The Heir's Hidden Flame

Lara Vee
Chapter #4

Batas Yang Mengabur

Gala Veridian mencapai puncaknya, tetapi bagiku, malam itu terasa semakin menyesakkan. Selama dua jam terakhir, aku menjalani peran sebagai kekasih Jordan Veridian dengan sempurna: tertawa pada leluconnya yang langka, menerima pujian tanpa berlebihan, dan membalas pandangan tajam Elara dengan senyum tipis.

Yang paling sulit adalah sentuhan Jordan. Tangannya selalu berada di suatu tempat pada diriku, di punggung bawahku saat berjalan, melingkari pinggangku saat berbicara dengan tamu, bahkan sesekali membelai jariku. Sentuhan itu bukan lagi akting; itu adalah sinyal kepemilikan. Dan anehnya, aku mulai terbiasa, bahkan merindukannya saat Jordan melepaskannya sebentar.

Jordan menarikku ke teras galeri yang sepi, jauh dari hiruk pikuk dan kilatan kamera. Udara malam yang dingin terasa kontras dengan panas tubuh kami yang bersentuhan.

"Kamu melampaui ekspektasiku, Stella," ujar Jordan, bersandar pada pagar batu. Ia mengeluarkan sebatang rokok tipis, tetapi tidak menyalakannya. "Kamu bukan hanya tameng. Kamu adalah senjata."

"Saya hanya melakukan apa yang tertulis dalam kontrak, Pak Jo," balasku, suaraku berusaha keras tetap profesional. Aku tidak ingin pujian Jordan mengacaukan misiku.

"Kontrak," Jordan mendengus, memainkan rokok di tangannya. "Kontrak tidak mewajibkanmu membalas tatapan Elara seolah kamu siap mencabut nyawanya. Itu adalah improvisasi."

"Itu adalah naluri bertahan hidup," koreksiku. "Sama seperti yang Anda lakukan pada Paman Victor."

Jordan mengalihkan pandangannya dari rokok, menatapku lurus. Jarak kami terlalu dekat, terlalu intim. Di bawah sinar bulan, mata dingin Jordan tampak lebih gelap dan, anehnya, sedikit lelah.

"Kamu benar-benar tidak terintimidasi oleh siapa pun, ya?" tanya Jordan.

"Takut adalah kemewahan yang tidak mampu saya beli," jawabku jujur, kata-kata itu keluar tanpa aku sadari.

Ekspresi Jordan melembut, sebuah perubahan yang sangat kecil, tetapi aku merasakannya. Dia melangkah lebih dekat, menyingkirkan rokok dari tangannya, dan perlahan menangkupkan kedua tangannya ke wajahku.

"Malam ini, lupakan dulu misimu, dan lupakan kontraknya. Izinkan aku melihat apa yang membuatmu begitu kuat, Stella."

Jordan mendekat. Aku seharusnya menolak. Aku harus mengingatkan Jordan tentang aturan, tentang tidak adanya emosi tulus. Tetapi tubuhku membeku. Mata Jordan mencari izin, dan aku, untuk pertama kalinya sejak aku memulai misiku, tidak mampu berkata tidak.

Jordan menutup jarak, bibirnya yang dingin menyentuh bibirku. Ciuman itu dimulai dengan lambat, hati-hati. Kemudian, Jordan menekannya, memaksanya menjadi lebih dalam, lebih menuntut. Ciuman itu adalah pernyataan posesif, sebuah pengakuan yang Jordan tolak untuk diucapkan. Itu adalah api yang sengaja dilepaskan.

Di tengah ciuman itu, kepalaku dipenuhi flashback samar. Bukan tentang arsip. Melainkan tentang tangan ayahku yang keras memegangiku, janji yang diucapkan di pemakaman yang dingin.

Jangan lupakan misimu.

Aku menarik diri, terengah-engah. Mataku melebar karena terkejut, bukan karena Jordan, tetapi karena diriku sendiri. Aku hampir melupakan semuanya.

"Itu," bisikku, suaraku tercekat, "bukan bagian dari kontrak, Pak Jo."

Jordan menatapku, matanya menyala. "Maka anggap saja itu sebagai bonus. Atau peringatan. Kamu bermain api denganku, Stella."



. . .


Mobil Jordan melaju kencang, membelah keheningan malam jalanan elit. Aku duduk di jok kulit yang lembut, tetapi rasanya seperti duduk di atas pecahan kaca. Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Jordan tidak bertukar satu kata pun. Atmosfernya tegang, panas, dan berbahaya. Aku tahu aku baru saja membuat kesalahan fatal.

Ciuman itu. Itu seharusnya menjadi bagian dari akting, tetapi cara Jordan menciumku itu menuntut, posesif, seolah mengambil apa yang memang menjadi miliknya, membuat flashback itu muncul. Kilasan singkat tangan ayahku, ekspresi putus asa di wajahnya, dan janji yang kuucapkan di bawah hujan.

Lihat selengkapnya