Hari sudah menjelang gelap. Krisna dapat melihat langit yang mulai meremang itu melalui kaca jendela. Tempatnya duduk adalah sebuah kedai kopi berkonsep kayu dengan desain modern yang berada di lantai satu gedung setinggi dua puluh meter di kawasan SCBD. Di depannya adalah americano yang sudah mendekati batas dasar gelas. Krisna memutar kepala, mengamati pria dan perempuan berpakaian rapi di sekelilingnya yang mungkin baru saja selesai dengan urusan katornya, atau sekadar istirahat lantaran lembur yang menuntut.
Pikirannya lalu melayang seiring pandangannya perlahan mengabur dari objek yang ada di depan mata. Apa yang akan terjadi? Tanyanya dalam hati. Ia tidak yakin bisa membalikkan keadaan, sejujurnya. Tapi apalagi yang diharapkan selain mencobanya sekali lagi. Ia akan mendengarkan baik-baik. Ia ingin setiap kata yang keluar dari Adela bisa diserapnya sejernih mungkin. Ia ingin memproses semuanya dengan terperinci, untuk memperbaiki dirinya—untuk memperbaiki sikapnya—yang barangkali menjadi alasan bagi Adela. Ragu-ragu, ia pun berharap apa yang ada di tempurung kepalanya dan kegigihan perasaannya dapat mengubah keputusan Adela.
“Hai.” Krisna sedikit berjingkat. Saking jauhnya pikiran Krisna melewati realitas di depan mata, ia sampai tak sadar Adela kini sudah di depannya dan duduk sambil meletakan mocha lattenya di meja. Bagaimana bisa aku tak melihatnya, pikir Krisna.
“Hai,” sapanya balik. “Gimana kamu?” tanyanya lagi, sama dan bertepatan dengan Adela.
“Aku baik, tentu saja. Kita kan baru ketemu beberapa hari yang lalu.” ucapnya sambil sedikit terkikih, dengan tatapan mata ke arahnya.
“Ya, untuk hal yang tidak menyenangkan,” balasnya pelan dan berat. Krisna merunduk, menyembunyikan gugup dan detak jantungnya yang tak menentu.
Beberapa menit kemudian, hening berada di antara mereka berdua. Rupanya ucapan Krisna langsung mengubah air muka Adela. Wajahnya agak mengeras dengan tatapan yang mengabur, entah ke mana. Ia menyesap mocha lattenya dengan sedotan, mengambil napas sejenak sebelum kalimatnya siap dikeluarkan.
“Krisna, dengar,” ucapnya halus, namun dapat memberi efek gugup yang sulit dielakan lawan bicaranya. Krisna menjawab tatapan intens milik Adela itu. Tapi miliknya adalah kekosongan yang berharap. “Sekali lagi aku minta maaf. Tapi, aku tidak melihat ada yang bisa dilanjutkan dari hubungan kita.”
Krisna masih menatapnya, namun dengan kekshusyuan yang mengendur. Tarikan di bibir dan lekukan pipinya mengendur. Muncul sedikit keraguan dari dalam hati Adela untuk menyelesaikan kalimatnya. Ia ragu-ragu begitu melihat seseorang di depannya melemparkan wajah ksosong, yang Adela tahu masih menyimpan sedikit harapan. Bagaimanapun, ia harus menyelesaikan kalimatnya. Ia harus tega untuk membuat lelaki itu berhenti mengharapkannya.
“Kamu ingin jawaban yang jujur bukan?
Krisna hanya menjawab dengan tatapan intens, yang ditambahi sedikit seringai—pertanda ia siap mendengar apa pun yang keluar dari mulut Adela. Punggunya dilepaskan dari punggung kursi dan meletakkan kedua tangannya di paha. “Boleh kutahu kenapa?”
“Simple. Because, I don’t like you anymore,” ucap Adela terdengar pasti. Namun berat dan bertekanan.
Hening.
Krisna meraih sesuatu dalam tempurung kepanaya selama beberapa menit.
“Apa yang salah? dengan diriku? Dengan hubungan kita?”