Krisna tak mengerti kenapa dia berada di tempat ini. Isi kepalanya berselancar, menimbang ragu. Apa ini pilihan tepat? Apa ini bukan tindakan gegabah? Tapi percuma saja, toh dia sudah berada di tempat ini—ruangan seorang psikolog yang dia dapati dari sebuah postingan di laman instagram yang khusus membahas kesehatan mental. Tak pernah terpikirkan bahwa ia akan memutuskan berbicara seorang profesional tentang dirinya. Lagi pula, dia merasa tidak memiliki masalah serius dengan kesehatan mentalnya. Hanya saja kepribadiannya kadang membuat dirinya tersiksa. Dan isi kepalanya akhir-akhir ini mendorong semakin keras. Hal itu membuatnya semakin tidak tahan lagi untuk pura-pura tidak peduli. Atau memang inikah yang dinamakan depresi?
Di tengah-tengah pikirannya, ia teralihkan pada jalanan di bawah yang bisa dilihatnya dari jendela berukuran lebar dekat pintu masuk. Jalanan itu cukup tenang, hanya sesekali menangkap dua motor saling berpapasan, atau mobil lalu lalang. Dalam lima menit kekosongannya, ia masih belum tahu apa dia membutuhkan kesempatan atau tidak.
“Oh, masih belum kau minum kopinya?” Suara tersebut datang dari belakang, dari perempuan berkacamata—dengan rambut bergelombang pendek yang hanya sedikit melebihi bahu—yang baru saja keluar dari toilet. Krisna lantas berbalik badan, duduk, dan menyesap kopi hangatnya sedikit.
“Oke, mari kita lanjutkan?” perempuan itu mempersilahkan Krisna duduk sejurus saat dia sudah mendaratkan tubuhnya di kursi. “Jadi, sudah tahu kenapa kamu ke tempat ini?”
Krisna membisu beberapa detik, “Mmm... aku rasa ini keputusan yang tepat.”
Perempuan yang dipanggil Bu Anya itu melipatkan tangannya di meja, menyondongkan tubuhnya dengan mata yang seolah menuntut Krisna memperinci jawabannya.
“Tapi…, untuk tahu alasannya seperti apa, aku sendiri kurang paham.”
“Lalu?” tanyanya, memberi jeda Krisna untuk menjawab. Tahu pria di depannya mematung, ia amelanjutkan, “Jadi, Pak Krisna ke sini untuk dapat jawaban dari saya atau hanya ingin saya mendengarkan saja?”
Krisna tak langsung menjawab. Matanya menatap kosong pada kedua tangan yang ia kepal di atas paha. Ia kembali bergumul dengan isi kepalanya, merasa tidak yakin dengan apa yang akan ia jawab. “Kurasa jawaban,” ucapnya pendek, dengan tatapan yang bolak-balik ke arah perempuan di depannya dan ke tangannya yang terkepal.
“Ah, aku juga berharap seperti itu. Tentu saja yang kuinginkan dari semua klienku adalah, mereka mendapatkan jawaban setelah masuk ke tempat ini. Meskipun tidak mungkin semuanya memuaskan.
“Aku ingin tahu apa ada yang salah denganku,” serobotnya kemudian. “Maksudku, aku yakin tidak memiliki apa-apa dengan kesehatan mentalku. Aku hanya tidak mudah bergaul. Tepatnya susah bergaul. Dan bagiku itu hal biasa. Tapi lama-lama, hal ini membuatku semakin tidak nyaman.”
Anya manggut-manggut mendengar Krisna yang mulai menjawab lebih panjang. “Dan kenapa begitu?” melihat Krisna yang bingung, Anya merevisi pertanyaannya. “Maksudku, hal apa yang membuatmu berpikir ada yang salah dengan dirimu? Karena, ya, kau bilang sendiri itu hal yang biasa dan kau tidak apa-apa sebelumnya.”
“Aku…, Hmm..., mungkin ini agak sedikit remeh sih.”
Anya memicingkan mata. “Oke. lanjutkan saja. Seremeh apa pun. Sekecil apa pun, posisiku bukan untuk menilai masalah orang.”
Mencoba memastikan diri, Krisna pelan-pelan mencoba mencari keberanian lagi untuk berbagi certita. “Aku pernah dua kali berpacaran, dan selalu gagal.”
“Bukannya itu wajar?”
“Mungkin. Tapi alasan mereka membuatku bertanya-tanya, dan hal ini mungkin saja akan terulang lagi suatu saat nanti.”
“Kenapa?”