Emma membaringkan tubuh setelah ia menyimpan ponselnya di bawah bantal. Ia belum sungguh terlelap saat tiba-tiba ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang.
Emma memberontak. Tapi tenaga lelaki itu lebih kuat.
Sesuatu yang panas menyentuh tengkuk lehernya. Ia dapat merasakan nafas lelaki itu. Emma merinding. Ia merasa jijik. Dengan sekuat tenaga ia melepaskan diri. Ia lalu menggigit lengan lelaki itu hingga lelaki itu mengaduh dan pelukannya terlepas.
Emma menjauh. Kini ia sudah berdiri di depan meja riasnya.
"Apa yang kamu lakukan??" hardiknya, saat melihat ternyata itu adalah Justin, abang tirinya.
"Ayolah. Tunggu apalagi. Toh kita sudah akan menikah." ajaknya. Ia mendekat ke arah Emma.
Emma ketakutan. "Ja.. Jangan mendekat!!!" tangannya berusaha merogoh sesuatu yang ada di meja riasnya.
"Tidak usah takut. Aku akan pelan padamu.." Justin memandang Emma seperti harimau yang hendak memakan mangsanya.
"Jangan mendekat atau aku akan mati di depanmu!!" ancamnya. Tangannya kini sudah memegang sebuah gunting yang diarahkan ke lehernya.
"Kamu tidak akan mampu melakukannya" Justin menganggap remeh.
Ia sudah bersiap untuk menusuk dirinya sendiri. Gunting itu bahkan sudah menempel di kulitnya. "Jika aku mati aku pastikan kalian tidak ada dapat sepeserpun dari warisan itu"
Justin menaikkan ujung bibirnya. Ia tidak menyangka kalau Emma punya nyali juga melawannya. "Baiklah baik. Aku akan bersabar. Kalau kamu tidak mau, aku tidak akan memaksa. Karena kamu tetap akan menjadi milikku" katanya yakin.
Emma memandangnya jijik.
"Baiklah selamat tidur calon istriku" ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Emma merasa lega saat ia keluar. Kakinya terasa lemas. Ia terduduk di lantai kamarnya yang dingin. Airmata kembali jatuh dari pelupuk matanya.
*****
Liam memandangi ponselnya. Masih tidak ada balasan dari Emma.
"Hei.. Kamu kenapa?" tanya Steve menepuk pundak Liam pelan. Ia memberikan segelas kopi susu padanya.
"Tidak apa" katanya seraya tersenyum.
"Oh ya foto untuk kompetisimu sudah kamu kirim?"
"Sudah" jawab Liam singkat.
"Jadi kenapa kamu kelihatannya tidak senang?"
Liam hanya menghela nafas.