Medan perang Eldoria bergemuruh dengan deru langkah kaki prajurit dan denting senjata yang memekakkan telinga. Di tengah kekacauan ini, Elric berdiri terdiam, terperangkap dalam badai kegelapan yang mengamuk di dalam dirinya. Energi vampir yang terpendam kini meledak, mengubahnya menjadi makhluk yang tak dikenali. Setiap detik berlalu, dia merasakan kendali atas dirinya semakin meluncur pergi.
Matanya, yang seharusnya bersinar penuh harapan, kini menyala merah, mengintip dari balik kegelapan. Dalam keramaian ini, ia tidak melihat apa-apa selain bayang-bayang musuh yang bersiap menerkam. Tubuhnya terasa lebih kuat, tetapi juga lebih asing, lebih liar. Setiap gerakan mengeluarkan aura gelap yang membuat lawan-lawannya terjerembab ke tanah.
Di kejauhan, Ayla bertempur dengan gagah berani, pedangnya berkilau seperti bintang di tengah malam. Ia tidak menyadari bahwa sahabatnya, Elric, perlahan-lahan berubah di belakangnya. Setiap kali Elric mengeluarkan sihir vampirnya, musuh terhempas tanpa ampun, tetapi ia juga merasa bagian dari dirinya hancur bersamaan dengan setiap serangan.
“Jaga dirimu, Elric!” teriak Ayla tanpa menoleh, terfokus pada lawan di depannya.
Elric tidak mendengar Ayla. Ia tenggelam dalam kebisingan pertarungan, di mana suara jeritan dan dentingan logam bergabung menjadi satu. Di dalam dirinya, ada sebuah seruan liar yang meminta untuk dilepaskan, dan ia merasa bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan membebaskan energi gelap itu sepenuhnya.
"Satu serangan lagi, satu lagi!" Semakin banyak musuh yang terhempas, semakin dekat Elric merasakan kekuatan kuno itu mengambil alih. "Aku tidak ingin menjadi monster," gumamnya, tetapi suara hatinya nyaris tenggelam dalam deru peperangan.
Dan tiba-tiba, tanpa peringatan, Elric melepaskan semua yang tersisa. Ledakan energi vampir menyebar dari tubuhnya, menciptakan gelombang kehampaan yang melanda medan perang. Pasukan Valherion maupun Eldoria yang berada disekitar Elric terhempas, tubuh mereka terbakar oleh gelombang gelap yang keluar dari dirinya.
Di tengah amukan itu, Ayla berjuang melawan musuh yang tak terhitung jumlahnya, tetapi ketegangan di punggungnya merayap naik. Ada sesuatu yang tidak beres. Dia melirik ke arah Elric, tetapi yang dilihatnya hanyalah bayangan hitam berkobar, sosok sahabatnya yang hilang di balik lautan energi gelap.
“Elric!” Ayla berteriak, tetapi suaranya tenggelam dalam kekacauan. Saat ia berusaha menembus kerumunan, musuh datang menyerang dari segala arah. Pedangnya menari-nari, menghancurkan setiap lawan yang mendekat, tetapi hatinya dipenuhi rasa cemas. “Kau di mana?” teriak Ayla.
Sementara itu, Elric, kini terperangkap dalam amukannya sendiri, merasakan gelombang kekuatan mengalir dalam tubuhnya, menuntunnya untuk melanjutkan pertempuran yang tak tertandingi. Dia tidak lagi merasa dirinya, ia hanyalah kekuatan, kekuatan yang haus akan lebih banyak darah musuh. Dengan setiap serangan, ia mengabaikan perasaannya, merasa terputus dari dunia.
Raja Valtheron, yang sedang bertarung dengan Raja Elion, menoleh melihat perubahan yang terjadi pada Elric. “Anak muda itu telah sepenuhnya terjatuh ke dalam kegelapan,” ejeknya, senyum penuh kemenangan menghiasi wajahnya. “Sungguh disayangkan, dia bisa menjadi senjata paling hebat!”
Elric mengangkat tangan, mengeluarkan sihir kuno berupa sihir merah terang yang lebih kuat lagi. Aura gelapnya menyebar, menghancurkan barisan musuh dengan kekuatan yang tak terduga. Tetapi di dalam hatinya, dia merasakan kesedihan yang mendalam, kesedihan karena kehilangan kendali atas dirinya.