POV 3
Sementara Aran tetap mengawasi dari kejauhan, dia segera mengambil tindakan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Dia tahu ada seorang gadis demihuman harimau putih di dalam perkemahan itu, seseorang yang memiliki insting tajam dan bisa dengan mudah mendeteksi kehadirannya.
"Aku harus bergerak cepat," gumam Aran, matanya menajam.
Dia mengangkat tangan, merapal mantra dengan suara rendah namun penuh tekanan. "Dengarlah doaku, wahai kekuatan langit. Kumpulkan energi alam dan bentuklah kabut yang akan menelan cahaya. White Fog!"
Dalam sekejap, kabut putih pekat menyelimuti hutan. Udara yang tadinya sejuk kini terasa dingin menusuk. Senja berubah suram, seperti malam yang datang lebih awal. Suasana yang tadinya damai kini dipenuhi kecemasan yang tak terlihat, seakan sesuatu mengintai di balik selubung kabut.
Para prajurit yang berjaga di sekitar tenda Leonard mulai gelisah. Pandangan mereka terhalang, bayangan di antara kabut bergerak samar seperti ilusi.
"Ada yang tidak beres," bisik Chengiz, rahangnya mengeras saat matanya menyapu ke sekeliling. "Kabut setebal ini di sore hari? Mustahil."
Kapten Knight yang berdiri di sampingnya menoleh dengan wajah tegang. "Apakah ini sihir?"
"Aku tak yakin," Chengiz menggeleng, suara beratnya penuh waspada. "Tapi ini bukan kejadian alami. Kita harus bersiap... Kak Chinua tidak ada di sini, dan aku tidak suka ini sama sekali."
Jantung para penjaga mulai berdetak lebih cepat. Suara ranting patah di kejauhan terdengar seperti langkah hantu yang mengendap di dalam kabut. Mereka saling bertukar pandang, tangan meraba gagang senjata.
Sementara itu...
POV Yudha
"Saya merasakan sosok lain di kejauhan. Sepertinya bahaya akan segera menghampiri," ujar Syira tegas, matanya menyipit waspada.
Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tidak pernah meragukan instingnya. Sebagai demihuman harimau putih, Syira memiliki naluri tajam terhadap ancaman. Jika dia berkata ada bahaya, maka itu berarti sesuatu yang serius sedang mendekat.
Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju tenda Tuan Leonard. Laporan ini tidak bisa ditunda, kami harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Begitu mendengar penjelasanku, Tuan Leonard segera bangkit dari kursinya, ekspresinya berubah tegang.
"Tidak ada waktu! Kita harus segera menyusun strategi sebelum serangan terjadi!" serunya tegas.
Aku menoleh pada Syira. "Apa kamu yakin hanya ada satu orang?" tanyaku, memastikan.
Syira mengangguk mantap. "Ya, dia sendirian. Saya merasakan sesuatu dari arah barat daya," ucapnya sambil menunjuk ke arah di mana Nona Chinua pergi pagi tadi.
Sebuah kemungkinan melintas di benakku. "Mungkinkah itu Nona Chinua?" tanyaku lagi.
Syira menggeleng. "Bukan. Saya yakin ini orang lain," jawabnya tanpa ragu.
Tuan Leonard mengepalkan tangannya. "Baik. Tidak ada lagi keraguan. Kita harus bersiap."
Namun sebelum kami sempat merinci rencana, sesuatu yang ganjil terjadi. Kabut putih tiba-tiba merayap masuk ke dalam tenda, semakin tebal setiap detiknya. Dalam sekejap, pandangan kami lenyap dalam selubung pekat.
Aku mencoba melihat sekeliling. Jarak pandangku terpangkas hingga hanya satu meter. Sosok Syira masih terlihat di sampingku, tetapi sisanya menghilang dalam kabut.
"Darimana asal kabut ini?" seru Tuan Leonard, nadanya penuh kewaspadaan.
Aku menggeram, merasa ada yang tidak beres. "Ini tidak wajar... Kabut ini muncul terlalu cepat."
Tuan Leonard mengangguk dengan ekspresi serius. "Ini bukan kabut biasa, Nak Yudha. Ini sihir, taktik medan perang untuk mengelabui lawan. Sial, kita tertinggal satu langkah."
Aku mengepalkan tangan. Situasi ini memburuk lebih cepat dari yang kuduga.
"Semua prajurit! Siapkan diri kalian untuk menghadapi segala kemungkinan! Tetap di posisi dan jangan lengah!" suara Tuan Leonard menggema di tengah kabut.
"Siap!" Para prajurit serentak menjawab, suara mereka tegas dan disiplin.
Aku mencoba menajamkan pancaindra. Ilmu Mata Merpati Putih yang kupelajari dari Kopassus memberiku kepekaan terhadap getaran di sekitar. Meski kabut mengaburkan penglihatan, aku masih bisa merasakan gerakan yang mendekat.
Tiba-tiba, Syira berteriak, "Tuan Yudha! Dia semakin dekat!"