Indra mematikan mesin motor. Icel melepas helmnya, membiarkan rambut cokelatnya tergerai lembut. "Akhirnya sampai juga," katanya dengan senyum lelah saat mereka tiba di markas.
Markas The Hidden adalah sebuah bangunan tua yang penuh karakter dan sejarah. Dinding-dindingnya dihiasi dengan berbagai ornamen antik yang menceritakan perjalanan panjang dan penuh perjuangan tim ini. Di salah satu dinding terpampang peta kuno yang menunjukkan lokasi-lokasi penting dari misi-misi mereka. Artefak bersejarah dari berbagai tempat eksotis terpajang rapi di rak-rak kayu, menambah nuansa magis dan misterius.
Di sudut ruangan, sebuah lemari kaca besar menampung koleksi benda-benda supernatural yang mereka temukan selama bertahun-tahun. Setiap benda memiliki cerita tersendiri, yang tercatat dalam catatan yang tersimpan di sampingnya. Ruangan itu diterangi oleh lampu-lampu temaram yang menggantung dari langit-langit tinggi, menciptakan suasana hangat dan penuh keakraban.
Pigura-pigura foto kebersamaan terpajang di dinding lain, menggambarkan momen-momen berharga tim The Hidden. Ada foto-foto mereka saat berhasil menyelesaikan misi sulit, tertawa bersama dalam perayaan sederhana, atau bahkan hanya duduk bersama menikmati waktu luang. Setiap foto memancarkan kekuatan ikatan persaudaraan dan kerjasama yang kuat di antara mereka.
Di tengah ruangan, terdapat meja besar kayu yang selalu menjadi pusat diskusi mereka. Meja itu sudah tua dan penuh goresan, namun setiap bekasnya bercerita tentang banyaknya rencana dan strategi yang pernah disusun di atasnya. Di atas meja, biasanya ada peta terbaru, catatan-catatan penting, dan berbagai alat tulis yang siap digunakan kapan saja.
Suasana di markas selalu hidup dengan energi dan semangat yang terpancar dari para anggotanya. Meskipun sering kali mereka harus menghadapi bahaya dan misteri yang menantang, markas ini selalu menjadi tempat di mana mereka bisa merasa aman dan saling mendukung. Di sini, mereka bukan hanya tim, tetapi juga keluarga yang siap menghadapi apa pun bersama-sama.
Indra mengangguk, membuka pintu garasi, dan mempersilakan Icel masuk terlebih dahulu. Mereka berjalan menuju pintu masuk markas, di mana rekan-rekan mereka sudah menunggu dengan tidak sabar.
Di dalam markas, Adit, Kevin, Risna, dan Rama duduk di ruang pertemuan, mengobrol ringan sambil menunggu kedatangan Icel dan Indra. Suasana ruangan terasa hangat dan penuh keakraban, namun ketegangan menggelayuti udara.
Ketika pintu terbuka, semua mata tertuju pada Icel dan Indra yang baru saja masuk. Adit, yang sedang memandang berkas di atas meja, menoleh dan memperhatikan mereka mendekat.
Indra, yang kini berdiri di samping meja dengan sorot mata serius, memulai penjelasannya. "Kita punya klien baru. Dia tahu tentang kita dari Pak Heru. Gue sama Icel langsung ke sana buat ketemu. Ternyata, namanya Delvina."
Kelvin, yang sejak tadi diam mendengarkan, tiba-tiba bertanya, "Ada fotonya?"
Icel membuka tas kecilnya, mengeluarkan handphone, dan menjawab, "Delvina nggak punya handphone karena baru pindah dari desa. Tapi, aku sempat ambil foto bersamanya." Icel membuka galeri di handphonenya dan memperlihatkan foto wajah Delvina kepada yang lain.