Beberapa bulan lalu, situasi tentu berbeda. Sadie bisa mengucapkan satu kata saja dan memunculkan ledakan berskala militer. Aku bisa membungkus diri dengan avatar perang sihir, dan hampir tak ada yang sanggup mengalahkanku.
Namun, itu ketika kami masih sepenuhnya bergabung dengan dewa dan dewi—Horus bergabung denganku, Isis bergabung dengan Sadie. Kami telah melepas kekuatan itu karena sangat berbahaya. Sampai kami mampu mengendalikan kekuatan kami sendiri dengan lebih baik, menyediakan tubuh perantara untuk dihuni dewa-dewa Mesir bisa membuat kami menjadi gila atau membuat kami terbakar dalam arti yang sesunggguhnya.
Sekarang, yang kami miliki hanyalah sihir kami yang terbatas. Itu menyulitkan kami melakukan hal-hal penting—seperti berusaha tidak mati ketika sesosok monster menjadi hidup dan ingin membunuh kami.
Griffin itu bergerak hingga kami bisa melihat seluruh tubuhnya. Makhluk itu berukuran dua kali singa biasa, bulunya yang emas kemerahan tertutupi debu batu kapur. Ekornya dihiasi bulu-bulu runcing yang tampak sekeras dan setajam belati. Dengan sekali kibasan, ekor itu meremukkan lempengan batu tempatnya berasal. Kedua sayapnya yang kaku dan tajam sekarang menegak di punggungnya. Ketika si griffin bergerak, kedua sayap itu mengepak-ngepak sedemikian cepat sampai-sampai tampak kabur dan mengeluarkan suara dengungan seperti sayap kolibri terbesar dan tergarang di dunia.
Si griffin memakukan matanya yang lapar pada Sadie. Nyala api berwarna putih masih menyelubungi tangan Sadie beserta gulungan papirus itu, dan si griffin tampaknya menganggap hal itu sebagai semacam tantangan. Aku sudah sering mendengar suara pekikan elang—hei, aku sendiri pernah menjadi elang satu atau dua kali—tetapi ketika makhluk ini membuka paruhnya, ia mengeluarkan lengkingan yang membuat jendela bergetar dan bulu kudukku meremang.
“Sadie,” kataku, “jatuhkan gulungan papirus itu.”
“Halo? Benda ini menempel di tanganku!” dia memprotes. “Dan, aku tengah terbakar! Aku sudah bilang belum?”
Cercahan api gaib itu kini menyala-nyala di seluruh jendela dan artefak. Gulungan papirus tersebut tampaknya memicu semua simpanan sihir Mesir di ruangan, dan aku cukup yakin itu adalah sesuatu yang buruk. Walt dan Jaz berdiri mematung karena syok. Kurasa aku tak bisa menyalahkan mereka. Ini monster pertama mereka.
Si griffin maju satu langkah menuju saudariku.
Aku berdiri di sebelah Sadie dengan bahu saling menempel dan melakukan satu trik sihir yang masih kumiliki. Aku meraih ke dalam Duat dan mengambil pedangku dari udara kosong—sebuah khopesh Mesir dengan mata pisau yang sangat tajam dan berbentuk kait.
Sadie terlihat cukup konyol dengan tangan dan gulungan papirus yang terbakar, dia seperti Patung Liberty yang terlalu bersemangat. Untungnya, dengan tangannya yang bebas Sadie berhasil memanggil senjatanya yang paling berbahaya—tongkat sepanjang satu setengah meter yang dihiasi ukiran hieroglif.
Sadie bertanya, “Ada tips untuk melawan griffin?”
“Hindari bagian-bagian yang tajam?” tebakku.
“Brilian. Terima kasih untuk sarannya.”
“Walt,” seruku, “periksa jendela-jendela itu! Lihat apakah kau bisa membukanya.”
“Tapi, jendela-jendela itu dipasangi kutukan.”
“Ya,” sahutku, “dan kalau kita mencoba keluar melalui ballroom, griffin itu akan memangsa kita sebelum kita sampai di sana.”
“Aku akan memeriksa jendela.”
“Jaz,” panggilku, “bantu Walt.”
“Tanda di kaca itu,” gumam Jaz, “aku—aku penah melihatnya—“
“Lakukan saja!” kataku.
Griffin itu menyerbu, sayap-sayapnya mendengung seperti gergaji mesin. Sadie melemparkan tongkat panjangnya dan benda itu berubah menjadi seekor macan di udara, menghambur ke arah si griffin dengan cakar terhunus.
Griffin itu tidak terkesan. Ia menghantam si macan ke samping, kemudian menyerang dengan kecepatan luar biasa. Ia membuka paruhnya lebar-lebar. HAP. Si griffin menelan dan beserdawa. Si macan pun lenyap.
“Itu tongkat favoritku!” jerit Sadie.
Si Griffin mengalihkan pandang ke arahku.
Aku menggenggam pedangku erat-erat. Mata pedangnya mulai bersinar. Aku berharap masih bisa mendengar suara Horus di kepalaku, mendorongku untuk maju. Memiliki dewa perang pribadi mempermudah kita untuk melakukan hal-hal tolol dengan penuh keberanian.
“Walt!” teriakku. “Bagaimana jendelanya?”
“Ini sedang kucoba,” katanya.
“T-tunggu,” kata Jaz gugup. “Itu lambang Sekhmet. Walt, berhenti!”
Lalu, banyak hal terjadi secara bersamaan. Walt membuka jendela, dan segelombang api putih menderu melewatinya, merobohkannya ke lantai.
Jaz berlari ke sisi Walt. Si griffin mendadak kehilangan minat terhadapku. Seperti predator mana saja yang baik, ia fokus pada target yang bergerak—Jaz—dan menyerbu ke arahnya.
Aku berlari mengejarnya. Namun, alih-alih melahap teman-teman kami, si griffin meluncur langsung melewati Walt serta Jaz dan menghantam jendela. Jaz menarik Walt dari situ sementara si griffin menggila, memukul-mukul dan menggigiti nyala api putih.
Makhluk itu berusaha menyerang api putih. Si griffin menggigiti udara kosong. Ia berputar, menabrak lemari pajang berisi shabti. Ekornya menghantam sebuah sarkofagus hingga hancur berantakan.
Aku tidak yakin apa yang merasukiku, tetapi aku berteriak, “Berhenti!”
Si griffin kontan mematung. Ia berputar ke arahku, menggaok dengan jengkel. Selapis api putih memelesat pergi dan menyala di sudut ruangan, nyaris seolah berkumpul kembali. Kemudian, aku melihat api-api lain berdatangan, membentuk nyala yang samar-samar berwujud seperti manusia. Salah satunya menatap persis ke arahku dan, tidak salah lagi, aku merasakan pancaran kebencian.
“Carter, terus alihkan perhatiannya.” Sadie tampaknya tidak memperhatikan bentuk-bentuk api itu. Kedua matanya masih terpancang pada si griffin saat dia mengeluarkan seutas benang ikat dari sakunya. “Kalau saja aku bisa cukup dekat—”
“Sadie, tunggu!” Aku berusaha memahami apa yang terjadi. Walt terkapar dan menggigil. Kedua matanya bersinar putih, seakan api itu telah merasuk ke dalam dirinya. Jaz berlutut di atasnya, menggumamkan mantra penyembuhan.
“RAAAWK!” si griffin meraung sedih seolah meminta izin—seolah mematuhi perintahku untuk berhenti, tetapi tidak menyukainya.
Bentuk nyala api itu semakin terang, semakin padat. Aku menghitung ada tujuh sosok yang menyala, pelan-pelan membentuk tangan dan kaki.
Tujuh sosok …. Jaz tadi mengatakan sesuatu mengenai lambang Sekhmet. Rasa takut menghinggapiku saat aku menyadari kutukan macam apa yang sebenarnya melindungi museum itu. Pelepasan griffin itu hanyalah kebetulan. Ia bukan masalah yang sebenarnya.
Sadie melemparkan benang ikatnya.
“Tunggu!” teriakku, tetapi terlambat. Benang sihir itu melecut udara, memanjang menjadi seutas tali tambang saat memelesat menuju griffin.
Si griffin berkaok-kaok marah dan melompat mengikuti sosok-sosok api itu. Makhluk api tersebut berhamburan, dan permainan kejar-kejaran sampai mati pun berlangsung.
Si griffin memelesat, sayapnya mendesing. Lemari-lemari pajang pecah. Alarm manusia meraung. Aku meneriakinya supaya berhenti, tetapi kali ini sia-sia saja.
Dari sudut mataku, kulihat Jaz ambruk, mungkin kelelahan akibat merapal mantra penyembuhannya.
“Sadie,” teriakku, “bantu dia!”
Sadie berlari ke sisi Jaz. Aku mengejar si griffin. Aku mungkin terlihat benar-benar dungu dalam balutan piama hitamku sambil membawa-bawa pedang yang bersinar, tersandung-sandung artefak rusak dan meneriakkan perintah kepada seekor kucing-kolibri raksasa.