Serangan makhluk itu bukan akhir dari pertahanan Desa Palinggih. Dengan cepat, sosok baru muncul dengan penampilan serupa. Mbah Westu yakin lawannya kali ini tidak akan menyerah begitu saja. Mbah Westu merasakan getaran kuat yang menggetarkan tanah saat makhluk ghaib menyerang. Serangannya tidak hanya fisik tetapi juga spiritual, memancarkan gelombang kegelapan yang mengancam keseimbangan alam sekitar. Cahaya obor yang dipegangnya berkedip-kedip, berjuang keras melawan kegelapan yang mengepung.
Setiap kali Mbah Westu melantunkan mantranya dengan intensitas yang meningkat, cahaya obornya memancar lebih terang, seolah-olah merespons panggilan jiwa yang mendalam. Di bawah kakinya, tanah terasa hidup, merespons energi yang dilepaskan oleh setiap kata mantra yang diucapkannya. Air di sungai bergerak tak teratur, berderit dalam kekaguman terhadap kekuatan yang diwujudkan oleh manusia tua itu.
Mbah Westu mengangkat tangan kanannya, menggenggam seuntai tasbih yang selalu dibawanya. Dengan suara lantang dan penuh wibawa, Mbah Westu mulai melantunkan mantra-mantra kuno yang diajarkan leluhurnya. Setiap kali Mbah Westu melantunkan mantranya dengan intensitas yang meningkat, cahaya obornya memancar lebih terang, seolah-olah merespons panggilan jiwa yang mendalam. Di bawah kakinya, tanah terasa hidup, merespons energi yang dilepaskan oleh setiap kata mantra yang diucapkannya. Air di sungai bergerak tak teratur, berderit dalam kekaguman terhadap kekuatan yang diwujudkan oleh manusia tua itu.
Makhluk itu mengerang marah, menyerang dengan kekuatan yang menggetarkan tanah di bawah kaki Mbah Westu. Dengan gesit, Mbah Westu menghindar, melanjutkan lantunan mantranya yang semakin cepat dan intens. Serangan demi serangan berbalas hingga mantra itu berhasil membuat makhluk itu mundur, meskipun tidak sepenuhnya menghilang. Ketika pertempuran mencapai puncaknya, langit malam yang awalnya tenang mulai bergetar dengan kehadiran energi spiritual yang dipanggil oleh Mbah Westu. Bintang-bintang berkedip, seolah-olah mereka sendiri ikut memberi dukungan kepada pertempuran ini. Cahaya terang yang memancar dari tubuh Mbah Westu, disertai dengan kemilau dari pusaka-pusaka yang dipegangnya, membentuk lapisan perisai yang mengelilingi Desa Palinggih.
Merasa perlu mengakhiri pertempuran ini di tempat yang lebih kuat secara spiritual, Mbah Westu memutuskan untuk menuju sungai keramat yang ada di dekat sana. Sungai itu dikenal sebagai tempat di mana energi alam berkumpul dan dianggap suci oleh penduduk desa. Mbah Westu berlari menuju sungai, suara aliran air mulai terdengar semakin jelas. Makhluk itu mengejar, namun Mbah Westu tetap fokus pada tujuannya. Sesampainya di tepi sungai, Mbah Westu berdiri tegap di atas batu besar, menghadap makhluk tersebut yang terus mendekat.