8 Agustus 2000
Suara tembakan memecah keheningan malam. Seberkas cahaya yang menyinari tengah kota menggugah semua orang. Membuat mereka berkeliaran mencari perlindungan. Tidak untuk mereka yang memakai baju tentara. Tangan-tangan kokoh mereka memegang sebuah senjata api. Peluru-peluru keluar dengan sendirinya menembus tubuh lawan musuh. Mereka tak akan pernah berhenti jika tidak ada yang kalah.
Satu orang ambruk ke lantai dengan cairan kental merah di dada. Mengetahui hal itu, temannya menghentikan peperangan dan beralih membantunya. Diangkatnya tubuh pria tersebut ke tempat tersembunyi. Perlahan dilepaskannya helm yang terpasang di kepala hingga menampilkan rambut panjang yang terurai. Dia menangis sekaligus geram menyaksikan temannya gugur dalam peperangan.
"Buka matamu, Miko."
Perempuan tersebut terus bergumam tapi tak ada sahutan sama sekali oleh Miko. Pria tersebut terus memejamkan matanya seakan tidak bernyawa.
"Ni ... la."
Mulut pria tersebut bergumam bersamaan dengan itu suara ledakan yang memekakkan telinga membuat perempuan tersebut menoleh secara otomatis. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat teman-temannya bergelimpangan dan bersimbah darah.
"TIDAK!!!"
"Ni ... la, ma ... af ... kan a ... ku."
Dengan air mata berlinang, Nila memeluk tubuh Miko yang sudah lemas. Direngkuhnya kuat-kuat. Tidak mau melepaskannya. Dia tidak rela jika harus kehilangan Miko.
"Kamu harus melanjutkan pencarian pembuat virus berbahaya itu," ucap Miko kemudian kembali memejamkan mata serta menghembuskan napas panjang.
"MIKO!!!"
.....
Suara teriakan mengagetkan seorang pria yang tengah menikmati masa liburannya. Diletakkannya minuman botol tersebut ke meja dan mulai berjalan ke arah ruangan kecil yang di dalamnya terdapat banyak senjata. Mulai senjata api dan tajam yang kotor dengan darah kering.
"Kacau lagi," ucapnya sambil menggaruk-garuk kepalanya sedikit kuat. Frustasi.
Pria tersebut mengambil senjata serta perbekalan obat. Dan tak lupa pula mengambil rompi yang terbuat dari baja. Dia melangkah keluar dengan tangan yang masih sibuk mengisi peluru pada senjata apinya.
Dia berjalan mengendap-endap. Ruangan yang dilewatinya adalah sebuah lorong gelap. Ada lampunya, akan tetapi dia enggan menghidupkan sebab makhluk yang tidak diinginkan akan muncul keluar. Bukan zombie saja yang tidak diinginkannya, tetapi juga orang-orang yang berniat menculiknya. Entah apa alasannya hingga mereka melakukan hal itu.
Dibekali dengan cahaya senter, akhirnya dia telah sampai pada sumber suara. Kedua matanya mulai memerah sampai mengeluarkan air mata yang jarang sekali keluar. Dia ikut merasakan kesedihan di hati melihat seorang perempuan yang tengah memeluk tubuh seseorang. Sepertinya orang yang dipeluknya tersebut telah tiada. Dia baru saja kehilangan seorang teman.
Pria tersebut melangkah mundur dan segera mematikan senternya ketika perempuan dihadapannya menoleh ke arahnya sambil menodongkan senjata. Matanya menatap tajam dan terus melangkah maju memojokkan pria tersebut.
"Siapa kamu? Apakah kamu salah satu dari mereka?" Tanya perempuan itu dengan nada dingin. Suaranya yang berat tersebut seakan menyimpan dendam.
Kedua tangan pria tersebut terangkat. Kemudian bergerak perlahan untuk mengambil pisau yang digenggam perempuan itu. "Boleh saya ambil? Perempuan tidak baik main dengan senjata tajam," jelasnya sembari mengambil pisau. Beruntung, perempuan tersebut tidak melawan.
"Kamu ..."
"Ryan ... nama saya Ryan."