The Justice

djangles
Chapter #2

Part 1

Kami datang di Kota Bou pukul sepuluh malam tepat. Setelah melewati penerbangan menuju ibu kota provinsi selama kurang lebih dua jam, kemudian dilanjutkan perjalanan darat sekitar enam jam. Kota kecil di pinggiran Indonesia berbatasan lansung dengan negara tetangga. Aku merasa lelah sekali. Tapi kami harus tetap melanjutkan perjalanan dengan mobil offroad dan masih berbasa basi kepada Kepala Desa, bahwa kami sudah datang. Sangat melelahkan, bukan?

Perjalanan kami dipenuhi oleh hutan dan sawit yang sangat rimbun, aku jarang sekali melihat ada permukiman saat kami di dalam bus. Hanya ada lampu jalan, itupun hanya dapat ditemui setiap lima menit sekali. Bagaimana pemerintah bisa membiarkan kota kecil tanpa penerangan seperti ini?

Aku jadi ingat dulu ketika menjadi volunteer pendidikan saat menjadi mahasiswa di Indonesia bagian timur.

Yah, kurang lebih sama, bahkan mungkin disana jauh lebih baik daripada keadaan di Kota Bou ini.

Aku melirik ke arah Mas Cahya yang duduk di sebelah Pak Timo –sekretaris desa yang menjemput kami. Dia sepertinya sudah tidak masalah dengan apa yang terjadi diantara akami sebelum ini. Kupikir dia akan membenciku dengan sangat tega.

Bagaimana tidak, sikapku sangat kurang ajar padanya.

Aku mengalihkan pandangan pada lampu-lampu rumah penduduk yang sudah mulai terlihat, satu-satu dan jauh. Setidaknya sudah ada kehidupan disini.

Saat aku mengalihkan pandangan, aku merasa Mas Cahya melirik ke belakang –ke arahku. Aku bisa melihatnya dari pantulan kaca pintu mobil di sebelahku. Biarkan saja, batinku. Aku malah membiarkan diri melihat ke arah luar saat rasa bersalah kembali menyerangku.

Dia orang yang baik.

Aku yang tidak baik.

Aku menghela nafas dalam. Emosiku masih bisa naik turun dengan drastis saat mengingat kejadian itu. Kejadian demi kejadian yang membawaku untuk mau melakukan hal yang kulakukan sekarang.

Keluar dari zona nyaman?

Benar.

Aku melakukannya.

Dan aku menjalaninya sekarang.

Inilah aku...

Seseorang dengan segudang kekecewaan pada dunia, yang memilih membuat diri sendiri celaka.

Aku, Naurista Bella Utomo tengah menggali lubang kuburnya sendiri.

***

Kami tinggal di rumah yang sama. Rumah yang cukup mewah, memiliki empat kamar dan perabot yang modern. Sangat berbeda dengan tampilan depan rumah yang tak jauh berbeda dengan rumah panggung umumnya di desa ini.

Ini adalah rumah tempat bos menenangkan diri. Hanya karena project ini, kami diizinkan untuk tinggal disini. Rumahnya berada di atas bukit, dengan pemandangan yang sangat indah saat pagi dan sore, ini hanya aku mengira-ngira. Supply makanan diberikan setiap hari, kami hanya perlu bekerja.

Aku meringis.

Bekerja?

Ya itulah yang kami lakukan sekarang.

"Bel, colokan yang gue titip sama lo mana?” Tyas masuk ke dalam kamar kami dan langsung tidur disampingku. Kami sama-sama lelah.

"Di tas bagian depan,” jawabku malas. Aku melirik ponselku yang mulai tak berguna, ada signal tapi tak bisa digunakan untuk apapun.

Untuk apa? Menelepon ke adikku saja aku tak bisa.

Signal kami di blokir untuk di dalam rumah. Katanya hanya sesekali baru bisa kami dapatkan saat sedang hoki atau beruntung. Kami baru bisa menggunakan internet dengan leluasa saat sudah sampai di ibukota provinsi atau desa lain.

Aku hanya menghela nafas dan memilih diam. Tapi, Tyas kembali menggangguku.

"Mas Cahya, masih jomblo loh.”

Aku menanggapinya malas. "Hm,” mana kutahu dan sebenarnya aku sudah tahu. Aku membereskan barang-barangku sekitar setengah jam sebelum keluar untuk makan malam. Aku satu kamar dengan Tyas dan Kania. Kamar di rumah ini berjumlah empat kamar yang cukup untuk menampung kami yang berjumlah delapan orang. Ada tiga laki-laki dan lima perempuan. Laki-laki satu kamar, perempuan dua kamar dan satu kamar lagi akan dihuni oleh keamanan yang akan menemani kami selama project.

Ini adalah project mendekati perbatasan negara, tentu saja membutuhkan tim keamanan. Aku tidak tahu jumlahnya, mungkin satu atau dua orang.

"Berapa lama kita disini?” Tanya Tyas

Aku mengangkat bahu. "Tiga bulan kan?”

"Minggu depan kita beneran ke pulau?”

Lihat selengkapnya