Sadie Kane di sini.
Jika kalian mendengarkan rekaman ini, selamat! Kalian selamat dari kiamat.
Aku ingin langsung minta maaf atas segala ketidaknyamanan yang mungkin kalian alami menjelang akhir dunia. Gempa bumi, pemberontakan, kerusuhan, tornado, banjir, tsunami, dan tentu saja ular raksasa yang menelan matahari—aku khawatir sebagian besarnya adalah kesalahan kami. Carter dan aku memutuskan bahwa setidaknya kami harus menjelaskan bagaimana semua hal itu bisa terjadi.
Ini mungkin rekaman terakhir kami. Saat kalian mendengarkan cerita kami, alasannya akan menjadi jelas.
Masalah kami berawal di Dallas, ketika domba bernapas api menghancurkan pameran Raja Tut.
Malam itu, para penyihir Texas mengadakan pesta di kebun patung yang terletak di seberang Dallas Museum of Art. Para pria mengenakan tuksedo dan sepatu bot koboi. Para wanita mengenakan gaun malam dengan rambut ditata seperti arum manis.
(Carter bilang namanya gula kapas di Amerika. Aku tidak peduli. Aku dibesarkan di London. Jadi, kalian harus tahu dan mempelajari cara menyebut benda-benda dengan benar.)
Sebuah band memainkan musik country jadul di paviliun. Untaian lampu hias gemerlapan di pepohonan. Para penyihir sesekali muncul begitu saja dari pintu rahasia di dalam patung atau menyulap bunga api untuk membakar nyamuk-nyamuk nakal, tetapi selain itu pesta tampak normal-normal saja.
Pemimpin Nome Kelima Puluh Satu, JD Grissom tengah bercakap-cakap dengan para tamu dan menikmati sepiring taco sapi ketika kami menyeretnya pergi untuk mengadakan rapat darurat. Aku merasa tidak enak soal itu, tetapi kami tidak punya banyak pilihan, mengingat bahaya yang mengancamnya.
“Serangan?” Dia mengerutkan kening. “Pameran Tut sudah dibuka selama sebulan. Kalau Apophis hendak menyerang, bukankah seharusnya dia sudah melakukannya?”
JD bertubuh tinggi dan kekar, dengan wajah kasar dan keriput, rambut merah halus, serta tangan sekasar kulit kayu. Dia terlihat seperti berusia empat puluh tahun, tetapi sulit memastikan usia penyihir. Dia mungkin saja berusia empat ratus tahun. Dia mengenakan setelan hitam dengan dasi tali dan gesper sabuk Bintang Tunggal, Lone Star, khas Texas yang berukuran besar dan berwarna perak, seperti kepala polisi di Wild West.
“Mari kita bicara sambil jalan,” kata Carter. Dia mulai memimpin kami menuju sisi seberang taman.
Harus kuakui saudaraku bersikap luar biasa percaya diri.
Tentu dia masih sangat culun. Rambut cokelat keritingnya botak sebagian di sebelah kiri akibat “gigitan sayang” yang diberikan griffin peliharaannya dan kita tahu dari goresan-goresan di wajahnya bahwa dia belum terlalu menguasai seni mencukur wajah. Akan tetapi, sejak ulang tahunnya yang kelima belas, tingginya memelesat dan ototnya mulai muncul berkat berjam-jam latihan bertarung. Dia tampak tenang dan dewasa dalam balutan pakaian linen hitamnya, terutama dengan pedang khopesh di sampingnya. Aku hampir bisa membayangkan dia memimpin sekelompok orang tanpa harus tertawa histeris.
[Kenapa kau memelototiku, Carter? Itu penggambaran yang sangat baik.]
Carter bergerak mengelilingi meja prasmanan, mengambil segenggam keripik tortilla. “Serangan Apophis berpola,” katanya kepada JD. “Semua serangan lain terjadi pada malam bulan baru, pada malam yang paling gelap. Percayalah kepadaku, dia akan menyerang museummu malam ini. Dan, dia akan menyerang habis-habisan.”
JD Grissom menyelipkan diri di antara kerumunan para penyihir yang tengah meminum sampanye. “Serangan-serangan yang lain ini ...,” katanya, “maksudmu di Chicago dan Mexico City?”
“Dan, Toronto,” tambah Carter. “Dan ..., beberapa tempat lain.”
Aku tahu dia tidak ingin bicara lagi. Serangan-serangan yang telah kami saksikan selama musim panas membuat kami berdua dirundung mimpi buruk.
Memang benar, Kiamat Penuh belum terjadi. Sudah enam bulan berlalu sejak Ular Kekacauan Apophis lepas dari penjaranya di Dunia Bawah, tetapi dia masih belum meluncurkan serbuan berskala besar ke dunia manusia seperti yang kami perkirakan. Karena alasan tertentu, ular itu masih menunggu, memilih serangan-serangan kecil ke nome-nome yang tampak aman dan tenteram.
Seperti nome ini, pikirku.
Saat kami melintasi paviliun, band telah selesai memainkan lagu mereka. Seorang perempuan cantik berambut pirang yang membawa biola melambaikan penggesek biolanya ke arah JD.
“Ayo, Sayang!” seru perempuan itu. “Kami membutuhkanmu untuk memainkan steel guitar!”
JD memaksakan diri tersenyum. “Sebentar lagi, Sayang. Aku akan kembali.”
Kami terus berjalan. JD menoleh ke arah kami. “Istriku, Anne.”
“Apakah dia juga penyihir?” tanyaku.
Dia mengangguk, raut mukanya berubah gelap. “Serangan-serangan ini. Kenapa kalian begitu yakin Apophis akan menyerang tempat ini?”
Mulut Carter penuh keripik tortilla, jadi jawabannya adalah, “Mmm-hmm.”
“Dia memburu artefak tertentu,” aku menerjemahkan. “Dia sudah menghancurkan lima salinan. Yang terakhir kebetulan ada dalam pameran Tut Anda.”
“Artefak apa?” tanya JD.
Aku bimbang. Sebelum berangkat ke Dallas, kami sudah merapal segala macam mantra perlindungan dan membawa berbagai jimat pelindung untuk mencegah ada yang mencuri dengar secara sihir, tetapi aku masih gugup ketika membicarakan rencana kami keras-keras.
“Sebaiknya, kami tunjukkan kepadamu.” Aku melangkah mengitari sebuah air mancur, tempat dua orang penyihir muda sedang membuat tulisan Aku Cinta Kamu yang bersinar-sinar di atas batu jalan setapak dengan tongkat sihir mereka. “Kami membawa tim pelacak sendiri untuk membantu. Mereka menunggu di museum. Kalau Anda mengizinkan kami meneliti artefak itu, mungkin membawanya untuk diamankan—”
“Membawa artefak?” JD mengerutkan dahi. “Pameran itu dijaga ketat. Para penyihir terbaikku mengelilinginya siang malam. Kalian kira bisa melindunginya dengan lebih baik di Rumah Brooklyn?”
Kami berhenti di pinggir kebun. Di seberang jalan, spanduk Raja Tut berukuran dua lantai tergantung di bagian samping museum.
Carter mengeluarkan telepon selulernya. Dia menunjukkan sebuah gambar di layarnya kepada JD Grissom—rumah besar yang telah hangus, yang dulunya merupakan markas Nome Keseratus di Toronto.
“Aku yakin para penjagamu cakap,” kata Carter, “tapi kami lebih senang tidak menjadikan nomemu sebagai target Apophis. Pada serangan di nome lain ... tak seorang pun selamat dari kaki tangan ular itu.”
JD menatap nanar layar telepon, lalu melirik kembali ke arah istrinya, Anne, yang sedang sibuk memainkan musik pengiring dansa.
“Baiklah,” kata JD. “Kuharap tim kalian kelas satu.”
“Mereka menakjubkan,” aku menjamin. “Mari, akan kami perkenalkan.”
Regu penyihir penyidik kami sedang sibuk menjarah toko cendera mata.
Felix telah memanggil tiga ekor penguin, yang sedang berkeliaran mengenakan topeng Raja Tut. Babun sahabat kami, Khufu, tengah duduk di atas sebuah rak buku, membaca Sejarah Para Firaun, yang tentunya akan sangat mengesankan jika dia tidak memegangnya secara terbalik. Walt—oh, Walt Sayang, kenapa?—telah membuka lemari perhiasan dan tengah meneliti gelang dan kalung jimat seolah benda-benda itu mungkin mengandung sihir. Alyssa melayangkan guci-guci tembikar dengan sihir tanahnya, menyimbang1 dua puluh atau tiga puluh guci sekaligus dalam bentuk angka delapan.
Carter berdeham.
Walt langsung berhenti, kedua tangannya penuh perhiasan emas. Khufu buru-buru turun dari rak, menjatuhkan sebagian besar buku yang ada. Tembikar Alyssa jatuh ke lantai. Felix berusaha menggiring penguin-penguinnya ke balik laci uang. (Perasaan Felix mengenai manfaat penguin memang sangat kuat. Aku khawatir aku tak bisa menjelaskannya.)
JD Grissom mengetuk-ngetukkan jemarinya ke gesper sabuk Lone Starnya. “Ini timmu yang luar biasa?”
“Ya!” Aku mencoba tersenyum manis. “Maaf berantakan. Aku akan, ehm ....”
Kutarik tongkat dari ikat pinggangku dan kuucapkan mantra: “Hi-nehm!”
Aku sudah semakin mahir merapal mantra semacam itu. Aku sekarang lebih sering berhasil menyalurkan kekuatan dari dewi pelindungku, Isis, tanpa pingsan. Aku juga belum pernah meledak sekali pun.
Hieroglif untuk Menyatulah berkilau sesaat di udara: