Waktu berjalan maju.
Sama seperti kehidupan yang berputar seperti roda.
Ada di atas dan ada di bawah.
Ada waktu suka dan ada waktu duka.
Tapi aku tak pernah menyangka roda kehidupan itu akan berputar secepat ini untuknya.
Untuk Soyeon.
Bukan seperti ini, aku tidK ingin hari ini dikenang olehnya menjadi hari-hari gelap dan kesedihannya, aku ingin setidaknya dia dapat mengingat hari ini dia senang.
Tetapi sepertinya Tuhan tidak mengijinkannya.
Aku melihat Soyeon yang duduk di sampingku terdiam.
Dia tak berbicara satu patah kata pun.
Tatapannya kosong.
Aku menyentuh tangannya dan menggenggamnya, berusaha untuk memberitahunya bahwa dia tidak sendirian.
Aku tidak ingin dia larut dalam pikiran yang akan berakhir ke pikiran-pikiran yang berbahaya.
Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.
Soyeon menggerakkan tangannya dan menautkan tangannya untuk menggenggam tanganku lebih erat lagi.
Dia rapuh, kondisi terapuhnya saat ini.
Aku tidak akan pernah meninggalkannya.
Kami menunggu di depan ruang operasi, menunggu ketidakpastian akan keadaan ini.
Aku berdoa ibu Soyeon akan baik baik saja.
Saat sudah lebih dari 2 jam kami menunggu di depan ruang operasi, aku mendengar sepasang langkah kaki berat dan suara tongkat.
Tangan Soyeon bergetar seketika saat mendengar suara itu.
Aku pun menengok ke arah suara itu. Sepasang figur laki laki dan perempuan yang sudah tua. Apakah ini nenek dan kakek Soyeon? Kenapa aku merasakan sesuatu yang kurang bersahabat dari mereka.
Sang kakek berhenti di depan kami dan menoleh ke arah Soyeon.
“apakah ibumu ada di dalam?” Tanya sang kakek dengan nada tegas.
“Iya.” Jawab Soyeon patuh.
Ada apa dengan percakapan ini? Apakah mereka bukan kakek dan nenek Seyeon? Kenapa terlalu dingin kata-kata yang keluar dari sang kakek.
“Sudah kuduga dia tidak akan bertahan.”kata sang kakek kepada sang nenek.
Sang nenek hanya bisa tertunduk diam seakan takut dengan sang kakek.
“Sebuah kebodohan dari awal,”lanjut sang kakek,”menikah dengan seseorang yang lemah, dan pada akhirnya dia hancur juga. Begitulah jika dia memilih cinta untuk hidup, saat cinta hilang dia tidak berdaya. Sedangkan cinta itu pun tidak menghasilkan apa-apa. Tidak bisa menjadi alasan untuk bertahan hidup.”sang kakek itu pun menoleh ke arah Seyeon dengan tatapan yang sangat-sangat aku benci.
“Permisi, siapa anda?”jawabku berani sambil memberikan tatapan tajam karena dia sudah tidak sopan.
“saya orang tua perempuan yang ada di ruang itu. Kamu siapa?” tanyanya tidak sopan.
“saya Jae-hyun, teman Soyeon.” Jawabku lantang.
Sang kakek melihatku dan menoleh ke arah Soyeon.”Sama seperti ayahnya, sejak remaja sudah mulai memikat orang dengan cinta polos yang mematikan.” Sambil memberikan senyuman miris.”Lebih baik kau keluar dari kehidupan kami jika kamu tidak mau berakhir mengenaskan.”
Kata-katanya kurang ajar, aku berdiri dan ingin memberikan tinju meskipun dia orang tua.
Tapi Soyeon menarik tanganku dan menaruh tangannya diatas dadaku.
“Jaehyun.”Katanya sambil berbisik.”Bisakah kamu mencarikanku minum?”katanya, sambil memberikan sinyal bahwa aku tidak perlu terlibat dalam urusan ini.
Aku pun membalas tatapannya, dan menggenggam tangannya sekali lagi.”Baiklah tunggu sebentar.”
Aku pun pergi mencari mesin minuman
Apakah ini kehidupan yang selalu dihadapi Soyeon?
Tetapi setelah mengingat waktu pemakaman ayah Soyeon, aku tidak melihat ada kakek dan nenek itu. Mereka bahkan tidak datang ke pemakaman ayah Soyeon.
Apakah pernikahan mereka tidak disetujui?