The Justice

djangles
Chapter #3

Part 2

Jam baru menunjukkan pukul setengah enam ketika aku bangun dan masuk ke dalam dapur untuk membuat kopi. Tubuhku sudah terbiasa untuk bangun sebelum jam enam walaupun aku baru tidur jam lima subuh. Kadang aku sangat kesal dengan kebiasaanku ini. Aku juga ingin seperti yang lain yang bisa tidur hingga siang hari dan bisa tidur lagi malam hari.

Aku merasakan badanku sangat penat, namun sudah tidak bisa istirahat. Setelah membuat kopi hitam yang cukup pahit, aku duduk di meja makan. Aku mengecek ponsel dan mendapati benda itu dapat digunakan. Pagi hari dimana semua orang tengah terlelap memang waktu yang pas untuk mencuri sinyal. Aku membuka akun bisnisku untuk melakukan monitoring. Sudah satu tahun ini aku mempunyai bisnis di bidang hijab printing berdua dengan adikku. PenghAsilan kami sudah lumayan, tapi belum cukup lumayan untuk keluarga kami. Sekarang akunnya hanya dikelola oleh adikku. Sedangkan aku memonitoring sesekali, saat mendapatkan signal.

Lihat, signal dipagi hari sangat kuat bahkan untuk menonton youtube saja tidak buffering. Kata siapa Kota Bou tak ada signal?

Aku sedang asik mendesign postingan saat seseorang keluar dari kamar. Pandanganku langsung teralihkan.

Mas Cahya.

Bella bodoh. Kenapa tidak di kamar saja melakukan kegiatan ini? Aku melempar senyum canggung kemudian mengalihkan pandangan. Mas Cahya sudah berganti pakaian dengan pakaian yang lebih santai.

"Kamu masih belum bisa bangun siang?” tegurnya, dia sendiri sangat santai berhadapan denganku. Hanya aku yang sepertinya canggung.

Aku mengangguk, "Nyebelin banget kan? Harusnya aku bisa tidur-tiduran seharian ini,” Dia tersenyum tipis. Sedikit tampan. Dia juga sama denganku, minum kopi pada pagi hari dan tidak bisa bangun siang.

Karena kesamaan itulah kami bisa dekat.

"Kamu belum jawab pertanyaanku, kenapa mau ambil project ini. Bukannya kamu di Natuna?” sudah kuduga, dia akan mengintrogasiku. Tenang Bella, kamu harus tenang. Dia hanya teman bukan? Dari dulu hingga sekarang.

Singkirkan rasa bersalahmu itu.

"Patah hati,” jawabku asal.

Mas Cahya tertawa. "Aku selalu menemukan kamu dalam keadaan patah hati ya? Beruntungnya,” itu kalimat sarkasme paling sadis yang pernah kudengar.

Baiklah, aku memang menjadikannya pelarian saat aku gagal menikah dua tahun yang lalu.

Dan sekarang.

Aku patah hati lagi.

Dan bertemu dengannya.

Aku semakin percaya jodohku adalah Mas Cahya.

Aku berusaha tenang, "Kamu sendiri, kenapa Mas?”

Mas Cahya kembali tersenyum. Senyumnya selalu teduh, bahkan disorot matanya tidak ada sorot kebencian dan dendam padaku.

"Bosan dengan hidupku.”

Ah. Aku tau rasanya.

Tapi ini terlalu berbahaya untuk sekedar kata bosan.

"Jadi... siapa yang membuat kamu patah hati lagi sekarang? Polisi lagi?” aku meliriknya dan kemudian tergelak.

"Aku cuma bercanda,” sekilas bayangannya terbayang dalam benakku. Tak ada yang salah juga sih, aku memang mengambil project ini karena patah hati.

Aku baru dua kali patah hati di dalam hidupku.

Dan yang kedua ini, bukan yang paling parah, tapi tetap membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih. Bukan yang paling sakit, tapi benar membuatku terluka.

Aku merindukannya.

Bagaimana kabarnya sekarang? Sudahkah dia menikah?

Aku melirik Mas Cahya yang memainkan ponselnya dengan tenang. Sebersit rasa bersalah itu kembali muncul. Aku sangat menyayangkan sekali, perasaan itu, bukan tumbuh kepadanya. Padahal Mas Cahya yang menemaniku untuk melewati patah hatiku.

Memang, takdir kadang selucu itu.

Aku merasa, tidak bisa mencintai Mas Cahya.

Bahkan sampai hari ini, di patah hatiku yang kedua dan dia yang kembali selalu ada di depanku.

***

Natuna, 2018

Ada sebuah kebiasaan yang baru-baru ini aku miliki. Setiap tiga hari sekali, aku jogging setiap pagi menyusuri pantai di Natuna. Jujur saja, pantainya salah satu pantai yang paling indah yang pernah kulihat dengan pasir putih tentunya.

Deburan ombak tidak terlalu keras namun cepat, apalagi saat sedang berangin seperti ini.

Aku keluar rumah jam lima pagi, menyusuri jalan menikmati udara pagi. Orang-orang biasanya lari di Masjid Agung atau Pantai Piwang, aku memilih untuk menyusuri pantai, sejauh yang aku mampu.

Aku memilih untuk beristirahat di batu besar di atas bukit yang memperlihatkan pemandangan Kota Ranai dan pantai menikmati matahari terbit. Sebenarnya tempat ini favoritku dari beberapa minggu yang lalu.

Selain sepi karena orang yang menambang pasir belum datang. Aku bisa mencoba untuk menerapkan healing teraphyku disini. Karena calon tunanganku memilih bersama dengan model ibukota yang membuatku sangat jengkel.

Marah dan terakhianati.

Bisa-bisanya dia memilih orang lain daripada aku? Benar-benar tidak bisa dipercaya.

Lihat selengkapnya