Bab 1: Di Balik Citra
Sekolah Saint Claire berdiri megah dengan arsitektur bergaya klasik, seperti sebuah istana kecil yang dipenuhi siswa-siswa berprestasi. Di salah satu sudut lorong, Sarah Aulia berjalan dengan langkah ringan namun penuh percaya diri. Seragamnya tampak rapi, senyumnya seolah menyinari setiap sudut sekolah. Teman-teman di sekitarnya melambaikan tangan, beberapa berusaha memulai percakapan. Tapi Sarah hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum formal.
"Sarah, nanti jangan lupa rapat OSIS jam dua!" seru salah satu temannya.
"Ya, pasti," jawab Sarah singkat sambil terus berjalan menuju ruang kelas.
Di atas kertas, Sarah adalah gambaran sempurna siswa ideal: pintar, aktif di berbagai organisasi, dan selalu menjadi juara kelas. Namun di balik segala kesempurnaan itu, ada keletihan yang tak terlihat.
Saat Sarah duduk di kursinya, matanya melirik jadwal hari itu. Matematika, biologi, lalu rapat OSIS. Malamnya, ia harus menyelesaikan esai untuk kompetisi menulis tingkat nasional.
“Kadang aku berharap punya waktu lebih banyak untuk diriku sendiri,” gumamnya pelan, meski ia tahu itu hanya angan belaka.
Di sisi lain sekolah, suasana berbeda terlihat di ruang seni. Seorang siswa dengan rambut sedikit berantakan duduk di kursinya sambil menggambar sesuatu di buku sketsa. Dimas Wijaya. Dia bukan siapa-siapa di mata kebanyakan siswa. Bukan anggota OSIS, bukan atlet, bahkan jarang terlibat dalam kegiatan kelas.
Namun, ada satu hal yang tak diketahui banyak orang: Dimas adalah seorang seniman berbakat. Sketsanya penuh detail, tiap garis seperti menyimpan cerita.
“Dimas, ayo ke kantin,” ajak seorang temannya yang berdiri di ambang pintu.
“Nggak, gue lagi nggak lapar,” jawab Dimas tanpa mengalihkan pandangan dari kertasnya.
“Ah, dasar lo. Ya udah.” Temannya berlalu, meninggalkan Dimas sendirian.
Dimas menghela napas. Ia lebih nyaman sendiri. Dunia di atas kertasnya jauh lebih menyenangkan dibandingkan kenyataan di luar. Meski begitu, ada sesuatu yang ia sembunyikan—rahasia yang hanya ia sendiri yang tahu. Lengan kanannya, yang biasanya tertutup seragam panjang, memiliki tato pertama yang ia buat sendiri. Tato itu kecil, namun penuh makna.
Dimas tersenyum kecil saat melihat hasil gambarnya. Seandainya dunia bisa melihatnya seperti ini, pikirnya.
---
Hari itu, perpustakaan sekolah tampak ramai. Banyak siswa berlomba mencari referensi untuk tugas-tugas mereka. Sarah, seperti biasa, duduk di meja favoritnya dekat jendela besar. Sinar matahari menerobos masuk, menerangi bukunya yang terbuka.