The Hero Commander I - (Ghost of Fluoran)

Eternity Universe
Chapter #41

CHAPTER 39 : Kebangkitan

"Uan Yuha... Uan Yuha..!"

Terdengar suara samar di telingaku, lembut namun penuh kepedihan. Suara itu terasa hangat, seperti cahaya lilin yang berkilauan dalam gelapnya malam. Sesuatu yang dingin menyentuh wajahku, lalu merembes perlahan, memaksaku untuk bergerak. Lambat laun, air semakin merebak, membasahi kulitku, memaksaku untuk sadar.

Suara itu semakin jelas. Panggilan yang penuh harap menggema di kesadaranku.

"Tuan Yudha! Kumohon bangunlah! Tuan Yudha!!!"

Teriakan itu menusuk sanubari, mengguncang pikiranku yang masih terhanyut dalam kehampaan. Dengan susah payah, aku membuka mata. Cahaya menyilaukan menusuk pandanganku, namun bayangan seseorang mulai terlihat.

Saat penglihatanku mulai jelas, aku melihat seorang wanita di hadapanku. Wajahnya yang begitu familiar dipenuhi air mata, jatuh tanpa henti, membasahi pipinya yang halus. Matanya yang biasanya penuh keceriaan kini dipenuhi keputusasaan.

Tanpa kusadari, kepalaku berbaring di pangkuannya. Kelembutan tubuhnya terasa begitu nyata, begitu menghangatkan, seolah memberikan kepastian bahwa aku benar-benar telah kembali.

"Tuan Yudha!!!!"

Tiba-tiba, gadis itu memelukku erat, seakan melepaskan semua ketakutan yang telah menghantuinya. Lengannya yang kecil bergetar, genggamannya begitu erat, seakan ia takut kehilangan diriku lagi.

Aku merasakan sesak di dadaku, bukan karena sakit, melainkan karena luka di hati yang kembali menganga melihatnya dalam keadaan seperti ini. Air matanya, tangisnya, semuanya terasa begitu menyakitkan.

Aku mengangkat tanganku yang lemah, perlahan mengelus kepalanya dengan lembut. Jari-jariku menyibak rambutnya yang sedikit basah, mencoba menenangkan gemuruh di hatinya.

"Aku... kembali," bisikku dengan suara parau.

Aku tidak tahu apa yang telah ia lalui selama aku tidak ada. Aku tidak tahu seberapa dalam kesedihannya. Namun satu hal yang pasti, aku telah kembali, dan aku tidak akan membiarkan dia menangis seperti ini lagi.

Begitu aku bangkit dari pangkuannya, perasaan asing menyelimutiku. Aku berdiri sejenak, membiarkan tubuhku menyesuaikan diri dengan kenyataan.

Cahaya mentari yang hangat menyelimuti tempat ini, namun tidak cukup untuk menghapus hawa dingin yang masih tersisa dari pertarungan sebelumnya.

Aku menurunkan pandangan ke jam tangan di pergelangan tangan kananku, pukul delapan pagi. Waktu telah berlalu, namun rasanya aku baru saja membuka mata.

Sekelilingku masih sama seperti sebelumnya, tetapi kondisinya jauh berbeda. Tempat ini porak-poranda, tanah retak, pohon-pohon tumbang, menghiasi medan seakan menjadi saksi bisu dari pertempuran dahsyat. Aku mengingat pertarunganku dengan pria bertopeng, namun... tidak, aku yakin pertarungan kami tidak sampai menyebabkan kehancuran sebesar ini.

Jadi, siapa yang bertarung di sini setelah kematianku?

Aku menoleh, dan di sanalah Syira masih diam terduduk. Gadis itu, yang seharusnya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, namun kini terlihat... berbeda. Aku menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, memastikan bahwa ini bukan ilusi semata.

Dia lebih tinggi.

Tubuhnya lebih berisi dan proporsional, tidak lagi sekecil dulu. Matanya memancarkan ketenangan yang jauh lebih dalam, auranya lebih dewasa, lebih kuat, lebih menawan.

"Bentar... dia Syira, bukan?" pikirku dalam kebingungan.

Syira menyadari tatapanku dan menyeka air matanya yang tersisa. "Ada apa, Tuan Yudha?" tanyanya, sedikit gelisah.

Aku menyipitkan mata, mencoba memastikan. "Kamu beneran Syira, kan?" tanyaku dengan ragu.

Dia mengerutkan dahi. "Iya, ini saya. Memangnya kenapa?"

Aku terdiam sejenak sebelum melipat tangan. "Enggak deh, Syira yang kukenal itu masih bocil."

Mendengar ucapanku, Syira menggembungkan pipinya seperti anak kecil yang kesal. "Sampai kapan Tuan Yudha memperlakukan saya seperti bocil? Saya ini Syira!" suaranya meninggi, penuh penegasan.

Aku masih ragu. "Seriusan?"

Syira menghela napas, lalu menatapku dengan mata penuh keyakinan. "Apa Tuan masih ingat waktu memberi saya batu mustika merah itu?"

Aku mengangguk. "Ya, aku masih ingat."

Syira menegakkan punggungnya, lalu menjelaskan dengan suara yang lebih tenang. "Mungkin Anda bingung ya, demihuman memiliki kondisi unik di mana kami dapat berevolusi setelah menyerap batu mustika monster. Semakin banyak mustika yang kami serap, semakin besar kekuatan yang kami miliki. Selain itu, ini juga memengaruhi perubahan fisik kami, dari yang tadinya anak kecil menjadi dewasa. Tidak hanya itu, daya ingat kami meningkat, dan kemampuan kami berkembang pesat tanpa perlu latihan fisik yang berat."

Aku mengangguk perlahan, mulai memahami situasinya. "Oh, jadi begitu..."

Aku mengalihkan pandangan ke medan pertempuran yang hancur. Dari analisis sederhana, kemungkinan besar Syira-lah yang menghadapi pria bertopeng setelah aku mati. Dia tidak hanya bertarung, dia mengamuk. Kerusakan di sekitar kami cukup untuk menegaskan bahwa pertarungan itu bukan sekadar perlawanan biasa.

Namun, satu pertanyaan tetap mengganjal di benakku.

Aku menatapnya tajam. "Bukannya aku bilang supaya kamu pergi? Tapi kenapa balik lagi ke sini?"

Syira terdiam sejenak sebelum tersenyum tipis. Senyum yang tidak lagi polos seperti dulu, tetapi mengandung kedewasaan yang menyiratkan betapa dalamnya perasaan yang ia miliki.

"Karena saya tidak bisa meninggalkan Anda sendirian."

Aku tertegun.

"Bagi saya, Tuan Yudha adalah cahaya di tengah kegelapan. Jika saya kehilangan cahaya itu, saya pasti akan tersesat dalam gelap. Jadi, saya memutuskan untuk menjemput cahaya itu kembali."

Jantungku berdetak lebih cepat. Aku menatapnya dalam diam, membiarkan kata-katanya meresap ke dalam sanubariku.

Aku mengangkat sebelah alisku. "Huh..."

Lihat selengkapnya