Suatu ketika, saya dan suami backpacker-an ke Istanbul. Kami memilih jalan darat menggunakan bus dari Sofia, Bulgaria. Saat itu winter, tetapi suhunya belum terlalu beku. Kami memilih perjalanan malam, dengan harapan pagi sudah sampai di Istanbul dan bisa langsung mengelilingi kota seharian, untuk kemudian kembali lagi ke Bulgaria pada malamnya.
Akan tetapi, kami tiba lebih cepat daripada perkiraan. Jalanan Istanbul masih gelap dan sepi saat itu. Kami pun berencana mencari penginapan murah untuk mandi dan meluruskan kaki sejenak. “Enggak perlulah penginapan yang mahal, yang penting bersih saja,” ucap saya.
Kami pun memberanikan diri menghampiri sopir taksi yang sedang setengah tidur di mobilnya. Semoga dia bisa berbicara bahasa Inggris, harap kami. Ternyata, walaupun terbata-bata, dia bisa mengerti bahwa kami ingin diantar mencari penginapan murah, yang kami enggak tahu ada di mana. Dengan kata lain, terserah dia mau mengarah ke mana. Quite risky, huh? Kami hanya bisa berdoa semoga sopir ini enggak membodohi kami dengan jalan berputar-putar ataupun berniat jahat.
Dengan cara mengemudi layaknya pembalap, si sopir mengantarkan kami ke beberapa hostel, yang ternyata penuh.
Akan tetapi, untungnya, hostel terakhir, sebut saja Hostel Z, masih menyediakan beberapa bunk bed kosong dengan harga hanya 10 euro per orang. Lokasinya dekat sekali dengan Hippodrome, salah satu objek wisata dengan obelisk di tengahnya. Dari depan, hostel ini terlihat sangat kecil. Ada tangga sedikit curam menuju ke bawah, yang mempertemukan kami dengan meja resepsionis. Setelah setuju dengan semua persyaratan dan harganya, kami dibawa ke ruangan besar yang banyak terisi bunk bed. Dan, ini kali pertama saya tinggal dalam mixed dorm yang berisi sekitar 15 bunk bed bertingkat dua, yang hanya dipisahkan oleh sehelai kain tipis. Iya benar, 15 BUNK BED!!! Kebayang padat dan ramainya, kan? Suara ngorok sahut-sahutan menciptakan harmoni nada yang sama sekali enggak enak didengar.
Saya memilih beristirahat di kasur atas karena selalu paranoid tiap kali tidur di bunk bed bawah, merasa seolah-olah papan di atas bakal jatuh menimpa yang di bawah. Niat awal pengin tidur sebentar sebelum mulai keliling Istanbul pukul 9.00 pagi, mata malah susah terpejam. Saya pun memperhatikan sekeliling. Sepertinya dari 15 bunk bed, hanya saya yang memilih tidur di atas. Tetapi, setelah diperhatikan baik-baik, hai, ternyata bukan cuma saya! Di ujung ruangan satunya, sepertinya ada cewek yang juga memilih tidur di atas. Dari posisinya, saya tebak dia sedang tidur. Tetapi, ada yang aneh. Baju yang dipakainya berupa baju terusan panjang menjuntai, berwarna gelap. Kamar masih remang-remang saat itu, dan dia tertidur dengan posisi telentang, yang dalam buku Kesehatan Jasmani kelas 3 SD, itu adalah posisi tidur yang sangat bagus. Telentang, kaki lurus, kedua tangan juga lurus di samping badan, kiri dan kanan. Oke, walaupun itu posisi tidur yang dianjurkan, tetapi sumpah saya enggak pernah melihat suami, papa, mama, atau adik-adik saya tidur dengan posisi seperti itu, apalagi untuk jangka waktu lama. Saya memang enggak tahu sudah berapa jam cewek itu tidur dengan posisi seperti itu. Tetapi, saya yang baru merebahkan diri sekitar 30 menit saja sudah seperti cacing kepanasan berganti-ganti posisi tidur. Dan, demi para backpacker sedunia, kenapa cewek itu tidur memakai gaun begitu? Memang, sih, saat itu winter, cuaca dingin, tetapi enggak gitu juga kali.
Diam-diam, saya sesekali memandangi cewek yang tidur di ujung itu. Posisinya masih belum berubah. Dan, entah kenapa badan jadi seolah merinding. Antara terpengaruh dengan pikiran negatif dan rasa seram saya sendiri, atau ... cewek itu memang “penunggu” hostel ini? Hihhh ... yang pasti saya menyesal tidur di atas, saat pemandangan satu-satunya yang bisa saya lihat hanya “dia”. Lima puluh menit kemudian, mata belum terpejam. Saya menyerah dan akhirnya turun ke bawah. Tidur bareng suami, sempit-sempitan. Bodoh amat, yang penting enggak merinding lagi saat melihat ke samping.