Elric dan Fenn melangkah lebih dalam ke dungeon kuno di hutan Fangorath, atmosfer mulai berubah semakin berat seiring mereka menjelajah. Suara langkah kaki mereka bergema di lorong-lorong batu yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya lembut dari kristal yang tertanam di dinding. Fenn, yang biasanya ceria, kini lebih waspada.
"Ini tidak terlihat seperti tempat yang pernah aku kunjungi sebelumnya," gumam Fenn, telinganya bergerak-gerak, mendeteksi suara-suara samar yang berasal dari kedalaman dungeon. "Rasanya seperti ada sesuatu yang bersembunyi di sini, dan tidak ingin kita terus maju."
Elric mengangguk tanpa berkata-kata. Ia merasakan aura yang kuat dan gelap mengelilingi tempat ini. Udara di dungeon ini terasa lebih berat, seolah-olah ada tekanan tak terlihat yang menahan mereka.
Setelah beberapa waktu berjalan, mereka mulai menemui rintangan pertama, segerombolan makhluk bawah tanah, sejenis serangga raksasa yang memiliki rahang tajam dan kulit berlapis tebal. "Aetheria Sylvanis, Gaia's Wrath!" Elric bereaksi cepat, merapal mantra Aetheria Sylvanis. Dengan sihir ini, ia menggerakkan tanah di bawah kaki mereka, menciptakan benteng alami yang menghalangi serangan serangga-serangga itu.
"Jangan berhenti, Fenn!" teriak Elric, memerintahkan tanah untuk membentuk duri-duri tajam yang mencuat dari tanah, menghancurkan makhluk-makhluk itu satu per satu.
Fenn melompat dengan gesit, menyerang dari samping menggunakan giginya yang tajam, memanfaatkan ukuran kecilnya untuk menyerang titik lemah musuh. Mereka bekerja sebagai tim yang kompak, dan meskipun serangan-serangan musuh semakin brutal, Elric tetap fokus. Dengan sihir manipulasi tanahnya, ia membuat dinding batu untuk menangkis serangan, lalu melancarkan serangan balik dengan tanah yang menghantam lawan-lawannya seperti palu raksasa.
“Jangan terlalu boros energi, Elric,” kata Fenn sambil melompat kembali ke sampingnya setelah mengalahkan satu makhluk. "Kita belum sampai di inti dungeon ini."
Setelah serangga-serangga raksasa itu berhasil dikalahkan, mereka melanjutkan perjalanan lebih dalam ke lorong yang semakin gelap. Atmosfer semakin menyesakkan, dan mereka mulai mendengar suara lain, seperti gemuruh yang terpendam, semakin jelas seiring mereka mendekat ke pusat dungeon.
Elric dan Fenn melangkah semakin jauh ke dalam kedalaman dungeon kuno itu, atmosfer di sekitar mereka semakin menebal dengan kegelapan dan misteri. Udara yang lembap dan dingin menggantung, sementara gema langkah mereka di lantai batu yang retak terasa semakin sunyi. Setiap inci dinding dungeon dipenuhi dengan lumut tua dan ukiran-ukiran kuno yang tampaknya sudah lama hilang dalam sejarah.
“Kau yakin ini ide yang bagus?” Fenn bertanya dengan suara pelan, telinganya yang sensitif menangkap setiap suara samar di sekitar mereka. “Tempat ini bukan hanya kuno, Elric. Ada sesuatu yang... mati, tetapi juga hidup di sini.”
Elric berhenti sejenak, memeriksa sekelilingnya dengan hati-hati. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang salah, seperti energi gelap yang mengintai di balik setiap sudut dungeon. Namun, tekadnya untuk menemukan jawaban mengalahkan rasa takutnya. “Kita harus terus maju,” jawab Elric dengan tenang.
Fenn mendesah panjang. “Yap! Kau benar, tapi jika makhluk raksasa yang menakutkan tiba-tiba muncul, itu tanggung jawabmu.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, menyusuri koridor sempit yang semakin gelap. Tidak ada suara selain langkah mereka sendiri, namun Elric mulai merasakan kehadiran lain di sekitarnya. Sensasi aneh merayap di punggungnya, seolah-olah ada sesuatu yang memperhatikan mereka dari bayangan.
Tiba-tiba, lorong itu terbuka ke sebuah ruangan besar. Langit-langitnya tinggi dan gelap, jauh di atas kepala mereka. Di tengah ruangan terdapat altar batu besar yang dikelilingi oleh pilar-pilar tinggi. Namun, yang paling menarik perhatian Elric adalah sosok-sosok yang tersebar di seluruh ruangan, itu adalah kerangka manusia yang berserakan di lantai dengan senjata-senjata usang yang masih tergeletak di dekat mereka.