The Hero Commander I - (Ghost of Fluoran)

Eternity Universe
Chapter #42

CHAPTER 40 : Setelah Kemelut

POV 3

Di balik lebatnya pepohonan dan kabut yang tak pernah surut, tersembunyi sebuah istana kelam yang jarang tersentuh oleh sinar matahari. Langit mendung menaungi bangunan megah itu, dan hawa dingin menusuk tulang seakan memberi peringatan akan kegelapan yang menguasainya.

Langkah kaki terdengar tergesa dari arah gerbang. Aran, tubuhnya berlumuran luka dan napasnya terengah, tersaruk-saruk menyusuri koridor batu yang panjang. Darah menetes dari pinggir bibirnya, dan satu tangannya terus mencengkeram topeng retak yang menutupi separuh wajahnya.

Di tengah aula utama yang kosong dan sunyi, terdengar suara tawa keras, melengking tajam, dan menggema.

"Ahahaha… Ternyata kau bisa terluka parah seperti itu ya!?" ejek Urara, berdiri santai dengan tangan di pinggang dan senyum menyeringai di bibirnya. Matanya memancarkan rasa puas bercampur geli.

Aran menghentikan langkah, menatap tajam ke arahnya meski wajahnya tertutup topeng retak. Suaranya lirih, namun tajam seperti pisau.

"Setidaknya aku berhasil menyelesaikan misi. Tidak seperti kau, yang melarikan diri sebelum semuanya usai."

Urara mencibir, tapi nada suaranya tetap penuh semangat. "Huh?! Kau tidak tahu saja seberapa mengerikannya perempuan itu. Sedetik terlibat sedetik saja… aku sudah pasti mati, tahu?!"

"Itu karena kau lemah." Aran berdiri tegak, tubuhnya meski penuh luka tetap memancarkan wibawa. "Sebaiknya kau mulai berlatih lebih keras lagi."

"Latihan saja tidak cukup!!" bentak Urara sambil melipat tangannya, ekspresi wajahnya berubah tegang. "Aku perlu naik level lebih cepat!" katanya sambil melihat tepak tangan kanannya, lalu mengepalkannya.

Tatapan Urara kemudian tertuju pada tangan Aran yang terus memegangi topengnya dengan erat. Keretakan kecil di sisi kanan topeng membuat bagian kulit wajah Aran sedikit terlihat. Sebuah pikiran liar melintas di kepalanya, membuat senyumnya kembali muncul.

"Kenapa kau memegangi topeng itu terus?" tanya Urara sambil melangkah mendekat perlahan, dengan tatapan menggoda. "Apa kau takut wajah jelekmu ketahuan, huh?"

"Bukan urusanmu," balas Aran datar tanpa menoleh, suaranya dingin dan penuh peringatan.

Urara tidak menyerah. Ia terus mendekat, lalu mulai berjalan memutari Aran dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, suaranya sengaja dibuat mendesak.

"Aku penasaran... Kita sudah jadi rekan cukup lama, tapi kau tidak pernah sekalipun menunjukkan wajahmu. Apa kau benar-benar sebegitu buruknya?"

"Sudah kubilang, aku punya alasanku sendiri," Aran menjawab, kali ini dengan nada tegas, matanya menatap lurus ke depan, penuh kendali.

Namun Urara bukanlah wanita yang mudah menyerah. Ia hiperaktif, suka menantang batas, dan sangat benci jika rasa penasarannya tidak dipuaskan.

"Kalau begitu... akan kupaksa kau!" serunya tiba-tiba.

Dalam sekejap, Urara melesat ke depan dengan kecepatan luar biasa, tangannya nyaris menyentuh topeng Aran. Namun, sebelum jemarinya mengenai permukaan topeng itu.

'syuut!' bayangan Aran menghilang dari tempatnya seperti kabut yang tertiup angin.

Urara membelalak, dan sebelum sempat bereaksi, suara lirih terdengar dari belakangnya.

"Sudah kubilang… jangan buang-buang waktu untuk hal yang tak penting," ujar Aran, berdiri di belakangnya tanpa suara, seolah bayangan yang tak kasat mata. "Lebih baik kau siapkan dirimu. Kita akan segera menghadap Tuan Besar."

Tanpa menunggu jawaban, Aran melangkah menjauh, tubuhnya perlahan menghilang di balik lorong batu yang remang.

Urara berdiri mematung, wajahnya cemberut penuh jengkel. Dengan nada pelan namun tajam, ia mendecak kesal.

"Tch… Sombong banget sih bocah itu!"

***

Tiga hari berlalu sejak peristiwa kelam yang hampir merenggut nyawa mereka. Di dalam sebuah ruangan pengobatan yang diselimuti aroma herbal hangat dan cahaya remang dari lentera gantung, tubuh Chinua masih terbaring lemah di atas dipan kayu, selimut tipis menutupi tubuhnya yang kurus.

Meski luka-lukanya tak separah Chengiz, dampak dari penggunaan tenaga dalam dan Mana secara berlebihan membuat tubuhnya lumpuh sementara, kehabisan energi, dan tak mampu bergerak.

Sementara itu, di sisi ranjang, Chengiz duduk diam. Tubuhnya masih dibalut perban di beberapa bagian, namun ia tetap setia menjaga kakaknya. Matanya tampak kosong menatap wajah Chinua yang belum juga membuka mata.

Dalam diam, suara batinnya menggema penuh luka.

"Andai saja aku lebih kuat... semua ini pasti tidak akan terjadi. Aku... terlalu lemah." gumamnya, dipenuhi penyesalan yang menyayat.

Namun, di tengah kabut duka yang menyelimuti hatinya, seberkas cahaya muncul.

Kelopak mata Chinua perlahan bergetar... sebelum akhirnya terbuka pelan. Nafasnya terdengar berat, namun jelas hidup.

“C-Chin'jiejie...!” seru Chengiz penuh haru, air matanya menetes saat ia meraih tangan kakaknya dan menggenggamnya erat, seakan tak ingin kehilangan lagi.

Chinua menoleh pelan, menatap wajah adiknya dengan pandangan sayu namun hangat.

“Chen’er...” bisiknya lemah. “Bagaimana kondisimu...?”

Suara lembut itu menusuk langsung ke dalam hati Chengiz.

“A-aku sudah tak apa-apa… Kau tak perlu risau, kakak…” ucapnya mencoba tersenyum, meski hatinya bergolak.

‘PLAK!’

Tiba-tiba, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, cepat, keras, dan mengejutkan. Kepala Chengiz menoleh akibat pukulan itu. Matanya membelalak, tak percaya.

Chinua telah duduk tegak, tubuhnya gemetar menahan amarah dan air mata yang tertahan di pelupuk.

Lihat selengkapnya