The Heir

Bentang Pustaka
Chapter #3

Chapter 3

Aku memutuskan untuk makan malam di kamarku. Aku merasa tidak ingin melihat keluargaku sekarang ini. Aku geram sekali kepada mereka semua. Kepada orang tuaku karena mereka berbahagia, kepada Ahren karena tidak meningkatkan kecepatan lahir delapan belas tahun yang lalu, kepada Kaden dan Osten karena mereka begitu muda.

Neena mengelilingiku, mengisi cangkirku saat dia bicara. “Apa menurut Anda, Anda akan berhasil menjalani Seleksi itu, Miss?” tanya Neena.

“Aku masih berusaha untuk mencari jalan keluar.”

“Bagaimana kalau Anda mengatakan bahwa Anda sudah jatuh cinta kepada seseorang?”

Aku menggelengkan kepalaku saat aku menyodok-nyodok makananku. “Aku sudah menghina tiga kandidatku yang paling memungkinkan di depan Mom dan Dad.”

Neena meletakkan sepiring kecil cokelat di tengah meja, menebak dengan tepat kalau aku barangkali akan lebih menginginkan cokelat itu ketimbang salmon dengan hiasan kaviar.

“Kalau begitu, seorang pengawal istana barangkali? Lumayan sering terjadi pada para pelayan wanita, lho.” Neena mengusulkan dengan sebuah kikikan geli.

Aku mendengus. “Buat mereka, sih, itu enggak apa-apa, tapi aku enggak seputus asa itu juga, tahu.”

Tawa Neena menghilang.

Aku seketika tersadar telah menyinggung perasaan Neena, tapi memang begitulah kenyataannya. Aku tidak bisa membangun hubungan dengan sembarang pria tua, apalagi seorang pengawal istana. Bahkan, cuma sekadar mempertimbangkannya saja sudah merupakan pemborosan waktu. Aku membutuhkan jalan keluar dari seluruh situasi ini.

“Yang aku maksud bukan seperti itu, Neena. Hanya saja, biasanya orang-orang mengharapkan hal-hal tertentu dariku.”

“Tentu saja.”

“Aku selesai. Kamu boleh pergi untuk malam ini, aku akan meninggalkan kereta makanannya di koridor.”

Neena mengangguk dan pergi tanpa sepatah kata pun.

Aku menggigiti cokelat-cokelat itu sebelum akhirnya aku jadi sepenuhnya tidak berselera dengan makanan, lalu mengenakan gaun malamku. Aku tidak bisa berunding secara logis dengan Mom dan Dad sekarang ini, sedangkan Neena tidak paham. Aku perlu bicara dengan satu-satunya orang yang mungkin memahami sudut pandangku, orang yang kadang terasa seolah-olah kalau dia itu adalah setengah dari diriku. Aku membutuhkan Ahren.

“Apa kamu sedang sibuk?” tanyaku seraya sedikit membuka pintu kamar Ahren.

Ahren tengah duduk di mejanya, menulis. Rambut pirangnya terlihat acak-acakan ala berantakan-di-pengujung-hari, tapi matanya jauh dari lelah. Dan, Ahren terlihat sangat mirip dengan foto-foto Dad saat Dad lebih muda, sampai-sampai itu membuat ngeri. Ahren masih berpakaian lengkap dari pakaian makan malamnya, tapi sudah melepaskan jas dan dasinya, sudah terlihat siap istirahat malam ini. “Ya ampun, ketuk pintunya dulu, dong.”

“Aku tahu, aku tahu, tapi ini darurat.”

“Kalau begitu cari saja seorang pengawal,” Ahren balik menyentak, kembali ke kertas-kertasnya.

“Saran itu sudah diusulkan,” aku menggerundel kepada diriku sendiri. “Aku serius, Ahren, aku butuh bantuanmu.”

Ahren mengintipku dari atas bahunya. Aku bisa melihat ia sudah berniat menurutiku. Ahren menggunakan kakinya untuk mendorong keluar kursi di sebelahnya dengan kasual. “Masuklah ke kantorku.”

Duduk, aku mendesah. “Apa yang sedang kamu tulis?”

Ahren dengan cepat menumpuk lembaran-lembaran kertas di atas satu kertas yang tadi sedang dia tulisi. “Sepucuk surat untuk Camille.”

“Kamu tahu, kan, kalau kamu bisa tinggal menelepon Camille.”

Ahren nyengir. “Oh, aku akan menelepon Camille. Tapi, setelah itu aku juga akan mengirimi Camille surat ini.”

“Itu enggak masuk akal. Memangnya apa saja yang kamu bicarakan sampai harus membutuhkan telepon dan surat?”

Ahren menelengkan kepalanya. “Asal kamu tahu saja, telepon dan surat itu berguna untuk tujuan-tujuan yang berbeda. Panggilan telepon adalah untuk update kabar terbaru dan untuk melihat bagaimana hari Camille berjalan. Surat untuk hal-hal yang enggak bisa selalu kukatakan secara langsung.”

“Oh, benarkah?” Aku mencondongkan tubuh ke depan, mengulurkan tangan untuk mengambil kertas Ahren.

Akan tetapi, bahkan sebelum aku bisa mendekatkan tanganku, tangan Ahren sudah mencengkeram pergelanganku. “Kamu nggak akan selamat,” Ahren bersumpah.

“Baguslah,” balasku. “Dengan begitu kamu bisa menjadi penerus takhta, dan kamu bisa menjalani sebuah Seleksi dan mengucapkan selamat tinggal kepada Camille-mu yang berharga.”

Ahren mengerutkan dahinya. “Apa?”

Aku merosot menyandarkan punggung ke kursiku. “Mom dan Dad perlu meningkatkan semangat persatuan bangsa. Mereka sudah memutuskan bahwa, demi kepentingan Illéa,” kataku dengan sok patriotik, “aku harus menjalani sebuah Seleksi.”

Lihat selengkapnya