Bab 7: Lebih dari Sekadar Teman
Hujan turun pelan di luar jendela perpustakaan sore itu. Sarah duduk di meja favoritnya, setumpuk buku tersusun rapi di depan, tetapi ia tak benar-benar membaca. Sesekali matanya melirik jam dinding. Lima belas menit berlalu sejak waktu yang mereka sepakati, tetapi Dimas belum juga muncul.
"Sarah," sebuah suara berat memanggil, memecah lamunannya. Ia mendongak dan melihat Dimas berdiri di depan meja, rambutnya basah karena hujan. Hoodie abu-abu yang ia kenakan terlihat basah di bagian bahu.
"Kamu basah kuyup," Sarah berkata sambil mengerutkan alis. "Kenapa nggak bawa payung?"
Dimas tersenyum kecil dan mengangkat bahu. "Lupa. Lagipula, hujan nggak seberapa tadi."
Sarah mendesah, mengeluarkan handuk kecil dari tasnya. "Pakai ini, biar kamu nggak sakit."
Dimas memandang handuk itu sejenak sebelum menerimanya. "Terima kasih," katanya sambil menggosok rambutnya.
"Aku nggak mau kerja kelompok sendirian kalau kamu sakit," tambah Sarah, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya dengan nada bercanda.
Dimas tertawa kecil, tetapi ia tahu Sarah benar-benar peduli. Ada sesuatu yang hangat dalam caranya memberikan perhatian, sesuatu yang jarang ia temui dari orang lain.
---
Mereka memulai diskusi mereka seperti biasa, membahas tugas kelompok yang sudah hampir selesai. Tetapi hari itu, Sarah terlihat lebih serius. Dimas menyadarinya.
"Kamu kenapa, Sarah? Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Dimas sambil menutup laptop.
Sarah mengangkat pandangannya, ragu sejenak. Tetapi akhirnya ia berbicara, "Aku merasa, semakin sering kita ngobrol, aku jadi lebih banyak tahu tentang kamu. Tapi di saat yang sama, aku sadar aku nggak tahu semua tentang kamu, Dimas."
Dimas terdiam, menatap Sarah dalam-dalam. "Apa maksudmu?"
"Kayak tadi," Sarah melanjutkan. "Kamu basah kuyup tapi nggak mengeluh sama sekali. Kamu selalu terlihat santai, tapi aku tahu ada hal-hal yang kamu sembunyikan. Aku cuma... aku pengen tahu kamu lebih dari sekadar teman kelompok."
Dimas menunduk, memainkan pensil di tangannya. Ada jeda panjang sebelum ia akhirnya bicara. "Kamu benar. Aku nggak cerita banyak tentang diriku. Bukan karena aku nggak mau, tapi... kadang aku nggak tahu mulai dari mana."
"Mulailah dari mana pun kamu nyaman," kata Sarah lembut. "Aku di sini untuk mendengarkan."
Dimas menarik napas panjang. Ia tahu, ini adalah momen yang tidak bisa ia hindari lagi.
---