POV Yudha
Suara gemuruh dari luar tenda menggema, menandakan bahwa pertempuran sedang berlangsung. Aku tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi, tapi firasatku mengatakan situasinya berbahaya. Dengan tekad bulat, aku beranjak menuju pintu tenda Tuan Leonard untuk memeriksa keadaan. Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, sebuah tangan kecil menahan lengan kiriku.
"Tidak, Tuan! Jangan pergi!" Syira memohon dengan suara bergetar, nyaris menangis.
Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba menenangkan ketakutannya. "Syira, aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi ini situasi darurat. Aku harus tahu apa yang terjadi di luar," ujarku dengan nada lembut, meski hatiku sendiri diliputi kegelisahan.
Sebelum Syira bisa menjawab, suara berat Tuan Leonard memecah ketegangan.
"Nak Yudha, tetaplah di dalam tenda. Jika ada kesempatan, pergilah. Bawa adik kecil itu bersamamu," katanya tegas. "Biarkan aku mengurus kekacauan ini. Kami sudah berutang nyawa padamu, dan aku tidak ingin melibatkanmu lebih jauh."
Aku mengepalkan tangan. "Tidak, Tuan Leonard! Mereka sudah mengincarku sejak awal. Biarkan aku menghadapi mereka juga!" seruku keras, menolak untuk hanya bersembunyi.
Leonard menghela napas dalam. "Bukan hanya kau yang mereka incar, Nak. Aku juga menjadi target mereka. Mereka sengaja menciptakan kekacauan ini untuk memperkeruh situasi politik antara dua kerajaan," jelasnya, suaranya terdengar penuh ketegangan.
Aku mengangguk paham, meski hatiku masih berat menerima keadaan ini. "Kalau begitu, saya—"
"Tidak ada waktu untuk berdebat!" potong Tuan Leonard dengan nada tegas. "Aku akan menghadapi mereka. Sementara itu, kau dan Syira harus segera pergi. Ambil salah satu kuda dan larilah ke ibu kota!"
Tangannya bergerak cepat, merogoh sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah gulungan surat dari kulit hewan segera dilemparkan ke arahku, dan aku langsung menangkapnya.
"Serahkan surat ini langsung kepada Yang Mulia," lanjutnya cepat. "Jangan biarkan siapapun termasuk bangsawan, melihat atau membacanya. Aku mohon padamu, Nak."
Aku menggenggam gulungan itu erat, menyadari bahwa ini bukan sekadar perintah, melainkan permintaan terakhir seorang pria yang siap mengorbankan dirinya demi keselamatan kami.
Kabut tebal menyelimuti sekitar, membuat pandanganku terbatas. Namun, samar-samar aku masih bisa melihat wajah Tuan Leonard. Ekspresinya tenang, tetapi sorot matanya mengatakan sesuatu yang berbeda, seakan dia sudah siap menghadapi kematian.
Dunia ini penuh dengan sihir yang sama sekali asing bagiku. Meskipun aku memiliki sedikit pengetahuan tentang ilmu Kanuragan, itu bukanlah jenis kekuatan yang menggunakan Mana. Ilmu Kanuragan lebih berfokus pada bela diri dan kekuatan batin, bukan manipulasi energi seperti sihir di dunia ini. Di tempat asalku, konsep Mana bahkan tidak pernah ada. Dengan keterbatasan ini, aku sadar bahwa aku tidak bisa banyak membantu Tuan Leonard.
Bukan hanya itu, persediaan amunisiku juga terbatas. Aku memang menguasai bela diri silat beserta turunannya, tetapi itu tidak menjamin kemenangan dalam situasi ini. Lawan yang sedang kami hadapi memang hanya seorang diri, tetapi dia cukup kuat untuk menghabisi para prajurit di kamp ini. Selain itu, kemungkinan besar dia juga memiliki kemampuan sihir tingkat tinggi.
Dengan semua pertimbangan itu, aku memutuskan untuk mundur.
Mungkin ini terdengar pengecut, tetapi ini adalah keputusan yang paling masuk akal. Aku bukan tipe orang yang gegabah menghadapi sesuatu yang berada di luar kemampuanku. Jika aku tetap bertahan di sini, aku hanya akan menjadi beban bagi Tuan Leonard. Lebih baik aku pergi dan mencari tahu lebih banyak tentang dunia ini, tentang kekuatan yang bisa kupelajari. Jika aku ingin bertarung melawan orang-orang kuat, maka aku harus menjadi kuat terlebih dahulu.
Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk kepada Tuan Leonard.
"Baiklah, Tuan Leonard. Aku akan pergi ke ibu kota dan menyerahkan surat ini. Semoga Anda kembali dengan selamat."
Tuan Leonard terkekeh kecil. "Jangan remehkan aku, Nak Yudha! Meski tulang-tulang ini sudah renta, aku masih bisa bertarung," katanya dengan senyum percaya diri sebelum akhirnya melangkah keluar tenda.
Aku mengikuti dari belakang, berniat memastikan apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, Syira kembali menahanku.
"Tuan Yudha!" serunya panik.
Aku menoleh sekilas dan berusaha menenangkannya. "Gak apa-apa, aku cuma ingin melihat sebentar. Kamu tunggu di sini aja."
Syira menggigit bibirnya, tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Umh…"
Dengan hati-hati, aku melangkah keluar tenda. Namun, pemandangan yang menyambutku membuat langkahku terhenti seketika.
Di depanku, Tuan Leonard berjongkok di samping sesosok prajurit yang tergeletak tak bernyawa. Wajah prajurit itu tampak familiar, aku mengenalnya. Tuan Leonard diam mematung, matanya terpaku pada tubuh bawahannya yang kini tak lagi bernyawa. Perlahan, tangannya bergerak, menyentuh nadi di leher sang prajurit, seakan masih berharap ada tanda-tanda kehidupan.
Namun, setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, dia menghela napas berat.
"Sudah tidak mungkin…" gumamnya lirih. Suaranya dipenuhi dengan rasa penyesalan yang mendalam.