The Journey Of Sha & Sha

FAKIHA
Chapter #1

Prolog

Setiap makhluk individu memang memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Dan sering kali ketika kita berada di titik masalah yang umum, kita selalu menganggap hidup itu tidak pernah adil. Padahal kenyataannya hidup selalu berdampingan, antara bahagia dan sedih, antara masalah dan solusi, antara bersyukur dan kufur. Dan hal itu benar adanya, seperti yang sedang aku lalui sekarang.

Apa pun yang aku lalui, itulah perjalananku. Allah telah berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.'"

Bagiku, akan sangat sulit menerima sesuatu yang selalu bertentangan denganku. Aku memiliki saudara kembar non-identik, namanya Alesha Sannaya Adnan. Kami lahir hanya berbeda sekitar 7 menit. Hampir semua yang ada dalam diri kami berbeda. Tidak ada kesamaan sedikit pun. Kesamaan kami hanya terletak pada hari, tanggal, dan tahun kelahiran. Cara kasarnya, yang aku suka, dia benci. Begitu pun sebaliknya, yang dia suka, aku tidak menyukainya.

Mirisnya, keberadaanku hanyalah bayangan yang tak pernah diinginkan oleh kedua orang tuaku sendiri. Aku merasa hanya menumpang di rahim Mama. Setelah lahir, aku pun hidup tanpa kasih sayang dari mereka. Hidup menjadi seorang Alisha Elizha Adnan merupakan kesedihan terberat bagi diriku sendiri. Sampai semua hal harus aku sembunyikan. Aku tidak mau terlihat menyedihkan di mata orang lain. Aku tidak mau mereka memandangku sebagai saudara kembar Alesha. Rasanya sudah lebih dari cukup orang-orang membandingkan aku dengan Alesha. Mereka menyebut kami dengan sebutan:

Si kurus dan si gemuk. Si cantik dan si dekil. Si kaya yang berbeda nasib.

Aku tumbuh menjadi orang yang ambisius dalam segala hal. Aku memiliki satu motif, yaitu karena aku ingin diakui oleh kedua orang tuaku. Sampai sahabatku selalu memperingatkanku agar tidak memforsir semua tenagaku.

"Ck, Al,"

"Alisha Adnan, tolong dengarkan aku dulu!"

"Setiap hari aku lihat kamu belajar terus. Apa nggak pernah ngerasa capek? Kita aja yang cuman modal ngeliatin kamu doang udah capek banget," kata Azura yang sudah berdecak kesal sedari tadi. Anak itu selalu mengomeliku. Aku selalu menganggap omelannya itu sebuah bentuk perhatian. Sangat terlihat jelas jika aku kekurangan kasih sayang.

Sepertinya mereka telah salah menjadikan aku sebagai salah satu sahabat mereka. Mereka yang terlalu santai condong ke malas, sementara aku orang yang sangat ambisius. Kami saling bertolak belakang. Kami sama-sama cerdasnya, namun caranya saja yang berbeda. Mereka nafas saja langsung paham apa yang dijelaskan oleh dosen. Sementara aku sangat memerlukan fokus yang tinggi untuk memahami materi yang dijelaskan oleh para dosen. Kami sedang memasuki semester ketiga jurusan psikologi di salah satu universitas swasta ternama.

"Belum. Baru juga tiga jam," aku mengatakan hal itu tanpa memandang wajah mereka, sekaligus menjawabnya dengan santai.

Lihat selengkapnya