Sungguh aneh, betapa mudah kau bisa lupa bahwa tanganmu sedang terbakar.
Oh, maaf. Sadie di sini. Kau tidak berpikir aku akan membiarkan kakakku mengoceh selamanya, ‘kan? Yang benar saja! Tidak seorang pun pantas mendapat kutukan seberat itu.
Kami tiba kembali di Rumah Brooklyn, dan semua orang mengerumuniku karena tanganku menempel pada gulungan papirus yang menyala-nyala.
“Aku baik-baik saja!” aku bersikeras. “Rawat saja Jaz!”
Sejujurnya, aku menghargai sedikit perhatian sesekali, tetapi saat ini aku bukan orang yang paling butuh diperhatikan. Kami mendarat di atas atap rumah besar, bangunan itu sendiri merupakan tontonan yang aneh—sebuah kubus lima lantai yang terbuat dari besi dan batu kapur, seperti persilangan antara kuil Mesir dan museum seni, bertengger di atas sebuah gudang telantar di area tepi laut Brooklyn. Belum lagi rumah besar ini memancarkan sihir dan tidak terlihat oleh mata manusia biasa.
Di bawah kami, seluruh Brooklyn tengah terbakar. Gulungan sihirku yang menyebalkan telah meninggalkan bidang luas api gaib di seluruh wilayah itu saat kami terbang dari museum. Tidak ada yang benar-benar terbakar, dan api itu tidaklah panas, tetapi tetap saja kami menimbulkan kepanikan yang cukup besar. Sirene-sirene meraung. Orang-orang memenuhi jalanan, ternganga melihat bubungan atap yang menyala-nyala. Helikopter berputar-putar dengan lampu sorot.
Jika itu belum cukup menarik, lihatlah kakakku yang sedang mengurusi seekor griffin, berusaha melepas tali yang menghubungkan perahu nelayan dengan leher makhluk itu dan menjaga agar si griffin tidak menyantap murid-murid kami.
Kemudian, ada Jaz, sumber kekhawatiran kami yang sesungguhnya. Kami yakin dia masih bernapas, tetapi dia sepertinya berada dalam semacam kondisi koma. Ketika kami membuka matanya, kedua mata itu bersinar putih—yang biasanya bukan pertanda baik.
Saat mengendarai perahu, Khufu mencoba menerapkan beberapa sihir babunnya yang terkenal pada Jaz—menepuk-nepuk dahi Jaz, mengeluarkan suara-suara kasar, dan berusaha memasukkan permen jeli ke mulut Jaz. Aku yakin Khufu mengira dirinya tengah membantu, tetapi hal itu tidak banyak memperbaiki kondisi Jaz.
Kini, Walt tengah merawat Jaz. Dia mengangkat tubuh Jaz dengan lembut dan meletakkannya di atas sebuah usungan, menyelimuti dan membelai rambut Jaz sementara murid-murid lain berkumpul di sekelilingnya. Dan itu tidak masalah. Benar-benar tidak masalah.
Aku sama sekali tidak tertarik kepada betapa tampan wajah Walt di bawah cahaya bulan, atau kedua lengannya yang berotot dalam balutan kaus tanpa lengan, atau fakta bahwa dia sedang memegangi tangan Jaz, atau ….
Maaf. Aku melantur.
Aku mengempaskan diri di sudut atap yang jauh, merasa benar-benar kelelahan. Tangan kananku gatal karena memegangi gulungan papirus sedemikian lama. Nyala api sihir itu menggelitik jari-jariku.
Aku meraba-raba saku kiriku dan mengeluarkan patung lilin kecil yang diberikan Jaz kepadaku. Benda itu adalah salah satu patung penyembuh milik Jaz, yang digunakan untuk mengusir penyakit atau kutukan. Secara umum, patung lilin memang tidak dibuat mirip seseorang, tetapi Jaz telah mencurahkan waktunya untuk patung yang ini. Patung ini jelas dimaksudkan untuk menyembuhkan satu orang tertentu, yang berarti patung itu punya kekuatan lebih dan kemungkinan besar disimpan untuk situasi hidup-atau-mati. Aku mengenali rambut keriting patung itu, garis-garis wajahnya, pedang yang menempel di tangannya. Jaz bahkan menuliskan nama patung itu dengan huruf hieroglif di dadanya: CARTER.
Kau akan memerlukan ini dalam waktu dekat, kata Jaz kepadaku.
Sepanjang pengetahuanku, Jaz bukan peramal. Dia tak bisa melihat masa depan. Jadi, apa yang dia maksudkan? Bagaimana aku bisa tahu kapan aku harus menggunakan patung ini? Sambil memandangi Carter mini tersebut, aku punya perasaan buruk bahwa nyawa kakakku secara harfiah diletakkan di tanganku.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya suara seorang wanita.
Cepat-cepat aku menyimpan patung itu.
Sahabat lamaku, Bast, menjulang di atasku. Dengan senyum tipis dan mata kuningnya yang berkilat-kilat, dia bisa jadi sedang khawatir atau justru merasa geli. Sulit untuk memprediksikan segala sesuatu yang berkaitan dengan sang dewi kucing. Rambut hitamnya diikat ke belakang membentuk ekor kuda. Dia mengenakan leotard ketat ala pesenam yang berpola kulit macan tutul, seolah dia hendak berjungkir balik ke belakang. Sejauh pengetahuanku, itu memang mungkin saja dilakukannya. Seperti yang tadi kubilang, sulit memprediksikan segala sesuatu yang berkaitan dengan sang dewi kucing.
“Aku baik-baik saja,” dustaku. “Cuma ini ….” Kugoyangkan tanganku yang menyala-nyala tanpa daya.
“Mmm.” Gulungan papirus itu sepertinya membuat Bast tidak nyaman. “Coba kulihat apa yang bisa kulakukan.”
Dia berlutut di sampingku dan mulai merapal mantra.
Aku berpikir betapa ganjil rasanya dimantrai oleh mantan hewan peliharaanku. Selama bertahun-tahun, Bast menyamar sebagai kucingku, Muffin. Aku bahkan tidak menyadari ada sesosok dewi tidur di bantalku pada malam hari. Kemudian, setelah ayah kami melepaskan segerombolan dewa-dewi di British Museum, Bast memperkenalkan diri.
Dia telah mengawasiku selama enam tahun, katanya kepada kami, sejak orangtua kami membebaskannya dari sebuah sel di Duat, tempat dia dikirim untuk bertarung melawan ular kekacauan, Apophis, untuk selama-lamanya.
Panjang ceritanya, tetapi ibuku meramalkan bahwa Apophis akhirnya pasti lepas dari penjara, yang pada dasarnya berarti kiamat. Jika Bast terus bertempur melawan Apophis sendirian, dia akan binasa. Namun, jika Bast dibebaskan, ibuku percaya dia bisa memainkan peranan penting dalam pertempuran yang akan datang melawan Kekacauan. Jadi, orangtuaku membebaskan Bast sebelum Apophis membinasakannya. Ibuku meninggal dunia saat membuka, kemudian cepat-cepat menutup, penjara Apophis. Jadi, sudah sewajarnya Bast merasa berutang budi kepada orangtua kami. Sejak itu, Bast pun menjadi pelindungku.
Sekarang, dia juga menjadi pengawal, teman seperjalanan, dan kadang-kadang koki pribadi bagi Carter dan aku (petunjuk: jika dia menawarimu Friskies du Jour, tolak saja.)
Namun, aku masih merindukan Muffin. Kadang-kadang aku harus melawan dorongan untuk menggaruk bagian belakang telinga Bast dan memberinya camilan, meskipun aku senang dia tidak lagi mencoba tidur di atas bantalku pada malam hari. Pasti itu rasanya agak aneh.
Bast menyelesaikan mantranya, api di gulungan papirus pun mendesis padam. Genggamanku membuka. Papirus itu jatuh ke pangkuanku.
“Ya Tuhan, terima kasih,” ujarku.
“Dewi,” Bast melengkapi kalimatku. “Sama-sama. Kita tidak boleh membiarkan kekuatan Ra membuat kota terbakar, bukan?”
Aku menatap keluar, ke arah kota. Api-api tadi telah padam. Cakrawala malam Brooklyn kembali normal, hanya tersisa lampu-lampu darurat dan kerumunan manusia yang berteriak-teriak di jalan. Jika dipikir-pikir, kurasa itu cukup normal.
“Kekuatan Ra?” tanyaku. “Kupikir gulungan papirus itu merupakan petunjuk. Apakah itu Kitab Ra yang sebenarnya?”
Ekor kuda Bast menggembung seperti biasa, ketika dia merasa gugup. Aku akhirnya menyadari bahwa dia mengikat rambutnya agar seluruh kepalanya tidak berdiri seperti bulu babi setiap kali dia terkejut atau gelisah.
“Gulungan itu merupakan … bagian dari kitab tersebut,” katanya. “Sebenarnya aku sudah memperingatkanmu. Kekuatan Ra nyaris mustahil dikendalikan. Kalau kalian bersikeras mencoba untuk membangunkannya, api selanjutnya yang kalian picu mungkin tidak sejinak ini.”
“Tapi, bukankah dia adalah firaunmu?” aku bertanya. “Tidakkah kau ingin dia dibangkitkan?”
Dia menurunkan tatapannya. Kusadari betapa tololnya komentarku. Ra adalah raja dan majikan Bast. Dahulu kala, Ra telah memilih Bast menjadi kesatrianya. Namun, Ra jugalah yang mengirim Bast ke penjara untuk menyibukkan musuh bebuyutannya, Apophis, untuk selama-selamanya, sehingga Ra bisa pensiun dengan tenang. Sangat egois, menurutku.
Berkat orangtuaku, Bast bisa melarikan diri dari penjara; tetapi itu juga berarti dia meninggalkan posnya dan tidak lagi bertempur melawan Apophis. Tidak heran perasaannya campur aduk soal berjumpa kembali dengan bos lamanya.
“Lebih baik kita bicara besok pagi,” kata Bast. “Kau butuh istirahat, dan gulungan itu seharusnya hanya dibuka pada siang hari, ketika kekuatan Ra lebih mudah dikendalikan.”
Aku menatap pangkuanku. Papirus itu masih mengepulkan asap. “Lebih mudah dikendalikan … seperti misalnya, benda ini tidak akan membakarku?”
“Sekarang, gulungan itu sudah bisa disentuh,” Bast meyakinkanku. “Setelah terperangkap dalam kegelapan selama beberapa ribu tahun, benda itu sangat peka, bereaksi terhadap segala macam energi—magis, listrik, emosional. Aku, ah, telah mengurangi kepekaannya sehingga nyala api tidak akan meledak dari gulungan itu lagi.”
Kuambil gulungan itu. Syukurlah, Bast benar. Benda itu tidak menempel di tanganku atau memicu kebakaran di kota.
Bast membantuku berdiri. “Tidurlah. Akan kuberi tahu Carter bahwa kau baik-baik saja. Lagi pula …,” dia berhasil menyunggingkan senyum, “besok adalah hari besar untukmu.”
Benar sekali, pikirku merana. Ada satu orang yang ingat, dan itu adalah kucingku.
Aku melihat ke arah kakakku, yang masih berusaha mengendalikan si griffin. Tali sepatu Carter berada dalam paruhnya dan makhluk itu tampaknya tidak sudi melepaskannya.