POV 3
Di tengah keheningan malam yang menusuk, derap langkah perlahan mendekati sebuah sel terkunci rapat oleh kain toska. Suara rintihan pilu dan tangisan seorang gadis teredam oleh kegelapan di dalam sel itu, seakan-akan duka cita telah menguasai setiap sudutnya.
Langkah kaki itu makin mendekat, menembus keheningan penjara kecil itu, meninggalkan bekas ketakutan. Di balik tirai kain, tampak seorang gadis demihuman harimau putih yang meringkuk
Nampak dengan jelas terlihat wajah yang penuh kebengisan dari sosok yang perlahan-lahan membuka tirai itu. Ternyata, dia adalah seorang penjaga sel tahanan budak yang keras dan tegas. Di tangannya, terdapat sebuah ember yang berisi bubur panas yang terbuat dari bahan makanan yang sudah basi. Tanpa rasa bersalah, dia berencana memberikan makanan itu kepada gadis malang tersebut, menunjukkan betapa tidak manusiawinya perlakuan terhadap budak-budak di tempat itu.
"Oi!!! Saatnya makan, ini!!!" tegur pria itu, suaranya berteriak keras mengejutkan
Ia dengan keji menuangkan bubur tersebut ke dalam wadah kotor yang terletak di depan sel. Dengan gerakan perlahan, pria itu mengisi kembali wadah satunya dengan air, karena persediaan air minum gadis itu mulai menipis.
"Hah, benar-benar menjijikkan! Aku membenci pekerjaanku." keluh pria itu, suaranya penuh kekesalan. "Andai saja, Tuan Albert tidak membutuhkanmu, mungkin aku sudah membunuhmu," kata pria itu dengan nada sinis.
'TRANGG'
Suara keras terdengar saat ia memukul dengan keras jeruji besi yang menahan Syira, gadis yang malang itu. Setelah melepaskan sedikit emosinya, pria itu meninggalkan tempat tersebut. Syira merasa lega sejenak setelah mengetahui kepergian lelaki yang menyebalkan itu.
Tatapannya teralihkan dengan mata yang penuh penderitaan, jatuh pada sepiring bubur panas yang tergeletak di depannya. Rasa jijik yang tajam melanda Syira, namun di tengah keputusasaan, ia menyadari bahwa tidak ada jalan lain kecuali menghadapi penderitaan itu.
Kelaparan yang tak tertahankan membuatnya mendekati wadah bubur dengan gemetar, tangannya mulai merogoh bubur itu dengan getaran yang tak terkendali. Setiap suap makanan yang masuk mulutnya terasa seperti racun. Rasa itu merayap dengan perlahan, menggerogoti kekuatannya dan mengisi mulutnya dengan rasa yang menyiksa.
Ia merasakan mual yang mengepung, berusaha menolaknya, tetapi tak bisa mengabaikan kebutuhan yang mendesak untuk bertahan hidup. Setiap tegukan yang berani dia telan, dirasakannya bagai kerikil tajam melukai kerongkongannya.
Di tengah-matanya yang merah dan bengkak, tetesan air mata tak henti-hentinya mengalir. Air matanya menyatu dengan rasa sakit dan putus asa yang menyelimuti saat ini. Ia terus makan, tangisannya bergema di lorong yang kelam, seolah menjadi dirinya yang terjerat dalam jeruji besi dan makan makanan yang tidak layak konsumsi.
Keputusasaan dan penderitaan melebur menjadi satu, menciptakan kesedihan yang mendalam dan terasa tak tertahankan. Dalam derita yang menghiris hati, ia terus berjuang untuk bertahan meski rasanya seperti bertarung di alam maut itu sendiri.
***
Suatu waktu yang suram, sebuah sel gelap mempersekusi seorang gadis malang. Terpaksa ia dilucuti keberadaannya oleh penjaga tahanan budak, yang merenggutnya keluar dengan kekejian. Dibimbing, kaki mungilnya dipaksa berjalan menuju suatu tujuan yang tak dikenalnya.
Akhirnya, ia berhenti di depan suatu ruangan, di mana langkahnya terhenti tatkala melihat sosok lelaki dewasa yang gemuk, volitif dan berwajah mengerikan, yang tak bukan adalah Albert. Di genggaman kanannya, terdapat alat ritual khusus, menatap Syira dengan ancaman.
Albert menuntun pandangannya dengan kekejian kepada Syira. Dengan perlahan, ia meraih gaun Syira, mengangkatnya hingga mencapai batas perutnya. Albert merenggangkan alat tersebut, mengoleskannya perlahan di perut Syira, menciptakan segel budak yang mengerikan. Dengan setiap gerakan, rasa sakit yang tak terbayangkan merasuki setiap serat tubuh gadis kecil itu. Kekuatan sihir yang mengalir melalui segel itu membelenggu Syira secara tak terhindarkan.
"Aaargghh!!! Aduh!!! Sakit sekali!!!" teriak Syira dengan suara yang tertahan oleh rasa panas yang membakar perutnya, seolah kehilangan kendali pada dirinya.
"Hahahaha!! Teriaklah lebih keras!!" tantang Albert sambil menatap dengan kejam, menikmati dengan penuh kepuasan penderitaan yang dirasakan oleh Syira.
Lambat laun, ikatan tak terlihat mulai terbentuk dan menyempit di dalam perutnya, membelenggu Syira tanpa ampun, menghilangkan kebebasannya. Dia terjebak sebagai budak sejati tanpa harapan. Sekali menjadi budak akan terus menjadi budak selamanya. Hanya sebuah keajaiban yang bisa menyelamatkannya.
"Dalam ritual tahap kedua ini, kamu akan aku jadikan budakku selamanya, hahahaha," ucap Albert dengan sikap yang jahat, mengumbar kegilaannya.
"Tidak.... tolong.... aku tidak mau!!!" pinta Syira dengan kesedihan yang histeris.
"Walaupun kau menolaknya itu tidak akan mengubah apapun," ujar Albert dengan kekejamannya yang memenuhi setiap kata.
Tampak sosok pria bertubuh kekar dengan wajah penuh kebengisan, seorang penjaga sel yang keras dan tak berperasaan. Di tangannya, sebuah ember berisi bubur panas yang sudah basi. Tanpa sedikit pun rasa iba, ia berencana memberikan makanan menjijikkan itu pada gadis malang tersebut, mencerminkan betapa buruknya nasib para budak di tempat ini.
"Oi! Saatnya makan!" bentaknya kasar.
Tanpa ragu, pria itu menuangkan bubur ke wadah kotor di depan sel. Sambil menggerutu, ia mengisi wadah lain dengan air yang sudah mulai berbau.
"Hah, menjijikkan! Aku muak dengan pekerjaan ini." Ia mendecakkan lidah, wajahnya penuh kebencian. "Andai saja Tuan Albert tidak membutuhkanmu, aku pasti sudah membunuhmu."
'TRANGG!'