The Journey Of Sha & Sha

FAKIHA
Chapter #3

2. Luka Dari Sebuah Trauma

Berusaha untuk diakui oleh orang terdekat hanya membuat pikiran kita semakin tidak waras. Ketika obsesi merasuki pikiran serta hati kita, di sanalah kita akan berhadapan dengan jurang kestresan. Beberapa orang sekitarku sering mengatakan,

"Nggak perlu ambis banget deh Al, nggak semua hal, harus kamu capai sekarang. Kamu masih manusia, bertindaklah layaknya manusia. Didunia ini nggak ada manusia yang sempurna selain Rasulullah."

"Semakin kamu memaksakan diri untuk menjadi sempurna, kamu hanya akan membuat diri kamu semakin sengsara." Aku hanya diam menanggapi setiap nasehat baik dari siapapun itu. Tapi setelah waktu yang aku lalui dan akhirnya aku mampu berpikir dengan baik. Ucapan mereka semua memang benar, semakin aku berusaha diakui oleh orang terdekatku, maka hanya akan ada rasa melelahkan di dalamnya yang tak mampu aku dapatkan.

Sewaktu masih sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, ada banyak orang yang membandingkan aku dengan Alesha. Kata mereka, Alisha itu tidak pantas untuk menjadi kembarannya Alesha. Dia terlalu gemuk dan jelek untuk menjadi saudaranya Alesha. Jika diibaratkan, Alesha itu seperti bintang dimalam hari yang berkelip di musim kemarau, sementara Alisha hanya rembulan yang muncul di musim hujan dan kabut.

Semenjak SMP aku mulai menurunkan berat badanku. Namun sayangnya aku selalu gagal mendapatkan berat badan yang ideal. Dan berakhir dilarikan ke rumah sakit akibat asam lambungku tiba-tiba naik. Cara diet aku benar-benar tidak sehat, semua kebodohan orang di muka bumi ini sepertinya terkumpul dalam pikiranku. Aku ingin kurus, namun cara yang aku lakukan salah total. Mama dan Papa tidak tahu jika aku sedang melakukan diet.

 Saat dilarikan di rumah sakit karena asam lambungku yang tiba-tiba naik, ketika itu mereka datang bukan perasaan kasih sayang yang mereka perlihatkan. Justru sebaliknya, aku mendapat amarah besar dari kedua orang tuaku. Setidaknya mereka masih ada satu persen kepedulian terhadap putri bungsunya.

"Apa kamu nggak bisa berhenti mencari masalah Alisha? Lama-kelamaan saya benar-benar muak dengan tingkah kamu." Kata Mama saat itu.

"Kenapa kamu selalu membuat kami khawatir, Alisha? Coba kamu lihat Alesha, dia bisa menjadi role model hidup kamu. Coba contoh dia!" Kata Papa mulai membandingkan aku dengan kembaranku.

"Alesha ... Alesha ... dan Alesha, apa Mama pernah ngelihat aku sebagai putri Mama dan Papa?" tanyaku begitu emosional. Namun tidak disangka jika tangan Papa lebih cepat melayang ke pipi kananku. Aku hanya meringis kesakitan.

"Jangan melawan kalau orang tua bicara."

"Dan untuk apa kamu diet, kalau akhirnya kamu sendiri harus dilarikan ke rumah sakit?" tanya Papa begitu kesal.

"Aku diet biar kurus, biar Mama sama Papa nggak malu mengakui aku sebagai anak Papa dan Mama." Jawabku dengan nada meninggi. Perkataanku berhasil membuat mereka berdua mematung. Aku menahan diri agar tidak menangis. Sekalipun air mata sudah tidak mampu lagi aku bendung. Kemudian Mama dan Papa langsung keluar dari kamar inapku.

Aku memiliki segudang inner child yang cukup buruk. Aku tumbuh tidak mendapat kasih sayang dari orang tua, banyaknya larangan, tidak pernah mendapat apresiasi dari orang tua setelah mendapat penghargaan, bullying SD sampai SMA. Kemudian, setelah masuk SMP aku tumbuh menjadi orang yang ambis orang yang dingin, dan tidak begitu tertarik dengan relationship. Jika Alesha diam-diam sering gonta-ganti pacar, aku malah tidak sekalipun pernah pacaran. Sekalinya aku menyukai seseorang, orang itu malah menyukai Alesha. Miris sekali bukan? Dia terlalu sempurna untuk menjadi sainganku.

"Eh Alisha, apa kamu nggak sadar suka sama Affan? Lihat deh badan kamu! Badan kamu itu mirip gajah." Kata seorang laki-laki temannya Affan mengejekku.

"Affan itu lebih cocok sama Alesha dibanding dengan kamu."

"Mana ada gajah sama pangeran tampan?" Katanya lagi. Selama ini aku cukup diam tanpa membalas perlakukan mereka. Namun sekalinya aku membalas mereka, mereka malah diam tak berkutik. Aku menendang alat vital mereka bertiga secara bergantian membuat mereka meringis kesakitan.

"Masih ada nggak, kata-kata dari kalian yang lebih menyakitkan? Siapa tau aja, saya bisa menghilangkan aset berharga masa depan kalian?" tanyaku diujung kesabaran membuat mereka seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lakukan.

Akhirnya aku kembali menendang alat vital mereka secara bergantian sampai membuat mereka bertiga jatuh ke lantai. Aku sengaja berlatih taekwondo setiap hari sekalipun badanku lumayan besar, setidaknya ketika momen seperti ini aku bisa menghajar mereka secara tepat. Setiap ucapan di masa lalu aku selalu mengingatnya secara detail. Ada rasa ingin sekali melupakan namun semakin aku berusaha melupakan maka semakin mengingat sesuatu itu.

"WOI Alisha, bengong aja." Kata Raffasya sengaja berteriak di samping telingaku. Yang membuat jantungku berdebar cukup kencang. Masa lalu hanya menyakitkan. Hanya segelintir orang yang melalui masa lalu dengan kebahagiaan.

"Bisa nggak sih, kalau ngomong nggak usah teriak-teriak? Kuping aku masih normal." Kataku agak kesal namun membuat anak itu terkekeh. Raffasya itu memiliki hobi mengganggu ketenangan orang.

"Kalau masih normal, kenapa diam aja? Nah, lihat! ruangan kelas udah sepi." Katanya menyadarkan lamunanku jika ruangan ini sudah tidak ada penghuni selain kami berdua.

"Kok kelas udah pada bubar?" tanyaku agak panik.

Lihat selengkapnya