Bab 6: Langkah Pertama
Perpustakaan sekolah sore itu sepi seperti biasa. Hanya suara pelan pendingin ruangan dan dentingan lembut keyboard komputer yang sesekali terdengar. Sarah duduk di meja bundar, setumpuk buku referensi terbuka di depannya. Sesekali, ia mencatat sesuatu, tetapi pikirannya terus melayang. Ia menunggu.
Dimas akhirnya datang, melangkah masuk dengan santai seperti biasa. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan ada noda tinta di ujung jari-jarinya. "Maaf telat. Guru seni tahan aku lebih lama tadi," katanya sambil meletakkan tasnya di kursi.
Sarah tersenyum kecil. "Nggak apa-apa. Aku baru mulai juga."
Dimas duduk dan mengambil salah satu buku di meja. "Jadi, gimana rencananya? Kamu beneran nggak mau presentasi?"
Sarah menghela napas. "Aku benar-benar nggak sempat, Dim. Tugas dari guru lain numpuk, dan aku juga harus bantu adik belajar ujian."
Dimas memandangnya dengan pandangan penuh tanya. "Adik kamu masih kecil, ya?"
Sarah mengangguk. "Namanya Nisa, kelas lima SD. Dia punya masalah fokus, jadi aku harus selalu bantu dia belajar. Kadang rasanya kayak aku punya dua peran sekaligus: kakak dan pengganti orang tua."
Dimas terdiam sejenak. Ia baru sadar ada sisi lain dari Sarah yang selama ini tidak pernah ia bayangkan. "Kamu hebat juga, ya. Punya beban segitu banyak, tapi tetap kelihatan tenang di luar."
Sarah terkekeh kecil. "Hebat atau terpaksa, nggak tahu juga. Tapi terima kasih, kamu mau bantu aku sekarang."
Dimas hanya mengangguk dan mulai membaca materi tugas mereka. Namun, di sela-sela itu, ia tidak bisa menahan diri untuk sesekali melirik Sarah. Ada sesuatu yang berbeda dari cara ia melihatnya sekarang.
---
Kerja kelompok mereka berlanjut beberapa hari berikutnya. Setiap sore di perpustakaan, mereka semakin banyak berbagi cerita, meskipun awalnya tidak disengaja.
"Aku sebenarnya nggak pernah suka tugas kelompok," kata Dimas suatu sore. "Biasanya, orang cuma mau numpang nama, nggak beneran kerja."
Sarah tersenyum simpul. "Aku tahu rasanya. Dulu aku juga sering sebel kalau harus kerja sama orang. Tapi ternyata kerja sama kamu... nggak seburuk itu."
Dimas tertawa kecil. "Itu pujian, ya? Kalau iya, terima kasih."
Sarah mengangguk sambil tersenyum. Ada sesuatu yang hangat dalam percakapan mereka. Perlahan, jarak di antara mereka berkurang, digantikan oleh rasa saling percaya yang mulai tumbuh.
---
Suatu sore, ketika mereka hampir selesai menyusun presentasi, Dimas menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku nggak terlalu suka sekolah."
Sarah memandangnya, terkejut. "Kenapa?"
"Karena rasanya aku nggak cocok di sini," jawab Dimas pelan. "Aku lebih suka menggambar, bikin sesuatu dengan tangan aku sendiri. Tapi sekolah selalu fokus pada angka dan teori. Kadang, aku merasa seperti burung kecil yang terjebak di sangkar."