Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di pasar yang ramai. Pedagang berteriak-teriak dan pengunjung berkerumun di sekitar lapak-lapak mereka. Bau rempah dan makanan menggoda hidung, namun Delvina tidak bisa menikmati suasana tersebut. Ia hanya merasakan kekhawatiran yang semakin menghimpit dadanya. Ketika mereka mendekati salah satu pedagang perhiasan yang bisa menawarkan harga yang mereka butuhkan untuk memulai hidup baru di luar Desa Palinggih, jantungnya berdebar kencang, berusaha mengusir keraguan yang mulai merayapi pikirannya.
Mbah Sartika memegang erat kotak berisi emas, satu-satunya sumber dana mereka. Berat kotak itu terasa di tangannya, sementara Delvina menatapnya penuh harap, berharap ini bisa menjadi awal baru bagi mereka.
“Apakah kita benar-benar harus menjualnya, Mbah?” tanya Delvina dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca.
Mbah Sartika mengangguk pelan, menyentuh pundak Delvina dengan lembut. “Ini pilihan terbaik yang kita miliki, Nak.”
Di bawah naungan pohon besar di tepi pasar, Delvina duduk sambil membiarkan pandangannya terbang ke keramaian pedagang dan pengunjung. Cahaya matahari yang hangat memancar melalui daun-daun, menambah kehangatan suasana. Di pangkuannya, Arsena tertidur dengan tenang, wajahnya tampak damai, tidak menyadari beban yang tengah ditanggung oleh kakaknya.
Saat dia menatap sekotak emas yang sebentar lagi akan ditukarkan dengan uang, ingatan tentang Mbah Westu memenuhi pikirannya. Mbah Westu selalu bercerita tentang kota besar di luar sana, di mana uang mengalir dari transaksi jual beli. "Ingat, Delvina," kata Mbah Westu dalam ingatannya, "di luar Desa Palinggih, ada dunia di mana kau dapat mencari uang untuk bertahan hidup. Jangan takut untuk mengambil langkah keluar dari bayang-bayang desa ini."
Delvina merasa hatinya berdebar-debar. Ia merenungkan kata-kata bijak Mbah Westu. Delvina bangkit dari duduknya dan mendekati pedagang perhiasan tersebut.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Delvina dengan suara yang penuh keyakinan. “Kami ingin menjual emas ini.”
Pedagang perhiasan itu menatap mereka sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, mari kita lihat.” Ia membuka kotak itu dan mengamati emas dengan seksama. “Kualitasnya bagus. Saya bisa memberi harga yang pantas.”
Delvina menahan napas, menunggu kepastian yang akan mengubah nasib mereka. Ketika pedagang itu menyebutkan harga, senyum lega muncul di wajahnya.
Setelah menerima tawaran untuk menjual emas, Delvina dan Arsena menjelajahi jalan-jalan kota yang padat dengan rumah-rumah modern, sementara hati Delvina tertarik pada keindahan rumah-rumah klasik dengan halaman luas. Baginya, mereka lebih nyaman tinggal di sana yang masih menyatu dengan alam.
Setelah berjalan cukup jauh, matanya tertuju pada sebuah rumah bergaya klasik yang memiliki halaman belakang, dikelilingi oleh pepohonan rindang. Delvina terpikat oleh pesonanya yang anggun dan merasa seperti menemukan tempat yang cocok untuk mereka tinggali sementara waktu.
Dia bertemu pemilik rumah yang ramah, dengan senang hati memperlihatkan sekeliling rumah. Ruang tamu luas dengan lantai kayu indah, jendela besar yang memungkinkan cahaya matahari masuk, dan dapur yang terbuka ke teras belakang dengan pemandangan yang menenangkan. Delvina merasa senang mereka bisa menemukan tempat yang memberi mereka ruang untuk tumbuh dan beradaptasi di lingkungan yang baru ini. Setelah berbicara dengan pemilik rumah, mereka berhasil menyewa rumah itu untuk mereka tinggali.
"Rumah ini akan menjadi tempat yang baik bagi kita tinggali selama di kota," kata Mbah Sartika dengan suara lembut.
Delvina mengangguk setuju. "Iya, Mbah. Kita harus beradaptasi di tempat ini. Besok aku akan segera mencari bantuan orang-orang dengan kemampuan supranatural untuk membantu Mbah Westu." Mereka tersenyum saling menguatkan.
Malam itu, Mbah Sartika menyiapkan makan malam dari perbekalan di desa. Delvina duduk di dekat jendela kamar, memandang bintang-bintang di langit malam bersama sang adik, Arsena. Pikirannya melayang ke masa lalu, mengenang Mbah Westu dan Desa Palinggih yang kini mereka tinggalkan.