Ryan berjalan diikuti Nila yang sedang asyik melihat-lihat terowongan. Sesekali dia memegang dagunya sendiri dengan matanya yang menyipit. Ryan tampak sebal ketika mendapati Nila berhenti tiap-tiap kali. Bahkan dia meminta agar Ryan beristirahat terlebih dahulu.
"Kamu bersembunyi di dalam terowongan di sini?" tanya Nila di saat tengah istirahat. Dia terlihat feminim ketika sedang duduk dengan kedua tangan terpangku di atas lutut.
Ryan menoleh sebentar kemudian menganggukkan kepala. Bahkan jika dibilang, ini bukan persembunyian. Melainkan tempat tinggal yang paling aman dari kejaran zombie dan para terorisme.
"Berapa lama?" tanya Nila begitu singkat.
"Kurang lebih satu tahun."Untuk beberapa lama tidak ada respon dari perempuan tersebut. Tapi, Ryan dibuatnya kaget ketika wajah Nila tiba-tiba berada di hadapannya. Bisa dibilang jarak Ryan dengan Nila begitu dekat, hanya beberapa senti.
Dengan susah payah, Ryan meneguk ludahnya sendiri. Tangan kanannya berupaya mendorong tubuh Nila dengan sangat pelan. Tentunya tidak ada respon dari perempuan tersebut.Mata Nila berbinar serta alis mata yang saling bertautan. Nila sama sekali tidak mengedipkan matanya untuk beberapa detik. Ryan akui Nila begitu manis jika dilihat dari dekat. Bahkan dia ingin berlama-lama dengan posisi seperti ini. Tetapi, Ryan terus menjaga harga dirinya.
"Bisakah kamu sedikit menjauh dariku?" tanya Ryan dengan suara pelan.Mata Nila berkedip kemudian beringsut menghindar. Tetapi perempuan tersebut masih menatap Ryan tanpa memalingkannya.
"Maaf."
"Hm."
Tanpa disadari lagi, tangan Nila sudah memegang punggung tangan Ryan. Tentu keringat dingin mengucur di dahi laki-laki tersebut karena gugup. Jujur, ini pertama kalinya dia mendapat perlakuan seperti itu.
"Iya aku maafkan. Tapi ini bukan acara resmi pernikahan, Nila."
Kening Nila berkerut kemudian menarik tangannya kembali dari Ryan. Perempuan tersebut mengumpat kesal, dan kembali tersenyum terhadap Ryan.
"Iya ... ini cuma percobaan saja."
"Maksud kamu?"
Mulut Nila terbuka mendengar pertanyaan Ryan. "Maksud aku. Mencoba mengetes apakah kamu manusia normal. Dan ternyata benar kamu manusia normal," jawabnya sedikit gugup.
"Buktinya?"
"Tuh." Nila menunjuk tepat pada dahi Ryan yang berkeringat.Ryan segera mengelap keringatnya dengan bajunya. Tetapi dicegah oleh Nila. Perempuan tersebut memberikan sapu tangan bewarna kuning kepada Ryan. Laki-laki tersebut menyambutnya dengan sedikit malu sekaligus kesal.
"Jadi jangan salah sangka dulu aku memegangmu tadi. Takutnya kamu zombie bukan manusia."
Mata Ryan mengerjap-ngerjap. Ternyata dirinya terlalu percaya diri atas kejadian barusan.
"Selama perjalanan tadi, kamu menganggapku bukan manusia?" tanya Ryan geram.
Nila terkekeh pelan, merenggut sapu tangannya kembali dari tangan Ryan."Habisnya ... kamu bilang kalau kalian sudah satu tahun berada di sini dalam keadaan selamat. Untungnya saja kamu benar-benar manusia. Karena aku bisa menanyakan sesuatu padamu."
"Tanya apa?"
"Banyak."
Ryan menepuk dahinya sendiri. Sungguh dia merasa kesal dengan Nila yang selalu menganggu perjalanannya. Bisa-bisa dirinya akan tertangkap oleh zombie atau para terorisme yang sedang melintas.
"Untuk saat ini satu saja," ucap Ryan cepat. Kemudian dia kembali melanjutkan perjalanannya. Tidak memperdulikan Nila yang tengah menggoyang-goyangkan kakinya dengan cepat.
"Tungguin aku."