The Invasion of The Tearling

Mizan Publishing
Chapter #2

Hall (bagian 2)

“Sir.”

Hall mendongak dan melihat Letnan Kolonel Blaser, tangan kanannya. Wajah Blaser menghitam akibat jelaga.

“Ada apa?”

“Isyarat Mayor Caffrey, Sir. Menunggu perintahmu.”

“Beberapa menit lagi.”

Mereka berdua duduk di sarang burung jauh di lereng timur Perbukitan Border. Batalion Hall sudah beberapa minggu berada di sini, terus bekerja, seraya mengamati kerumunan gelap yang bergerak menyeberangi Dataran Mort. Besarnya pasukan Mort menghambat pergerakan mereka, tapi tetap saja terus mendekat, dan kini perkemahan mereka menyebar di sepanjang sisi selatan Danau Karczmar, kota hitam yang terentang setengah jalan menuju kaki langit.

Dari teropong, Hall bisa melihat hanya ada empat penjaga, ditugaskan di sepanjang sisi barat yang lebar dari kamp Mort. Mereka berpakaian untuk membaur dalam dataran garam yang gelap dan berlumpur, tapi Hall mengenal baik tepian danau itu, dan orang asing mudah terlihat dalam cahaya yang menerang. Dua dari penjaga itu bahkan tak berpatroli, tidur di pos mereka. Orang-orang Mort tersebut beristirahat dengan santai seperti seharusnya. Laporan Mace mengatakan bahwa jumlah pasukan Mort lebih dari dua puluh ribu orang, pedang dan zirah mereka dari besi bagus, berlapis baja. Dan dari sisi mana pun, pasukan Tear lemah. Itu sebagian karena kesalahan Bermond. Hall menyayangi laki-laki tua itu seperti ayah sendiri, tapi Bermond sudah terlalu terbiasa dengan masa damai. Dia berkeliling Tearling seperti petani memeriksa lahannya bukan sebagai prajurit yang mempersiapkan perang. Pasukan Tear tidak siap berperang, tapi bagaimanapun kini perang membayangi mereka.

Perhatian Hall kembali tertuju, seperti yang kerap kali terjadi sepanjang minggu lalu, ke meriam yang diletakkan di lokasi yang dijaga ketat di tengah perkemahan Mort. Sampai melihatnya dengan mata kepala sendiri, Hall tak memercayai Ratu meskipun tak meragukan Ratu memiliki semacam penglihatan. Tetapi kini, cahaya yang semakin terang di timur terpantul dari monster-monster besi itu, menegaskan bentuk silinder halusnya, dan Hall merasakan pusaran amarah yang akrab di perutnya. Dia nyaman memakai pedang seperti manusia hidup mana pun, tapi pedang merupakan senjata terbatas. Pasukan Mort berusaha membengkokkan peraturan perang yang dikenal Hall seumur hidupnya.

“Baiklah,” gumamnya, menyelipkan teropong, tak menyadari dia berbicara keras-keras. “Begitu juga kita.”

Dia menuruni tangga dari sarang burung, Blaser menyusul tepat di belakangnya, masing-masing melompati tiga meter terakhir dari tanah sebelum mulai mendaki bukit. Selama dua belas jam terakhir, Hall diam-diam mengerahkan lebih dari tujuh ratus orang, pemanah dan prajurit infanteri, ke lereng-lereng sebelah timur. Tetapi, setelah berminggu-minggu melakukan pekerjaan fisik berat, anak buahnya kesulitan tetap diam dan menunggu, terutama saat gelap. Satu saja isyarat peningkatan aktivitas di sisi bukit akan membuat pasukan Mort terjaga dan waspada penuh, karenanya Hall melewatkan sebagian besar malam berkeliling dari pos ke pos, memastikan prajuritnya tak gampang terkejut.

Lereng makin curam, sampai Hall dan Blaser terpaksa menggapai-gapai mencari pegangan di antara bebatuan, kaki mereka tergelincir di daun jarum pinus. Keduanya memakai sarung tangan kulit tebal dan mendaki dengan hati-hati lantaran medannya berbahaya. Bebatuan penuh terowongan dan gua kecil, dan ular derik senang memanfaatkan gua-gua itu sebagai sarang. Ular derik perbatasan merupakan makhluk buas tangguh, akibat bermilenium-milenium berjuang bertahan hidup di lokasi yang tak bersahabat. Kulit kasar dan tebal membuat mereka nyaris kebal api dan taring mereka menyalurkan dosis bisa yang terkendali dengan baik. Satu kali keliru berpegangan di lereng ini, maka nyawa menjadi taruhan. Sewaktu Hall dan Simon masih sepuluh tahun, Simon pernah menangkap ular derik dengan kandang perangkap dan berusaha menjadikannya peliharaan, tapi permainan itu berakhir kurang dari satu minggu. Sebanyak apa pun Simon memberi makan, ular itu tak bisa dijinakkan dan menyerang begitu ada gerakan sekecil apa pun. Akhirnya, Hall dan Simon terpaksa melepaskannya, membuka kandang, lalu berlari lintang pukang menyelamatkan diri kembali mendaki lereng timur. Tak seorang pun tahu berapa lama ular derik perbatasan bisa hidup; ular Simon barangkali bahkan masih ada di suatu tempat di sini, melata di antara saudara-saudaranya di balik bebatuan.

Simon.

Hall memejamkan mata, membukanya lagi. Orang cerdas itu melatih imajinasinya supaya tidak menjelajah Jalur Mort terlalu jauh, tapi selama beberapa minggu terakhir ini, dengan seluruh Mortmesne barat terbentang di hadapannya, Hall mendapati dirinya memikirkan kembarannya lebih sering daripada biasa; di mana kira-kira Simon berada, siapa yang kini memilikinya, bagaimana dia dimanfaatkan. Barangkali sebagai buruh; Simon dianggap salah satu pencukur bulu domba terbaik di lereng barat. Sayang sekali memanfaatkan orang seperti dia untuk melakukan sesuatu selain sebagai buruh kasar; Hall mengatakan itu pada diri sendiri berkali-kali, tapi peluangnya tak besar. Benaknya terus-terusan mempertimbangkan kemungkinan kecil itu, kemungkinan bahwa Simon bisa saja dijual dengan tujuan lain.

“Sialan.”

Lihat selengkapnya