The Invasion of The Tearling

Mizan Publishing
Chapter #3

Hall (bagian 3)

Ewen telah menjadi Sipir Benteng selama beberapa tahun, sejak Da pensiun dari pekerjaan tersebut, dan selama itu belum pernah ada tahanan yang dianggapnya benar-benar berbahaya. Mayoritas dari mereka adalah orang-orang yang berselisih dengan Regent, dan biasanya mereka memasuki penjara bawah tanah dalam kondisi sangat kelaparan dan babak belur untuk melakukan sesuatu lebih dari sekadar sempoyongan memasuki sel dan ambruk. Beberapa dari mereka tewas dalam penjagaan Ewen, meskipun Da berkata itu bukan salahnya. Ewen tak senang masuk dan menemukan tubuh tahanan dingin di ranjang, tapi Regent kelihatannya tak peduli. Suatu malam, Regent bahkan turun ke penjara bawah tanah seraya menyeret salah satu kekasihnya sendiri, seorang perempuan berambut merah yang begitu cantik sehingga terlihat seperti sosok dari salah satu dongeng Da. Namun, ada tali melilit lehernya. Regent menghelanya sendiri ke sel, memaki-makinya sepanjang jalan, dan menggeram pada Ewen. “Jangan ada makanan atau air! Dia tak boleh keluar sampai kuperintahkan!”

Ewen tak senang memiliki tahanan perempuan. Dia tak berbicara atau bahkan menangis, hanya menatap dingin dinding selnya. Tak mematuhi perintah Regent, Ewen memberinya makanan dan air sambil terus memperhatikan jam. Ewen tahu tali di leher tahanan itu menyakitinya, dan akhirnya, tak tahan lagi, Ewen pun masuk dan melonggarkan jerat itu. Dia berharap dia seorang penyembuh, mampu mengobati lecet merah yang melingkar di leher tahanan itu, tapi Da hanya mengajarinya sebagian besar pertolongan pertama dasar, untuk menangani luka dan semacamnya. Da selalu sabar menghadapi kelambanan Ewen, bahkan ketika itu menimbulkan masalah. Tetapi, tak butuh otak cerdas untuk memastikan seorang perempuan tetap hidup malam itu, dan Da pasti kecewa pada Ewen kalau dia gagal. Saat Regent datang menjemput perempuan itu keesokan harinya, Ewen merasakan kelegaan besar. Regent berkata dia menyesal, tapi perempuan itu berlalu meninggalkan penjara bawah tanah, bahkan tanpa meliriknya sekali pun.

Sejak Ratu baru mengambil alih takhta, tak banyak yang harus dilakukan Ewen. Ratu telah membebaskan seluruh tahanan Regent, yang membuat Ewen bingung, tapi Da menjelaskan bahwa Regent sering memenjarakan orang karena mengucapkan hal-hal yang tak disukainya, sedangkan Ratu hanya menjebloskan orang ke penjara bawah tanah jika melakukan hal-hal buruk. Da berkata tindakan itu masuk akal, dan setelah memikirkannya beberapa saat, Ewen memutuskan bahwa Da benar.

Dua puluh tujuh hari lalu (Ewen mencatatnya di buku), tiga Pengawal Ratu menghambur ke penjara bawah tanah membawa tahanan terborgol, laki-laki beruban yang tampak lelah tapi— Ewen memperhatikan dengan lega—tak terluka. Ketiga pengawal itu tak meminta izin Ewen sebelum menggiring tahanan itu melewati pintu terbuka Sel Tiga, tapi Ewen tak keberatan. Dia belum pernah sedekat ini dengan Pengawal Ratu tapi sudah mendengar banyak cerita tentang mereka dari Da: mereka melindungi Ratu dari bahaya. Bagi Ewen, sepertinya itu pekerjaan paling menakjubkan dan penting di dunia. Dia bersyukur menjadi Kepala Sipir tapi seandainya dia terlahir lebih pintar, pasti yang paling diinginkannya adalah menjadi salah satu laki-laki tinggi dan tegas dalam jubah abu-abu mereka.

“Perlakukan dia dengan baik,” perintah sang Pemimpin, laki-laki berambut merah terang. “Perintah Ratu.”

Meskipun rambut si Pengawal membuatnya takjub, Ewen berusaha tak menatap, sebab dia pun tak senang jika orang memandanginya. Dia mengunci sel, melihat bahwa tahanan itu sudah berbaring di ranjang dan memejamkan mata.

“Siapa nama dan apa kejahatannya, Sir? Aku harus mencatatnya di buku.”

“Javel. Kejahatannya pengkhianatan.” Pemimpin berambut merah menatap dari balik jeruji sejenak, lalu menggeleng. Ewen memperhatikan selagi ketiga orang itu berderap menuju tangga, suara mereka melayang di koridor di belakang mereka.

“Kalau aku pasti sudah kugorok lehernya.”

“Apa dia aman bersama si Bodoh itu, menurutmu?”

“Itu urusan Ratu dan Mace.”

“Dia pasti menguasai pekerjaannya. Tak seorang pun yang pernah melarikan diri.”

“Tetap saja, Ratu tak bisa menjadikan si Idiot itu sebagai sipir selamanya.”

Ewen berjengit mendengar itu. Penindas dulu sering menyebutnya begitu sebelum dia tumbuh begitu besar, dan dia telah belajar untuk mengabaikan komentar tersebut, tapi lebih menyakitkan rasanya mendengar itu dari Pengawal Ratu. Dan sekarang, dia memiliki sesuatu yang baru dan mengerikan untuk dipikirkan: kemungkinan digantikan. Ketika Da pensiun, Da berbicara langsung pada Regent untuk memastikan Ewen bisa tetap bekerja. Tetapi menurut Ewen, Da belum pernah berbicara pada Ratu.

Tahanan baru itu, Javel, adalah salah satu tugas termudah yang pernah dimiliki Ewen. Dia jarang berbicara, hanya beberapa kata untuk memberi tahu Ewen bahwa dia telah menghabiskan makanannya atau kehabisan air atau embernya perlu dikosongkan. Selama berjam-jam Ewen bahkan lupa bahwa Javel di sana, tapi hanya sedikit bisa dipikirkan Ewen selain soal diberhentikan dari tugasnya. Apa yang akan dilakukannya kalau itu terjadi? Dia bahkan tak bisa memberi tahu Da apa sebutan Pengawal Ratu untuknya. Dia tidak mau Da tahu.

Lima hari setelah Javel dibawa ke penjara bawah tanah, tiga lagi Pengawal Ratu berderap menuruni tangga. Salah satunya Lazarus of the Mace, sosok yang gampang dikenali, bahkan bagi Ewen yang jarang meninggalkan selnya. Ewen mendengar banyak cerita tentang Mace dari Da, yang mengklaim bahwa Mace keturunan fairy, bahwa tak ada sel yang mampu menahannya. (“Mimpi buruk sipir, Ew!” Da terkekeh di atas tehnya.) Jika Pengawal Ratu lainnya mengesankan, Mace sepuluh kali lipatnya, dan Ewen mengamatinya sedekat yang berani dilakukannya. Kapten Pengawal di penjara bawah tanahnya! Dia tak sabar untuk memberi tahu Da.

Dua pengawal lain memapah tahanan di antara mereka seperti sekarung gandum, dan bahkan setelah Ewen membuka kunci Sel Satu, mereka melemparkan orang itu di ranjang. Mace berdiri menatap tahanan untuk waktu yang bagi Ewen lama sekali. Akhirnya, dia menegakkan tubuh, berdeham, dan meludah, gumpalan besar lendir kuning yang mendarat telak di pipi si Tahanan.

Ewen menganggap itu tidak baik; apa pun kejahatan orang itu, pasti dia sudah cukup menderita. Dia makhluk merana dan keriput, kelaparan dan kehausan. Lumpur mengerak tebal di bilurbilur di kaki dan torsonya. Lebih banyak bilur lagi, bekas ikatan merah dan dalam, silang-menyilang di pergelangan tangannya. Segumpal besar rambutnya tercabut, menyisakan petak kulit kepala yang berkeropeng. Ewen tak bisa membayangkan apa yang telah menimpanya.

Mace menoleh ke arah Ewen dan menjentikkan jari. “Sipir!”

Ewen mendekat, berusaha berdiri setegap mungkin. Da memilih Ewen sebagai muridnya, bukan saudara-saudara Ewen yang lebih pintar, karena alasan ini: Ewen besar dan kuat. Namun, tingginya hanya sehidung Mace. Dia penasaran apa Mace tahu bahwa dia lamban.

“Awasi yang satu ini baik-baik, Sipir. Tidak ada pengunjung. Tidak ada keluar sel untuk berolahraga. Tidak boleh.”

Lihat selengkapnya