Pada sore hari, di sebuah rumah kayu di tengah hutan, Elric sedang membaca buku sihir milik bibinya.
"Bibi," ucap Elric dengan wajah suntuk.
"Ya? ada apa Elric?" Liora tersenyum melihat Elric yang cemberut.
"Kenapa aku tidak boleh pergi bermain ke luar desa?"
mendengar pertanyaan dari Elric, ekspresi Liora langsung datar, sebelum kembali tersenyum lalu mengambil buku sihir yang sedang dipegang Elric. "Mari kita lihat" Bibinya bertanya kembali kepada Erlic, "jadi kamu sudah mempelajari sihir apa saja?"
"Ah! Aku sudah mempelajari beberapa sihir penguat fisik, sihir Fire Ball, Ice Spear dan Wind Blade. Tapi aku lebih suka sihir Fire Ball!" Ucap Elric dengan bersemangat, seketika melupakan pertanyaan yang ia ajukan kepada Liora. Elric pergi ke ruangan latihan sihir sambil menarik lengan Liora.
Setelah sampai, Elric mulai merapal mantranya. "Sihir Api, Fire Ball!", api sebesar bola tenis muncul di tangan Elric. Elric berbalik menatap Liora dengan bangga. "Hehe, bagaimana, bi?"
Liora tersenyum hangat, lalu mendekati Elric. "Bagus sekali, Elric. Tapi, lain kali cobalah untuk memfokuskan energi sihirmu agar kekuatannya lebih besar".
Elric kembali cemberut. "Aku masih anak-anak. Lagipula, bibi tak pernah mengajarkanku cara memaksimalkan energi sihir. Kamu hanya memberiku buku sihir dasar, lalu menyuruhku belajar sendiri."
Liora tersenyum, lalu mengambil sebuah wadah sihir dari lemari. Liora dengan ramah memberi Elric wadah itu. "Baiklah, sekarang cobalah untuk memusatkan energi sihirmu kedalam wadah ini. Jika wadahnya bercahaya dan tidak redup, itu artinya kamu sudah bisa mengendalikan sihirmu itu."
Mendengar hal itu, Elric segera mendekati wadah itu, lalu memusatkan sihirnya. Wadah itu mulai bercahaya, namun cahaya tersebut kembali hilang setelah beberapa saat. Elric makin penasaran dan kembali mencobanya walaupun berakhir gagal. Liora tetap mengawasi Elric sambil minum teh.
Setelah beberapa jam kemudian, Elric akhirnya berhasil mempertahankan cahaya di wadah tersebut. "Bibi! Lihat, aku akhirnya bisa mempertahakan cahayanya!"
Liora menatap wadah itu dengan mata melebar, sedikit kagum, namun kembali mendapatkan ketenangannya. "Bagus, dan kamu terus mencoba hingga larut malam, nak." Liora lalu mengusap kepala Elric dengan lembut sambil tersenyum. "Kamu sudah berusaha sebaik mungkin lho, bukan begitu, Elric?"
Elric menikmatinya, lalu kembali bertanya kepada Liora. "Jadi, apakah aku sudah boleh bermain keluar desa?"
Liora dengan tegas menjawab, "tidak, kamu tak boleh keluar desa. Sudahlah, kamu pasti lelah kan? istirahatlah, Elric," Ucap Liora yang kemudian tersenyum hangat kepada Elric.
Ekspresi Elric sedikit murung, lalu dengan enggan pergi ke kamarnya sambil membawa buku sihirnya.
Setelah Elric masuk ke kamar, Liora duduk di halaman rumah sambil menatap bulan purnama malam itu. "Semoga kamu menapaki jalan penuh kebahagiaan, Elric."
Tiba-tiba, datang seorang pria bertopeng, mengenakan jubah hitam mendekati Liora. Liora hanya diam dan tetap tenang sambil memperhatikan pria itu mendekatinya. "Ada masalah apa sampai-sampai kamu datang kerumahku malam ini?"
Pria bertopeng itu mengeluarkan gulungan surat dari balik jubahnya, lalu melemparkan gulungan tersebut kepada Liora. "Bacalah, Liora."
Liora kemudian membuka gulungan surat itu. Setelah beberapa saat, tubuh Liora sedikit bergetar. "Jadi, pihak kerajaan telah mengetahui lokasiku, kapan mereka akan berangkat ke desa ini?"
"Mereka sudah berangkat kemarin. Menurut perkiraanku, mereka akan sampai di desa ini dalam waktu tiga hari. Kusarankan kau untuk berangkat paling lambat besok malam agar kau bisa melarikan diri tanpa diketahui mereka, dan fakta bahwa kau merawat elf yang seharusnya dinyatakan meninggal pada malam penyerangan itu."
Liora menggigit bibirnya. "Begitu... terima kasih atas laporan terakhirmu, Rakka"