Emma masuk dan menghampiri mereka.
"Kamu dari mana saja Em?" tanya Mamanya.
"Aku baru saja pergi membeli sarapan. Bagaimana keadaan kakak?" tanyanya.
"Dia sudah lebih baikan.."
"Oh ya ma, ini tagihan rumah sakit" Emma memberikan mamanya tagihan rumah sakit yang kemarin dibayarnya.
"Oh baiklah. Mama akan pergi membayarnya dulu" jawab Maria sambil mengambil tasnya.
"Tidak usah Ma.. Kemarin aku sudah membayarnya. Dan, ini kartu ATM yang di dalamnya ada uang asuransi Papa.. Mama ambillah.." Emma memberikan sebuah kartu ATM yang kemudian ditolak Maria.
"Tidak usah. Kamu pakai saja."
"Terimalah Ma.. Semuanya kan perlu biaya. Doorsmeer kakak juga lagi ada masalah kan. Hanya saja aku ingin minta satu hal sebagai gantinya." Emma menggengam tangan Maria.
"Apa itu?" tanya Maria heran.
"Ma.. Aku tidak ingin menikah dengan Justin. Karena aku benaran hanya menganggapnya sebagai kakak" katanya terisak. "Aku mohon ma.." Emma berlutut di depan Mama tirinya.
Mamanya yang terenyuh langsung menarik tangan Emma. "Bangun sayang.."
"Tidak.. Sebelum Mama mengatakan iya"
"Baiklah.. Aku tidak akan memaksamu. Ayo berdirilah.." ajak Mama.
"Terimakasih Ma.."
Mamanya tiba-tiba memeluk Emma membuat Emma membelalakkan matanya tak percaya. Karena Mama tirinya tidak pernah memeluknya sekalipun.
Justin ikut terharu melihat adegan di depannya.
"Iya Ma.. Aku juga hanya menganggap Emma adikku. Walau aku pernah hendak berbuat jahat padanya. Maafkan aku ya Em.." kata Justin yang mencoba duduk kembali. Maria yang berdiri di sampingnya lalu membantu memapahnya.
Emma menggeleng "Tidak apa Kak.."
Mereka bertiga lalu berpelukan.
*****
Selagi Justin masih dirumah sakit, Maria yang menggantikannya mengurus doorsmeer. Ia juga berusaha memulihkan kondisi doorsmeer dengan uang asuransi Papa Emma.
Dua minggu berlalu, Emma dan Liam sama sekali tidak pernah bertemu. Mereka juga tidak saling mengirim kabar dalam seminggu itu.
Emma sedikit merindukannya. Tapi ia sedang sibuk karena mengurus persiapan kuliahnya. Ia berencana untuk kuliah di luar negri.
Sebelumnya ia pernah putus kuliah. Jadi ia ingin kembali mengejar impiannya dengan berkuliah lagi.
Setelah semuanya selesai diurus, Emma kemudian mulai memasukkan segala sesuatu yang ia perlukan ke dalam koper. Dalam beberapa minggu lagi ia akan berangkat.
Ia lalu memutuskan untuk mencari Steve dan lainnya untuk mengucapkan salam perpisahan pada mereka.
Steve kaget saat melihat Emma masuk ke dalam coffeeshopnya.
"Lama tidak jumpa Em" sapanya ramah.
"Hai Emma.." panggil Vivian yang sedang membantu Steve.
"Lho kenapa Vivian yang ada disini?" tanya Emma heran.
"Iya.. Tidak kamu lihat aku sedang bekerja disini. Dia kewalahan semenjak kamu tidak masuk. Jadi aku menggantikanmu dengan bekerja di sini dan membantunya" jelas Vivian.
"Oh ya?" tanya Emma.
Steve dengan raut senang mendekati Emma dan berbisik padanya. "Tapi sebenarnya.. Kami hampir jadian"
Emma menutup mulutnya tak percaya. Ia bahkan mengeryitkan alisnya.
"Hei.. Ada apa dengan raut wajahmu? Kenapa kamu tidak yakin dengan perkataanku?" tanya Steve tidak terima.
"Tidak. Aku hanya tak percaya. Dia bukannya tunangan Liam?" tanya Emma lagi.