluarga. Suara pikiran mereka membuatku muak. Saat aku hendak makan tiba – tiba pikiran kotor pria yang melihat wanita terdengar dan seketika kemudian aku langsung mual, kehilangan nafsu makanku.”
Mendengar ucapan Harsha tentang isi pikiran orang – orang yang didengarnya membuat Farraz berubah pikiran. Kemampuan itu bukanlah kemampuan yang sanggup ditanggung oleh seorang gadis berusia 25 tahun.
Setelah sesi konselingnya berakhir, Farraz memberikan sebuah earphone sebagai hadiah perkenalan mereka, “Kamu bisa menggunakan ini saat kamu tidak ingin mendengar suara – suara orang – orang. Aku tidak tahu apakah ini akan berhasil atau tidak? Tapi lebih baik mencoba dari pada tidak sama sekali. . .”
Harsha terdiam melihat hadiah yang diulurkan oleh Farraz padanya.
“Kuharap dia bisa membaik setelah menggunakan ini. . .”
Harsha tersenyum menerima hadiah yang Farraz ulurkan padanya, “Aku menerimanya karena niat baik darimu, Dok. Jika saja pikiranmu berkata lain mungkin aku tidak akan menerima ini.”
“Syukurlah kalau begitu. Kamu bisa memastikan niatku dengan mendengar pikiranku saat pertemuan berikutnya. Senang sekali kamu menerimanya dan kuharap kita bisa lebih terbuka pada sesi berikutnya.”
Harsha berpamitan dan pergi meninggalkan tempat konselingnya itu.
“Kurasa dokter bernama Farraz itu adalah satu dari sedikit orang yang menjaga pikirannya. . . selama sesi konselingnya isi kepalanya hanya tentang pasien di hadapannya. . .”