Aku memperhatikan gerakan terampil Freina saat ia membuka kotak makanan. Aroma rempah langsung menyebar di udara, menandakan bumbu yang meresap dengan sempurna. Syira di sebelahku, matanya langsung berbinar begitu melihat potongan daging yang tersaji rapi di dalamnya.
“Wah, isinya daging?” Syira tampak antusias, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan harta karun.
Freina mengangguk sambil tersenyum tipis. “Ya, benar. Ini daging yang sudah aku masak. Nama makanannya Steak Caesar Salad.”
Aku mengambil sepotong dengan garpu yang diberikan, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Begitu gigitan pertama menembus permukaan daging, aku langsung merasakan kelembutan teksturnya. Tidak terlalu kenyal, tetapi juga tidak lembek. Bumbu meresap hingga ke dalam, dengan kombinasi rasa asin, gurih, dan sedikit asam yang menyatu dengan sempurna.
“…Ini enak,” komentarku singkat, mencoba memahami bagaimana makanan yang telah lama disimpan tetap bisa terasa sehangat ini.
Syira juga sudah mulai makan. “Uwahh, dagingnya masih hangat! Freina-san, kamu pakai sihir pemanas atau semacamnya?”
Freina menggeleng. “Ah, tidak. Magic bag milikku memiliki fitur Preservation Space. Ruang di dalamnya bisa mengawetkan makanan dan menjaga suhunya sesuai dengan kondisi saat pertama kali disimpan. Jadi kalau makanan panas dimasukkan, saat dikeluarkan tetap hangat.”
Aku meletakkan garpu dan menatap tas kecil yang tergantung di pinggangnya. Benda itu tampak biasa, tapi aku tahu ada sesuatu yang jauh lebih dalam di baliknya. “Jadi ini semacam Spatial Stasis,” gumamku, menghubungkannya dengan konsep ilmiah yang kukenal.
Freina mengangguk ringan. “Tebakanmu cukup akurat.”
Aku menyeringai tipis. Sepertinya aku harus mengakui, Freina bukan sekadar Elf biasa. Bukan hanya soal usianya yang panjang atau pengalamannya yang luas, tapi pemahamannya terhadap konsep ruang dan waktu yang melampaui batasan sihir konvensional.
“Konsep ini sederhana di permukaan, tapi kompleks jika dijelaskan secara teknis,” lanjutnya, jemarinya menyusuri permukaan tas itu. “Bayangkan ruang di dalam tas ini tidak bekerja seperti ruang normal. Alih-alih terbatas oleh dimensi fisik, ia terisolasi dari hukum realitas biasa. Begitu suatu benda masuk, ia tidak hanya tersimpan, tapi juga dibekukan dalam keadaan sempurna. Tak ada perubahan suhu, tak ada pelapukan, tak ada waktu yang berjalan.”
Aku menyentuh daguku, mencerna penjelasannya. “Sederhananya, ini bukan sekadar tas dengan ruang ekstra. Ini adalah kantong dimensi yang mampu menghentikan waktu bagi setiap objek di dalamnya… Begitu ya?”
Freina tersenyum tipis, seolah puas dengan kesimpulanku. “Tepat sekali… Kau cepat memahaminya ya!”
Aku menghela napas kecil. “Ah, enggak juga. Aku memang terkadang terlalu memperhatikan hal-hal detail… dan selalu muncul spekulasi di kepalaku.”
Freina tertawa kecil. “Begitu rupanya… Kau tampaknya sangat berpengetahuan, Yudha.”
Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Terima kasih.”
Syira menyuapkan satu potong steak lagi ke mulutnya lalu menatap Freina dengan kagum. “Kau jago masak, ya. Aku jadi penasaran, kau belajar dari siapa?”
Freina menatap steak di piringnya sejenak sebelum menjawab. “Ah, dulu aku suka berkelana dan banyak mempelajari berbagai macam kuliner. Karena itu aku jago masak, hehe!” katanya dengan tawa kecil.
Aku menangkap sekilas perubahan ekspresinya, ada sedikit kesedihan yang terselip di sana. Tapi sebelum aku bisa bertanya lebih lanjut, dia kembali tersenyum dan melanjutkan makannya seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku tidak menekan lebih jauh. Untuk saat ini, menikmati sarapan bersama sudah cukup.
***
Aku menatap HUD yang melayang di hadapanku. Tulisan Quest Harian bersinar biru terang dengan daftar tugas yang sudah jelas. Push-up, sit-up, squat, dan lari sepuluh kilometer. Hukuman menanti jika aku mengabaikannya. Tidak ada pilihan selain melakukannya.
Aku mulai dengan pemanasan ringan, memutar bahu dan meregangkan tubuh. Udara pagi masih dingin, tetapi otot-ototku segera terasa hangat. Rutinitas seperti ini sudah biasa bagiku, kebiasaan lama yang harus dipertahankan.
“Yudha-sama, apa yang sedang kau lakukan?” Syira bertanya dengan nada heran.
Aku menoleh. Mata biru kucingnya menatapku penuh rasa ingin tahu. “Pemanasan. Sebelum latihan fisik, tubuh harus disiapkan agar tidak cedera.”
Syira menyipitkan mata. “Latihan fisik? Kau tidak pernah melakukan ini sebelumnya.”
Aku menghela napas. Tentu saja, karena selama ini kami sibuk bertahan hidup. “Di negeriku yang jauh, ini adalah rutinitas harian.”
“Rutinitas…?” Dia mengulang kata itu dengan ekspresi penasaran. “Kalau begitu, ajari aku!”
Aku mengangkat alis. “Kenapa?”
“Aku ingin kuat!” jawabnya penuh semangat.
Aku menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. “Baik, tapi jangan mengeluh kalau nanti tubuhmu pegal.”
Syira tersenyum lebar. “Tidak masalah!”
Aku hanya bisa menghela napas. Ini akan menjadi pagi yang panjang.
"Freina-san! Kau mau ikut?” tanya Syira. Aku melirik sekilas ke arah Freina yang berdiri agak jauh di sebelah kuda, memperhatikan kami dari kejauhan. Gadis itu tampak ragu, matanya sedikit menyipit seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.