"Aku hanyalah bayang-bayang yang nyaris tak terlihat, tersembunyi di balik takdir seseorang yang dunia anggap sempurna. Setiap langkahku seolah tak berarti, tenggelam dalam harapan yang bukan milikku. Apakah dunia ini benar-benar sekejam itu padaku? Mungkin, aku pun tak yakin. Tapi yang kutahu, rasanya seperti menelan luka yang tak kunjung sembuh—perih, sunyi, dan menyesakkan." —Alisha Elizha Adnan.
Jika ada yang mengira memiliki saudara kembar itu menyenangkan, Alisha Elizha Adnan akan menjadi orang pertama yang menyangkalnya. Bagi Alisha, punya saudara kembar bukanlah anugerah—terutama jika kembaran itu seburuk yang ia lihat dalam diri saudaranya sendiri.
Bayangkan, setiap hari kamu harus berhadapan dengan seseorang seperti Alesha—manja, merepotkan, narsistik, tak pernah mau mengalah, keras kepala, dan selalu menuntut dukungan atas apa pun yang dilakukannya, bahkan ketika itu jelas-jelas salah.
Alisha sebenarnya sudah beberapa kali menjalani sesi dengan psikiater karena terlalu lelah menghadapi drama kembarannya sejak kecil. Alesha selalu berperan seperti orang yang baik di hadapan semua orang, sementara Alisha sebaliknya, apa pun yang Alisha lakukan akan selalu salah di mata orang tuanya.
Yang lebih buruk lagi, ibu mereka, Bu Sennaya, justru selalu membela dan memenuhi semua keinginan Alesha tanpa mempertimbangkannya lebih dulu. Tak heran jika Alesha tumbuh menjadi orang yang sangat manja dan penuh validasi. Alisha menjuluki saudara kembarnya itu sebagai "putri kerajaan tanpa darah bangsawan".
Ada begitu banyak luka yang harus Alisha simpan rapat-rapat dari kecil. Bukan hanya soal nama panggilan yang seolah merampas identitasnya.
Nama asli Alisha sebenarnya adalah Elizha Adnan, sementara saudara kembarnya diberi nama Sannaya Adnan. Namun sejak kecil, Alesha menolak mentah-mentah dipanggil Sannaya. Ia merasa nama itu terlalu kaku, tidak mencerminkan karakternya yang ceria dan penuh perhatian publik. Dengan rengekan dan bujukan tanpa henti, ia memaksa kedua orang tuanya agar namanya diubah menjadi Alesha Sannaya Adnan.
Dan seperti biasa, keinginan Alesha menjadi hukum mutlak di rumah itu. Sang ibu, yang selalu bersikap berat sebelah, bahkan memutuskan—tanpa diskusi terlebih dulu—untuk menyelaraskan nama Elizha menjadi Alisha Elizha Adnan. Katanya, supaya serasi. Padahal, Alisha sendiri tidak pernah meminta perubahan itu. Ia masih nyaman dengan nama aslinya. Namun, seperti kebanyakan hal lain dalam hidupnya, ia hanya bisa diam dan menerima.
Sayangnya, yang harus ia relakan bukan hanya nama. Mimpi besar yang ia bangun sejak kecil—menjadi seorang dokter—harus ikut terkubur karena tuntutan keluarga, dan lagi-lagi, karena Alesha. Pilihan jurusan di universitas kedua orang tua mereka yang memilih, dan Alesha setuju karena itu impiannya. Bukan itu saja, waktu luang, bahkan eksistensinya, semuanya seperti harus disesuaikan demi sang saudara kembar yang selalu mendapat prioritas. Alisha sudah terlalu sering mengalah, bahkan ketika itu berarti harus kehilangan dirinya sendiri.
Namun, seperti biasa, Alesha selalu diutamakan. Dan Alisha? Ia harus rela mengalah, berkali-kali, tanpa pernah benar-benar didengar. Ia pernah mencoba berkata tidak, tapi hasilnya tak pernah berubah. Dunia seolah tak punya tempat untuk keberaniannya.
Kini, Alisha hanya merasa lelah. Lelah menjadi bayangan hidup di rumahnya. Lelah menjadi korban dari keputusan yang bukan miliknya. Dan yang paling menyakitkan, ia lelah menjadi dirinya sendiri.
Lihatlah, mobil yang dikemudikan Alisha melaju semakin kencang, membelah jalanan ibu kota yang mendadak lengang. Tak seperti biasanya, jalanan Jakarta tampak begitu sepi, seolah memberi ruang bagi langkahnya yang terburu.
Alisha selalu mengenakan hijab—kebiasaan yang mulai ia jalani sejak enam tahun lalu, saat pertama kali memasuki bangku perguruan tinggi.
Mobil itu melaju stabil di atas aspal yang mulai memanas tersengat matahari pagi. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh lima menit—waktu yang biasanya sibuk bagi Jakarta. Tapi pagi ini, jalanan ibu kota tampak lebih lengang dari biasanya. Hanya sedikit kendaraan yang lalu lalang, membuat Alisha bisa melajukan mobilnya dengan nyaman, membelah ruas-ruas jalan yang biasanya padat dan berisik.
Gedung-gedung tinggi berjajar di kanan-kiri, menjulang bagai penjaga kota yang diam dan dingin. Langit selalu abu-abu karena terlalu banyak polusi, nyaris tanpa awan, seperti kehidupan Alisha yang tidak begitu berwarna.
Beberapa kafe di sudut jalan mulai ramai, aroma kopi dan roti panggang menguar tipis dari sela jendela kaca, menyatu dengan sisa embun AC yang belum sepenuhnya dingin.
Mobil itu akhirnya berhenti tepat di depan gedung bercat putih keabuan, bertuliskan Snnaya Studio of Art and Style, milik keluarga mereka. Kaca-kaca besar memantulkan cahaya terang, memancarkan kilau yang menyilaukan mata. Beberapa staf terlihat sibuk di pelataran depan, membawa tripod dan lampu sorot, sementara satu dua model keluar dari studio, menenteng tas dan memeriksa wajah mereka lewat kamera ponsel.
Alisha menarik napas perlahan sebelum meraih ponselnya, menekan nama Putri Tanpa Darah Bangsawan, dan menunggu hingga sambungan tersambung.
“Aku sudah di luar, di area parkir. Bisa keluar sekarang?”
"Sha, aku minta maaf, lupa ngabarin. Tadi Cempaka dan Arum tiba-tiba jemput, dan sekarang aku sudah berada di kafe bareng mereka," jawab Alesha dengan nada menyesal.
Jawaban itu tidak membuat Alisha tenang, tapi teramat kesal. Namun, seperti biasa, ia tetap tenang. Ia tahu bagaimana caranya menjaga emosi tetap terkendali. Alisha tetap memanggil Alesha dengan panggilan Sannaya, bukan untuk balas dendam, tapi karena panggilan itu sudah melekat dari kecil. Beberapa kali Alesha menegur saudaranya itu agar tidak tidak memanggilnya, Sannaya. Namun, Alisha tetap kekeh akan tetap memanggil saudaranya dengan panggilan masa kecilnya sebelum di ubah, Sannaya.
“Baiklah, Nona Muda Sannaya. Lain kali, kalau sudah punya rencana dengan sahabatmu, jangan repot-repot minta tolong ke kembaranmu. Tapi dengar baik-baik, permintaanmu tetap berlaku meski kamu sendiri yang membatalkan. Aku sudah sampai di tempat penjemputan, dan itu cukup jadi bukti. Jadi tolong, belikan aku kopi almond. Lima puluh cup. Pakai uang kamu. Anggap saja sebagai kompensasi. Dan tolong jangan tolak, aku nggak butuh penolakan darimu, Nona Muda.”