POV 3
Di siang hari yang terik, Aran dan Urara mencapai lokasi pertarungan antara kelompok Leonard dan Naga Dolagos. Mereka keheranan melihat tumpukan abu kremasi yang begitu melimpah. Keduanya merasa penasaran dan ingin mencari tahu asal-usul abu tersebut.
Dengan penuh perhatian, Aran mengulurkan tangannya untuk meraba tekstur abu yang ada, sambil memperhatikannya dengan seksama. "Ini berbeda dari abu sebelumnya," ucap Aran dengan nada tenang.
Namun, Urara merespons dengan sikap skeptis, "Apa yang membedakannya? Bagiku, sama saja."
Dengan penuh keyakinan, Aran menjawab, "Meski tampak sama, namun ada perbedaan. Abu ini jelas berasal dari pembakaran bangkai monster."
"Yaah~ aku memang tak bisa meragukanmu lagi. Kamu memang ahli dalam urusan abu-abuan. Jika memang itu dari bangkai monster, pasti mereka baru saja terlibat pertarungan dengan monster ini," ujar Urara dengan nada sinisnya, mencoba menebak apa yang sedang terjadi.
Urara pun tersenyum licik dan tertawa kecil dengan suara yang menggoda. "Huhik.. Itu pasti juga akan menguntungkan rencana kita, karena mungkin mereka terluka dan kelelahan."
Tak jauh dari lokasi mereka saat ini terdapat tiga makam yang baru saja dibuat. Aran menatap ke arah ketiga makam itu dan berjalan ke sana.
"Asumsimu tepat sekali. Makam-makam itu membuktikan keganasan monster ini," ujar Aran yang menunjukkan ketiga makam tersebut kepada Urara.
"Sekarang mereka pasti tengah mengalami luka parah. Ini menjadi kesempatan kita untuk membunuh bangsawan itu," kata Aran yang menatap tajam dibalik topengnya.
Ketika Aran berjalan menuju makam, langkahnya terhenti ketika melihat longsongan logam kuningan. Tak lain, serpihan itu adalah longsongan peluru kosong, berfungsi sebagai bekas tembakan peluru senjata yang Yudha gunakan saat melawan monster sebelumnya.
Ia pun mengambil salah satu selongsongan peluru kosong tersebut dan kembali memperhatikannya dengan seksama. "Apa ini?" gumam Aran mempertanyakan benda tersebut. "Sepertinya ini adalah bagian dari senjata orang barbar itu. Mungkinkah ini adalah senjata pamungkas yang orang itu sebutkan?" Aran berasumsi dibenaknya.
Urara, yang bingung dengan tingkah laku Aran, bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku menemukan sesuatu yang menarik!" jawab Aran.
Urara yang penasaran pun bertanya, "Apa yang menarik?"
"Perhatikan ini," ungkap Aran seraya menunjukkan selongsongan peluru tersebut.
"Terlihat seperti kuningan tembaga biasa. Apa yang menarik darinya?" tanya Urara.
"Kau ingat ketika babi itu mengatakan bahwa orang barbar itu memiliki senjata yang mematikan?" Aran mencoba mengingatkan Urara.
Urara pun terdiam sejenak, berusaha mengingat kembali apa yang dikatakan oleh Aran.
"Iya, aku ingat. Apa hubungannya dengan serpihan kuningan ini?" tanya Urara.
"Aku menduga bahwa ini mungkin salah satu bagian dari senjata itu. Kita harus berhati-hati, benda ini sepertinya cukup kuat untuk melumpuhkan monster itu," jelas Aran.
"Huh? Aku rasa kau terlalu berlebihan. Bagaimana mungkin benda sekecil ini dapat melumpuhkan monster itu? Lagipula, benda sekecil itu tidak akan bisa melukai kita," ujar Urara dengan nada meremehkan.
"Terserah bagaimana pandanganmu, aku hanya ingin kita tetap berhati-hati. Jika terjadi sesuatu, jangan salahkan aku," balas Aran dengan nada dingin.
"Kau terlalu meremehkan ku, Aran. Sudahlah, kita harus bergegas sebelum mereka pergi lebih jauh," ujar Urara sambil beranjak pergi dengan cepat.
Aran merasa heran dengan perubahan sikap Urara. Biasanya, Urara cenderung memperlambat misi mereka. Namun kini, sikapnya tampak begitu berbeda. Tanpa banyak berpikir, Aran segera menyusul Urara dari belakang, memastikan untuk tetap berada di sampingnya.
***
Sementara itu, waktu terus berlalu. Chinua memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah dahan pohon besar, sebelum melanjutkan perjalanannya untuk membalas dendam terhadap para pemberontak yang telah melakukan kejahatan terhadap Syira.