Aku tiba di Veridian Group pukul 07.30 pagi, tiga puluh menit sebelum jam kerja resmi, tetapi sudah sepuluh menit setelah waktu kedatangan Jordan. Aku mengenakan pakaian kerja yang rapi, rok pensil dan blazer yang terasa lebih sesuai dengan misi baruku daripada gaun sutra semalam.
Lift pribadi yang semalam ku gunakan untuk bertemu Jordan, kini merespons kartu akses baruku: Stella, Asisten Pribadi Khusus CEO. Lift melesat cepat ke lantai teratas.
Lantai eksekutif masih sepi. Hanya beberapa staf keamanan di pos mereka, yang melirikku dengan rasa ingin tahu. Aku mengabaikan mereka, langsung menuju kantor Jordan.
Pintu kantor Jordan adalah kaca tebal yang buram. Aku ragu sejenak sebelum menggesek kartu aksesku. Akses Diterima.
Jordan sudah ada di sana. Ia duduk di mejanya yang luas, dikelilingi oleh layar komputer yang menyala. Dia mengenakan kemeja putih yang pas di tubuhnya, beberapa kancing atas dibiarkan terbuka, terlihat santai namun tetap berwibawa.
Di depannya, terhampar sebuah koran bisnis, dan di sampingnya, sebuah piring berisi sepotong roti panggang yang sudah digigit. Jordan sarapan ringan di kantor, seperti yang kubaca di file kebiasaannya semalam.
"Kau terlambat, Stella," Jordan menyambutku tanpa mendongak dari koran. "Aku bilang jam delapan."
"Ini masih pukul tujuh tiga puluh lima, Tuan Jo. Saya pikir saya akan bersiap-siap sebelum Anda mulai," jawabku tenang, meletakkan tas kerjaku di meja yang baru ditetapkan untukku, tepat di sudut ruangan Jordan.
Jordan akhirnya mendongak, matanya yang tajam menilaiku dari balik koran. "Bagus. Ambilkan kopi untukku. Hitam, tanpa gula, panas."
Aku mengangguk, melihat itu sebagai kesempatan pertamaku untuk bergerak bebas. Aku berjalan ke mesin kopi yang elegan di sudut ruangan. Sambil membuatkan kopi Jordan, aku mengamati gerakannya.
Jordan mengambil ponselnya, mengetuk-ketuk layar. Aku harus melihat kode pin-nya.
Ketika aku kembali membawa kopi, Jordan sudah berdiri. Ia mengambil dompetnya dari saku jas yang tergantung di sandaran kursi. Dia bersiap untuk pergi, mungkin untuk rapat pagi.
"Ada rapat mendadak di lantai lima belas. Batalkan semua jadwalku hingga pukul sepuluh. Kau ikut," perintahnya.
Sambil berjalan keluar, ia mendekati brankas dinding tersembunyi di balik lukisan. Dia memasukkan kode.
Inilah saatnya! Aku harus melihatnya.
Aku pura-pura menjatuhkan pulpenku. Taktik klise, tapi semoga berhasil.
Aku membungkuk, berusaha keras agar pandangan mataku tidak terlalu jelas terlihat. Dari posisiku yang rendah, aku melihat Jordan mengetuk keypad. 1-9-8-5.
Itu adalah empat digit. Apakah itu kode pin? Atau tanggal lahir? Aku segera mengingat-ingat.
Jordan menutup brankas dan menatapku, yang baru saja bangkit sambil memegang pulpen. Matanya menyipit.
"Kau sangat canggung untuk seorang asisten pribadi," komentarnya tajam. "Jangan coba-coba mengacaukan rencanaku, Stella."
"Saya hanya gugup, Tuan Jo," jawabku, menghindari tatapannya. Bukan gugup, Jordan. Hanya mencatat.
1-9-8-5. Empat angka itu sekarang menjadi target pertamaku, selain hati Jordan, yang mana mengingat misiku jauh lebih mudah untuk diabaikan.
Rapat di lantai lima belas adalah pertemuan tingkat tinggi yang melibatkan direktur proyek dan manajer keuangan. Jordan duduk di kursi kepala meja, dengan aku di samping kanannya, bukan di kursi asisten yang seharusnya berada di sudut ruangan.
Posisi ini sudah cukup untuk memicu bisik-bisik yang tertahan. Jordan mengabaikannya. Ia mulai rapat dengan intonasi dingin, membahas kerugian tak terduga dalam proyek infrastruktur terbaru Veridian.
"Kerugian ini tidak masuk akal," tegas seorang direktur senior. "Semua laporan menunjukkan proyek berjalan sesuai anggaran dan waktu. Ada kebocoran di suatu tempat, Tuan Jo."
Stella mencatat dengan rapi, tetapi telinganya lebih fokus pada clue tentang kerugian. Kebocoran? Bukankah itu yang Jordan takuti, bahwa ada yang mencoba menjatuhkannya?
"Nona Stella," Jordan tiba-tiba memanggil, membuat semua mata tertuju padaku. "Menurut data analisis yang Anda susun semalam, apa kejanggalan terbesar dalam laporan keuangan proyek ini?"