Krisna mencoba kembali berpikir normal, menjalani rutinitasnya tanpa terganggu pikiran-pikiran bodohnya tentang Adela dan keputusannya. Sudah satu jam lebih ia berada di kubikelnya sambil mengerjakan projek novel terjemahan yang sudah dikerjakannya selama dua minggu, tapi baru tiga halaman yang bertambah, tak seperti biasanya. Sisa-sisa pikirannya terus berontak, tidak mau patuh terhadap jerih payah Krisna yang mencoba sekuat mungkin lari.
Projek yang dikerjakannya adalah novel fantasi keluaran tahun 2005. Tidak sulit untuk dikerjakan, namun juga tidak mudah untuk begitu saja dialihbahasakan tanpa membaca kalimatnya secara menyeluruh dan serius. Begitulah yang harus ia lakukan saat menerjemahkan karya fiksi. Ia tidak saja mengalihbahasakan suatu karya, tapi juga bagaimana memberi sentuhan terhadap pemilihan kata agar tidak terdengar kaku, tapi tetap memiliki esensi yang tepat dengan bahasa aslinya.
Saat tangannya kembali bermain di atas keyboard untuk melanjutkan ke halaman 146, Jennie, si sekretaris yang duduk ruangan yang sama di dekat pintu masuk ruang atasan mereka memanggilnya. “Kris, Pak Hary memanggilmu sekarang juga.” Tanpa menyahut, Krisna segera melepaskan pantatnya dari kursi dan melesak ke ruangan atasannya tanpa minat.
Perusahaan tempatnya bekerja ini memang tidak terlalu besar. Untuk perusahaan yang berada di daerah jantung kota Jakarta, pemilik perusahaan tidak menyewa lantai di salah satu gedung tinggi. Kantornya berada di sebuah gedung berlantai dua yang dulunya adalah sebuah minimarket milik pribadi. Lantai satu untuk divisi HRD, administrasi dan juga kantin, lantai dua khusus untuk penerjemah, ruang rapat utama, dan manajer perusahaan yang jaraknya hanya sepuluh meter dari meja kerja Krisna.
Dengan enggan, Krisna yang masih menahan laparnya itu berjalan malas ke ruangan Pak Hary.
“Duduk, Kris.” Suruhnya, begitu Krisna membuka pintu ruangan.
“Kamu tahan laparmu dulu ya, saya punya info penting buat kamu dan butuh konfirmasi kamu secepatnya,” lanjutnya.
“Ada apa, Pak?”
“Kamu nggak ada jadwal interpretasi keluar kan dua minggu ke depan?”
“Nggak ada.”
“Jadi, minggu depan, hari selasa sampai kamis, salah satu marketplace meminta interpreter dari kita untuk menjadi penerjemah pertemuan mereka dengan klien dari China. Berhubung Eriska sedang ada projek lain yang mendesak, saya kasih projek ini ke kamu oke?”
“Mandarin pak?”
“Iyalah.”
“Tapi saya kan cuma pernah nerjemahin dokumen doang, belum pernah interpret mandarin secara langsung.”
“Tenang aja, rekannya dari China bawa penerjemah bahasa Indonesia juga. Jadi kamu cukup terjemahin dari mandarin ke indonesia aja.”
“Kan masih ada Leny, Pak.”