The Hero Commander I - (Ghost of Fluoran)

Eternity Universe
Chapter #37

CHAPTER 35 : Duel tak seimbang

Sekejap kemudian, udara di sekelilingnya bergetar. Tekanan magis menyelimuti tempat itu, membuat tanah bergetar halus. Asap keunguan berputar, membentuk pusaran yang menggeliat liar, memuntahkan kilatan cahaya ungu yang semakin terang. Udara di sekitar mereka mendadak menjadi berat, seakan realitas sendiri enggan menerima keberadaan jurus ini.

Di tengah pusaran itu, perlahan muncul sebuah pintu Shoji megah dan tak tersentuh waktu. Kayunya seakan memancarkan aura tua dan sakral, bercampur dengan riak energi dimensi yang berdenyut pelan di permukaannya.

Gerbang Dimensi bukanlah sekadar sihir teleportasi biasa. Ia adalah seni kuno yang membutuhkan penguasaan tenaga dalam yang nyaris tak terhitung. Tak seperti teleportasi instan yang dilakukan para penyihir, jurus ini melibatkan pemanggilan pintu pusaka dari dimensi yang terasing, sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kendali penuh atas tenaga dalam dan Mana mereka.

Namun, harga yang harus dibayar sungguh mengerikan.

Untuk membuka gerbang ini, Chinua harus mengorbankan hampir seluruh cadangan Mana dan tenaga dalamnya. 99 persen. Itu berarti setelah jurus ini diaktifkan, ia tak akan mampu bertarung lagi, bahkan untuk sekadar berdiri pun akan menjadi tantangan.

Hanya mereka yang memiliki kapasitas energi luar biasa yang bisa menggunakan teknik ini tanpa langsung roboh. Dan Chinua? Ia telah menempa dirinya dengan latihan bertahun-tahun, melampaui batas tubuhnya berulang kali. Bahkan dengan semua itu, ia hanya bisa menggunakan jurus ini sekali.

“Chin'jiejie… Kau terlalu nekat…” suara Chengiz lirih, hampir tak terdengar.

Chinua melirik adiknya yang masih terhuyung, tubuhnya lemah, tetapi tatapannya penuh kepedulian.

“Jangan banyak bicara! Kita tak punya waktu!” sergah Chinua, suaranya lebih bergetar karena menahan kelelahan ketimbang kemarahan.

Pintu Shoji itu memiliki batas. Semakin besar energi yang dicurahkan, semakin lama pintu itu bertahan di dunia ini. Tetapi durasinya tetap terbatas, dan jika mereka terlambat maka pintu tersebut akan menghilang dan sulit diakses kembali.

Tanpa menunggu, Chinua meraih Chengiz dan menyangganya dengan satu tangan. Ia bisa merasakan betapa dinginnya tubuh adiknya, betapa nyarisnya ia kehilangan nyawa.

Dengan susah payah, ia menggeser pintu Shoji hingga terbuka. Begitu keduanya melangkah masuk, tubuh mereka seketika diselimuti kabut keunguan yang berdenyut seperti jantung.

Dalam sekejap, dunia di sekitar mereka terbelah.

Mereka tak lagi berada di medan perang. Tidak ada lagi darah atau tanah yang berlumur luka.

Mereka berdiri di hadapan meja resepsionis Guild Petualang di kota Tura.

Hanya butuh satu tarikan napas sebelum pintu Shoji di belakang mereka bergetar dan perlahan menghilang, diselimuti asap pekat yang menelan keberadaannya kembali ke dimensi asal.

Dan pada saat itu juga, kaki Chinua melemas. Lututnya nyaris menyerah, tubuhnya terasa kosong. Tetapi ia masih berdiri, meski tubuhnya menggigil, meski keringat membasahi wajahnya.

Ia menoleh ke Chengiz yang kini selangkah lebih dekat dari kematian, namun juga selangkah lebih jauh darinya.

"Chin'jiejie…" suara Chengiz bergetar, antara rasa syukur dan kekhawatiran.

Chinua menarik napas panjang, lalu tersenyum samar.

“Kita selamat…”

Malam itu, aula Guild yang tenang mendadak gempar. Sebuah pintu Shoji muncul begitu saja di tengah ruangan, disertai kabut pekat dan kilauan cahaya ungu yang suram. Para petualang dan pengurus Guild terlonjak kaget, sebagian bahkan refleks meraih senjata mereka, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.

Namun, sebelum ada yang sempat bereaksi lebih jauh, dua sosok muncul dari balik pintu itu yang ternyata Chinua dan Chengiz. Kondisi mereka mengenaskan. Chinua nyaris jatuh tersungkur, hanya bertahan dengan sisa tenaganya, sementara Chengiz, yang tubuhnya lebih besar, nyaris menyeretnya ikut tumbang.

"Nona Chinua?! Tuan Chengiz?!" seru seorang resepsionis wanita dengan nada panik.

Tak ada jawaban. Napas Chinua memburu, keringat dingin membasahi wajahnya yang pucat. Kakinya gemetar hebat, jelas kelelahan luar biasa setelah mengorbankan hampir seluruh energinya untuk teknik terlarang tadi. Chengiz di sisinya hanya bisa terhuyung, wajahnya semakin pucat dengan napas tersengal-sengal, menahan luka yang terus menggerogoti kesadarannya.

Lalu, tanpa peringatan mereka ambruk.

'BRAKK!!'

"A-apa yang terjadi pada mereka?! Cepat, panggil tabib dan healer!!" pekik resepsionis itu, suaranya penuh kepanikan.

Para pengurus Guild langsung bergegas, beberapa petualang ikut membantu mengangkat tubuh mereka berdua. Suasana aula yang semula hening kini dipenuhi langkah kaki terburu-buru dan teriakan instruksi. Waktu terasa berlomba dengan maut.

***

POV Yudha

Cahaya rembulan memancar di sepanjang jalan, memberikan peningkatan penglihatan di mataku, sementara kuda terus melaju dengan derap langkah yang semakin cepat. Aku dan Syira terus melaju tanpa henti dengan tujuan mencapai kota terdekat sesegera mungkin. Namun, di pertengahan perjalanan, kembali terjadi sesuatu yang tak terduga. Lagi dan lagi, membuat ku sedikit frustrasi.

"Saya rasa ada orang di depan sana, Tuan!" ucap Syira, yang dengan cepat menghancurkan kesunyian malam itu. Dia memberi peringatan bahwa mungkin ada ancaman mendekat.

Lihat selengkapnya